Sandang Predikat Guru Besar Bidang Ilmu Pariwisata Budaya-Agama
Hari Ini, Prof Dr Drs Ketut Sumadi MPar Dikukuhkan Jadi Guru Besar ke-9 di IHDN Denpasar
Saat pengukuhan sebagai guru besar hari ini, Prof Dr Drs Ketut Sumadi MPar yang notabnene mantan wartawan Nusa Tenggara bawakan orasi ilmiah bertajuk ‘Relasi Wacana dan Kuasa Pengelolaan Modal Budaya Desa Wisata di Bali dalam Perspektif Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Tri Hita Karana’
DENPASAR, NusaBali
Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar kembali menambah jumlah guru besar. Ini setelah Prof Dr Drs Ketut Sumadi MPar, 57, dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pariwisata Budaya dan Agama, Kamis (31/10), di Auditorium IHDN Denpasar, Jalan Ratna Denpasar. Mantan Direktur Pascasarjana IHDN Denpasar ini sekaligus menjadi guru besar pertama di Bidang Ilmu Pariwisata Budaya dan Agama.
Saat pengukuhan sebagai guru besar, mantan wartawan Nusa Tenggara ini akan menyampaikan orasi ilmiah bertajuk ‘Relasi Wacana dan Kuasa Pengelolaan Modal Budaya Desa Wisata di Bali dalam Perspektif Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Tri Hita Karana’. Pengukuhan Prof Dr drs Ketut Sumadi MPar sebagai guru besar hari ini, menjadi momentum untuk sounding Jurusan Pariwisata Budaya di Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar, sehingga mahasiswa semakin tertarik untuk belajar ilmu pariwisata budaya dan agama.
Pengukuhan akademisi asal Banjar Batuyang, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Gianyar sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pariwisata Budaya dan Agama, hari ini, rencananya bakal dihadiri Gubernur Bali Dr Ir Wayan Koster MM, Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama Prof Drs I Ketut Widnya MA MPhil PhD, dan se-jumlah tokoh puri.
Dalam orasi ilmiahnya, Prof Sumadi menjelaskan, seiring adanya transformasi budaya, desa wisata kini mulai mendapatkan perhatian. Sebagaimana diungkapkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Whisnutama Kusubandio, desa wisata menjadi daya tarik baru premium yang sifatnya unik. Desa wisata memberikan pengalaman baru yang berbeda kepada wisatawan.
Menurut Prof Sumadi, desa wisata di Bali perlu diwacanakan dan didukung oleh pemegang kebijakan, seperti desa adat, pengusaha pariwisata, dan krama desa. “Sekarang ada program desa wisata dari kebijakan WTO. Startnya mulai dari cita-cita masyarakat untuk mewujudkan wisata berkelanjutan. Artinya, menghormati tradisi, dapat memberikan kesejahteraan berkesinambungan, dan memberi lapangan pekerjaan,” ujar Prof Sumadi dalam keterangan persnya di Wisata Sungai Tukad Bindu, Denpasar Timur, Rabu (30/10).
Dulunya, kata Prof Sumadi, desa wisata di Bali pernah berkembang sangat bagus, ditata tersendiri melalui berbagai pertunjukan dan atraksi, dengan syarat memiliki Pramanam Patra Budaya, yakni izin dari Listibiya. Kini, keberadaan desa wisata harus disinkronkan mulai dari hukum nasional, hingga produk hukum daerah berupa Perda, bahkan sampai awig-awig desa adat juga harus dikuatkan.
“Perlu dibuatkan peraturan yang jelas, dari pemerintah pusat dengan Undang-undang Pariwisata, Perda, dan Undang-undang desa. Desa adat juga mesti memiliki awig-awig dan perarem, sehingga menjadi sangat kuat. Perlu ada sinergis desa adat dengan desa dinas,” jelas Prof Sumadi, yang gabung di Harian Umum Nusa Tenggara (kini menjadi NusaBali) sampai akhir tahun 1990.
Prof Sumadi menyebutkan, sesuai dengan trend pariwisata global, pembangunan desa wisata harus ditopang regulasi, serta pendanaan dan pengelolaan yang baik melibatkan stakeholder kepariwisataan dengan konsep pengembangan, meliputi akomodasi, atraksi wisata, infrastruktur dan aksebilitas, SDM yang profesional, market selectivity atau special interest tourism, tourist satisfaction, serta interactif interpretation.
Modal budaya desa wisata harus menjadi media komunikasi lintas budaya yang membelajarkan wisatawan dan tuan rumah untuk menghargai perbedaan budaya, sehingga sangat penting adanya story telling dan story line yang memikat wisatawan. “Dengan story telling yang memberdayakan masyarakat setempat, diharapkan wisatawan bisa lebih lama tinggal di desa bersangkutan,” imbuh akademisi kelahiran 31 Desember 1962 ini.
