Di Tembok, Arak Sudah Jadi 'Payuk Jakan'
Peredaran arak Bali di Bali tak selalu didukung masyarakat. Hal ini karena arak, jika diminum melebihi takaran, dapat membuat penikmatnya mabuk.
SINGARAJA, NusaBali
Akibatnya, sejumlah masyarakat memandang sebelah mata dan tak menginginkan arak Bali beredar. Namun jika arak dikonsumsi secukupnya, tak memabukkan, hingga peredaran arak Bali akan membuat lega perajin arak. Terlebih sejumlah perajin yang menggantungkan hidupnya dari hasil produksi arak. Seperti dilakoni para perajin arak Bali asal Banjar Dinas Sembung, Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Ketut Suanda, 48. Dia sejak dua tahun terakhir memutuskan menggantungkan payuk jakan (sumber kehidupan keluarga,Red) dari hasil membuat arak Bali.
Suanda setiap hari memproduksi arak Bali dengan bahan baku tuak murni yang dibelinya dari warga lain di desa itu. Air hasil sadapan dari pohon aren itu kemudian diolah dan disuling hingga menghasilkan embun dan titik air menjadi arak.
Dia biasanya mengawali harinya dengan mencari pasokan tuak murni di tetangganya, sebagai bahan baku utama pembuatan arak. Jumlah produksinya sangat tergantung dari hasil sadapan tuak yang diturunkan dari pohon aren. Tak selalu dapat banyak. Apalagi musim kemarau panjang seperti kini, temannya sudah mulai mengurangi hasil sadapan tuak. Terbanyak, kini dia hanya dapat tuak tak lebih dari 20 liter yang dibeli dengan harga Rp 24.000.
Sebelum menjadi arak, tuak murni ini diolah hampir delapan hingga sembilan jam lamanya. Tuak murni yang dituang dalam panci besar akan dididihkan terlebih dahulu hingga suhu terpanas. Seluruh proses pemasakan tuak murni ini menggunakan kayu bakar. Selanjutnya setelah mendidih, panci yang akan ditutup dan dipasangkan pipa dari bambu sepanjang 4 meter sebagai jalan penyulingan. Dari bambu ini menghasilkan tetes-tetesan di dalam botol yang dipasangkan di ujung bambu. 20 liter tuak murni setelah diproduksi hanya akan menjadi 2,5 liter arak kualitas tokcer. “Kalau lima liter tuak hanya dapat satu botol air kemasan tanggung, bisa dapat lebih banyak, hanya nanti rasanya tidak enak,” jelas Suanda.
Dirinya memilih menggantungkan hidup lewat produksi arak. Karena untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sangat susah. Kegiatan menyuling arak itu dipilihnya karena dapat dikerjakan di rumah dan mengambil pekerjaan sambilan seperti mengurus ternak sapi dan babinya.
Hasil produksi arak buatan Suanda biasanya dijual menggunakan botol minuman bekas ukuran 600 mililiter dengan harga Rp 15.000. Penghasilan penjualan araknya pun tak menentu, meski dia mengaku tak pernah memiliki stok. Arak buatannya yang penyulingannya dari bambu siklaimnya laris manis. Peminatnya dari warga lokal Tembok, bahkan ada pembeli dari Tabanan yang sudah langganan. “Kalau pas ada upacara telubulanan atau pernikahan biasanya banyak yang nyari dalam jumlah besar. Itu yang membuat saya bertahan bisa menafkahi anak istri dari hasil membuat arak,” katanya polos.
Suanda yang sebelumnya bekerja sebagai buruh serabutan memilih membuat arak menggunakan penyulingan bambu. Meski hasil araknya kelihatan lebih keruh dibandingkan dengan produksi arak dengan penyulingan pipa besi yang cenderung lebih bening. “Risiko dan modalnya lebih sedikit, kalau pakai besi itu harus sering diganti, paling tidak setahun sekali karena bisa mengkarat di dalam setelah lama dipakai,” jelas dia.
