Penyandang Difabel Jago Melukis, Karyanya Dipakai Cover Dupa
Sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) selama 6 bulan, Ni Wayan Juliantari, 20, terpaksa berhenti sekolah. Sebab Juliantari mengalami keterbasan dalam berbicara dan pendengaran.
BANGLI, NusaBali
Meski putus sekolah, anak dari pasangan suami istri (pasutri) Nengah Budiana, 43, dan Komang Murtini, 40, ini mampu menulis aksara Bali dan jago melukis. Salah satu lukisannya dijadikan gambar kemasan produk dupa.
Saat ditemui di rumahnya, Desa Sekaaan, Kecamatan Kintamani, Bangli, Juliantari sedang melukis. Saat itu ia melukis aksara Bali. Menurut sang kakek, Nengah Sutra, cucunya sejak usia 11 tahun sudah menunjukkan bakat di bidang melukis, khususnya tema budaya Bali. Meski memiliki keterbatasan berbicara dan mendengar, Juliantari cukup cepat menangkap sesuatu di sekitarnya. Salah satu contoh, usai melihat topeng Sidakarya saat pujawali, datang dari pura langsung melukis. “Apa yang dilihat bisa menjadi inspirasi, dia coba tuangkan dalam coretan di atas kertas,” ungkap sang kakek, Selasa (29/10).
Juliantari melukis memanfaatkan media seadanya yakni pada kertas gambar. “Kami belum mampu membelikan kanvas atau cat warna. Hasil karyanya baru di atas kertas gambar saja,” ujarnya. Menurutnya, Juliantari mampu membaca, menulis latin maupun aksara Bali. “Di rumah belajar sendiri, kami tidak ada mengajari. Setelah memiliki handphone dia bisa mencari informasi di internet,” timpal Komang Murtini, ibu Ni Wayan Juliantari. Juliantari tidak mengenyam pendidikan seperti anak pada umumnya karena keterbatasan ekonomi. Dengan kondisi bisu dan gangguan pendengaran, Juliantari sepatutnya sekolah di sekolah luar biasa (SLB).
Di Bangli hanya ada satu SLB, lokasinya di kota. Namun kondisi ekonomi yang membuat Juliantari tak bisa sekolah. “Jika sekolah di SLB, pasti memerlukan biaya yang besar terutama untuk transportasi. Selain itu harus ada yang antar jemput ke sekolah. Kalau begitu orang tua tidak bisa bekerja,” sambung sang kakek. Diakui selama ini belum ada perhatian untuk Juliantari. Keluarga pun berharap bantuan, terutama untuk mendukung kemampuan Juliantari dalam seni lukis. “Kami berharap ada perhatian untuk cucu kami ini, sehingga ia dapat mengembangkan bakatnya,” pintanya.
Juliantari biasa menjual canang buatan sendiri. Selain itu juga mampu berbelanja sendiri. “Kalau belanja selalu bawa kertas, jadi apa yang mau dibeli ditulis dalam kertas jadi pedagang juga mudah mengerti,” tuturnya. Ayah Juliantari bekerja sebagai buruh bangunan, dan sambil menjadi sopir, sementara ibunya pedagang sayur keliling. *esa
Saat ditemui di rumahnya, Desa Sekaaan, Kecamatan Kintamani, Bangli, Juliantari sedang melukis. Saat itu ia melukis aksara Bali. Menurut sang kakek, Nengah Sutra, cucunya sejak usia 11 tahun sudah menunjukkan bakat di bidang melukis, khususnya tema budaya Bali. Meski memiliki keterbatasan berbicara dan mendengar, Juliantari cukup cepat menangkap sesuatu di sekitarnya. Salah satu contoh, usai melihat topeng Sidakarya saat pujawali, datang dari pura langsung melukis. “Apa yang dilihat bisa menjadi inspirasi, dia coba tuangkan dalam coretan di atas kertas,” ungkap sang kakek, Selasa (29/10).
Juliantari melukis memanfaatkan media seadanya yakni pada kertas gambar. “Kami belum mampu membelikan kanvas atau cat warna. Hasil karyanya baru di atas kertas gambar saja,” ujarnya. Menurutnya, Juliantari mampu membaca, menulis latin maupun aksara Bali. “Di rumah belajar sendiri, kami tidak ada mengajari. Setelah memiliki handphone dia bisa mencari informasi di internet,” timpal Komang Murtini, ibu Ni Wayan Juliantari. Juliantari tidak mengenyam pendidikan seperti anak pada umumnya karena keterbatasan ekonomi. Dengan kondisi bisu dan gangguan pendengaran, Juliantari sepatutnya sekolah di sekolah luar biasa (SLB).
Di Bangli hanya ada satu SLB, lokasinya di kota. Namun kondisi ekonomi yang membuat Juliantari tak bisa sekolah. “Jika sekolah di SLB, pasti memerlukan biaya yang besar terutama untuk transportasi. Selain itu harus ada yang antar jemput ke sekolah. Kalau begitu orang tua tidak bisa bekerja,” sambung sang kakek. Diakui selama ini belum ada perhatian untuk Juliantari. Keluarga pun berharap bantuan, terutama untuk mendukung kemampuan Juliantari dalam seni lukis. “Kami berharap ada perhatian untuk cucu kami ini, sehingga ia dapat mengembangkan bakatnya,” pintanya.
Juliantari biasa menjual canang buatan sendiri. Selain itu juga mampu berbelanja sendiri. “Kalau belanja selalu bawa kertas, jadi apa yang mau dibeli ditulis dalam kertas jadi pedagang juga mudah mengerti,” tuturnya. Ayah Juliantari bekerja sebagai buruh bangunan, dan sambil menjadi sopir, sementara ibunya pedagang sayur keliling. *esa
Komentar