Kendati demikian, kata Prof Sumadi, pengelolaan modal budaya desa wisata harus mengutamakan penguatan desa adat berlandaskan Tri Hita Karana. Hal-hal yang diperhatikan dalam penguatan unsur parahyangan, seperti aktivitas kearifan lokal religiusitas sesuai fungsi dan makna keagamaan dan kesejarahannya, simbol agama dan benda sakral tidak dipakai hiasan atau komoditi pariwisata. Aktivitas berwisata bersifat edukatif tentang nilai-nilai budaya dan tradisi keagamaan. Idealnya, kata dia, tidak ada aktivitas, perilaku wisatawan atau bangunan di lingkungan desa wisata yang dianggap dapat mengganggu keberadaan tempat suci dan tempat-tempat yang disucikan.
“Perlu dibuatkan aturan dalam awig-awig atau pararem tentang tata tertib atau etika wisatawan di tempat wisata, lengkap dengan sanksinya. Kemudian, tata tertib tersebut ringkasannya dipasang di tempat wisata, sehingga wisatawan tidak melakukan aktivitas melanggar norma agama dan tradisi masyarakat, seperti yang sering viral di media sosial,” beber Prof Sumadi.
“Selain itu, dengan mengajak semua paiketan yang ada di desa, seperti paiketan pandita, serati, mancagra (ebat), arsitek, pragina, dan paiktean lainnya, sehingga tidak ada terjadi lagi pelecehan terhadap simbol-simbol agama yang kerap viral belakangan,” lanjut ayah dua anak dari perniukahannya dengan Ni Ketut Tirtawati ini.
Sedangkan penguatan unsur pawongan, antara lain, dengan pengelolaan oleh lembaga desa, kelompok sadar wisata, atau badan usaha milik desa dengan SDM profesional, komposisi tenaga kerja di desa wisata didominasi tenaga kerja lokal, serta memiliki program berpartisipasi dalam kegiatan organisasi sosial yang mencerminkan implementasi unsur Tri Hita Karana.
“Perlu juga ada paruman untuk mewujudkan atraksi. Selama sebuah desa itu ada banyak tur yang bisa disajikan, maka akan ada banyak cerita yang bisa disanmpaikan kepada wisatawan. Dengan begitu, wisatawan bisa lebih lama tingga di desa bersangkutan,” katanya.
Sementara, untuk penguatan unsur pelemahan, desa wisata harus memiliki data batas-batas yang jelas, memiliki kawasan atau fasilitas parkir yang memadai, memiliki kantor atau sekretariat pengelola yang representatif. Selain itu, kata Prof Sumadi, seluruh bangunan penunjang di kawasan desa wisata juga mencerminkan arsitektur lokal. *ind
Saat pengukuhan sebagai guru besar, mantan wartawan Nusa Tenggara ini akan menyampaikan orasi ilmiah bertajuk ‘Relasi Wacana dan Kuasa Pengelolaan Modal Budaya Desa Wisata di Bali dalam Perspektif Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Tri Hita Karana’. Pengukuhan Prof Dr drs Ketut Sumadi MPar sebagai guru besar hari ini, menjadi momentum untuk sounding Jurusan Pariwisata Budaya di Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar, sehingga mahasiswa semakin tertarik untuk belajar ilmu pariwisata budaya dan agama.
Pengukuhan akademisi asal Banjar Batuyang, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Gianyar sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pariwisata Budaya dan Agama, hari ini, rencananya bakal dihadiri Gubernur Bali Dr Ir Wayan Koster MM, Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama Prof Drs I Ketut Widnya MA MPhil PhD, dan se-jumlah tokoh puri.
Dalam orasi ilmiahnya, Prof Sumadi menjelaskan, seiring adanya transformasi budaya, desa wisata kini mulai mendapatkan perhatian. Sebagaimana diungkapkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Whisnutama Kusubandio, desa wisata menjadi daya tarik baru premium yang sifatnya unik. Desa wisata memberikan pengalaman baru yang berbeda kepada wisatawan.
Menurut Prof Sumadi, desa wisata di Bali perlu diwacanakan dan didukung oleh pemegang kebijakan, seperti desa adat, pengusaha pariwisata, dan krama desa. “Sekarang ada program desa wisata dari kebijakan WTO. Startnya mulai dari cita-cita masyarakat untuk mewujudkan wisata berkelanjutan. Artinya, menghormati tradisi, dapat memberikan kesejahteraan berkesinambungan, dan memberi lapangan pekerjaan,” ujar Prof Sumadi dalam keterangan persnya di Wisata Sungai Tukad Bindu, Denpasar Timur, Rabu (30/10).