Suanda mengaku sangat gembira saat mendengar rencana legalitas arak di Bali. Apalagi dengan rencana pemerintah Desa Tembok memberikan fasilitasi dan mewadahid alam bentuk koperasi, sehingga peluang untuk memasarkan arak dan peningkatan kesejahteraan bisa terwujud. “Ya mudah-mudahan bisa terwujud. Kami orang kecil jelas sangat berharap secepat bisa terwujud, saya sangat mendukung,” tegasnya.7k23
Suanda setiap hari memproduksi arak Bali dengan bahan baku tuak murni yang dibelinya dari warga lain di desa itu. Air hasil sadapan dari pohon aren itu kemudian diolah dan disuling hingga menghasilkan embun dan titik air menjadi arak.
Dia biasanya mengawali harinya dengan mencari pasokan tuak murni di tetangganya, sebagai bahan baku utama pembuatan arak. Jumlah produksinya sangat tergantung dari hasil sadapan tuak yang diturunkan dari pohon aren. Tak selalu dapat banyak. Apalagi musim kemarau panjang seperti kini, temannya sudah mulai mengurangi hasil sadapan tuak. Terbanyak, kini dia hanya dapat tuak tak lebih dari 20 liter yang dibeli dengan harga Rp 24.000.
Sebelum menjadi arak, tuak murni ini diolah hampir delapan hingga sembilan jam lamanya. Tuak murni yang dituang dalam panci besar akan dididihkan terlebih dahulu hingga suhu terpanas. Seluruh proses pemasakan tuak murni ini menggunakan kayu bakar. Selanjutnya setelah mendidih, panci yang akan ditutup dan dipasangkan pipa dari bambu sepanjang 4 meter sebagai jalan penyulingan. Dari bambu ini menghasilkan tetes-tetesan di dalam botol yang dipasangkan di ujung bambu. 20 liter tuak murni setelah diproduksi hanya akan menjadi 2,5 liter arak kualitas tokcer. “Kalau lima liter tuak hanya dapat satu botol air kemasan tanggung, bisa dapat lebih banyak, hanya nanti rasanya tidak enak,” jelas Suanda.
Dirinya memilih menggantungkan hidup lewat produksi arak. Karena untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sangat susah. Kegiatan menyuling arak itu dipilihnya karena dapat dikerjakan di rumah dan mengambil pekerjaan sambilan seperti mengurus ternak sapi dan babinya.
Hasil produksi arak buatan Suanda biasanya dijual menggunakan botol minuman bekas ukuran 600 mililiter dengan harga Rp 15.000. Penghasilan penjualan araknya pun tak menentu, meski dia mengaku tak pernah memiliki stok. Arak buatannya yang penyulingannya dari bambu siklaimnya laris manis. Peminatnya dari warga lokal Tembok, bahkan ada pembeli dari Tabanan yang sudah langganan. “Kalau pas ada upacara telubulanan atau pernikahan biasanya banyak yang nyari dalam jumlah besar. Itu yang membuat saya bertahan bisa menafkahi anak istri dari hasil membuat arak,” katanya polos.
Suanda yang sebelumnya bekerja sebagai buruh serabutan memilih membuat arak menggunakan penyulingan bambu. Meski hasil araknya kelihatan lebih keruh dibandingkan dengan produksi arak dengan penyulingan pipa besi yang cenderung lebih bening. “Risiko dan modalnya lebih sedikit, kalau pakai besi itu harus sering diganti, paling tidak setahun sekali karena bisa mengkarat di dalam setelah lama dipakai,” jelas dia.
Suanda mengaku sangat gembira saat mendengar rencana legalitas arak di Bali. Apalagi dengan rencana pemerintah Desa Tembok memberikan fasilitasi dan mewadahid alam bentuk koperasi, sehingga peluang untuk memasarkan arak dan peningkatan kesejahteraan bisa terwujud. “Ya mudah-mudahan bisa terwujud. Kami orang kecil jelas sangat berharap secepat bisa terwujud, saya sangat mendukung,” tegasnya.7k23
1
Komentar