Dulunya, kata Prof Sumadi, desa wisata di Bali pernah berkembang sangat bagus, ditata tersendiri melalui berbagai pertunjukan dan atraksi, dengan syarat memiliki Pramanam Patra Budaya, yakni izin dari Listibiya. Kini, keberadaan desa wisata harus disinkronkan mulai dari hukum nasional, hingga produk hukum daerah berupa Perda, bahkan sampai awig-awig desa adat juga harus dikuatkan.
“Perlu dibuatkan peraturan yang jelas, dari pemerintah pusat dengan Undang-undang Pariwisata, Perda, dan Undang-undang desa. Desa adat juga mesti memiliki awig-awig dan perarem, sehingga menjadi sangat kuat. Perlu ada sinergis desa adat dengan desa dinas,” jelas Prof Sumadi, yang gabung di Harian Umum Nusa Tenggara (kini menjadi NusaBali) sampai akhir tahun 1990.
Prof Sumadi menyebutkan, sesuai dengan trend pariwisata global, pembangunan desa wisata harus ditopang regulasi, serta pendanaan dan pengelolaan yang baik melibatkan stakeholder kepariwisataan dengan konsep pengembangan, meliputi akomodasi, atraksi wisata, infrastruktur dan aksebilitas, SDM yang profesional, market selectivity atau special interest tourism, tourist satisfaction, serta interactif interpretation.
Modal budaya desa wisata harus menjadi media komunikasi lintas budaya yang membelajarkan wisatawan dan tuan rumah untuk menghargai perbedaan budaya, sehingga sangat penting adanya story telling dan story line yang memikat wisatawan. “Dengan story telling yang memberdayakan masyarakat setempat, diharapkan wisatawan bisa lebih lama tinggal di desa bersangkutan,” imbuh akademisi kelahiran 31 Desember 1962 ini.
Kendati demikian, kata Prof Sumadi, pengelolaan modal budaya desa wisata harus mengutamakan penguatan desa adat berlandaskan Tri Hita Karana. Hal-hal yang diperhatikan dalam penguatan unsur parahyangan, seperti aktivitas kearifan lokal religiusitas sesuai fungsi dan makna keagamaan dan kesejarahannya, simbol agama dan benda sakral tidak dipakai hiasan atau komoditi pariwisata. Aktivitas berwisata bersifat edukatif tentang nilai-nilai budaya dan tradisi keagamaan. Idealnya, kata dia, tidak ada aktivitas, perilaku wisatawan atau bangunan di lingkungan desa wisata yang dianggap dapat mengganggu keberadaan tempat suci dan tempat-tempat yang disucikan.
“Perlu dibuatkan aturan dalam awig-awig atau pararem tentang tata tertib atau etika wisatawan di tempat wisata, lengkap dengan sanksinya. Kemudian, tata tertib tersebut ringkasannya dipasang di tempat wisata, sehingga wisatawan tidak melakukan aktivitas melanggar norma agama dan tradisi masyarakat, seperti yang sering viral di media sosial,” beber Prof Sumadi.
“Selain itu, dengan mengajak semua paiketan yang ada di desa, seperti paiketan pandita, serati, mancagra (ebat), arsitek, pragina, dan paiktean lainnya, sehingga tidak ada terjadi lagi pelecehan terhadap simbol-simbol agama yang kerap viral belakangan,” lanjut ayah dua anak dari perniukahannya dengan Ni Ketut Tirtawati ini.
Sedangkan penguatan unsur pawongan, antara lain, dengan pengelolaan oleh lembaga desa, kelompok sadar wisata, atau badan usaha milik desa dengan SDM profesional, komposisi tenaga kerja di desa wisata didominasi tenaga kerja lokal, serta memiliki program berpartisipasi dalam kegiatan organisasi sosial yang mencerminkan implementasi unsur Tri Hita Karana.
“Perlu juga ada paruman untuk mewujudkan atraksi. Selama sebuah desa itu ada banyak tur yang bisa disajikan, maka akan ada banyak cerita yang bisa disanmpaikan kepada wisatawan. Dengan begitu, wisatawan bisa lebih lama tingga di desa bersangkutan,” katanya.
Sementara, untuk penguatan unsur pelemahan, desa wisata harus memiliki data batas-batas yang jelas, memiliki kawasan atau fasilitas parkir yang memadai, memiliki kantor atau sekretariat pengelola yang representatif. Selain itu, kata Prof Sumadi, seluruh bangunan penunjang di kawasan desa wisata juga mencerminkan arsitektur lokal. *ind
Komentar