17 Teruna Wajib Magundul, Harus Semedi Tiap Malam
Upacara Ritual Tuun Materuna di Desa Adat Tenganan Pagringsingan
Desa Adat Tenganan Pagringsingan, Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Karangasem tengah melaksanakan upacara Tuun Materuna, yang bermakna sebagai tahapan pengesahan menjadi anak remaja desa.
AMLAPURA, NusaBali
Seluruh 17 teruna yang ikut dalam upacara ini wajib magundul (kepala
diplontos), dikarantina (tinggal di paasraman) selama 12 bulan, dengan
melakukan semedi setiap malam.Prosesi upacara Tuun Materuna bagi 17 teruna di Desa Adat Tenganan Pagringsingan ini sudah dimulai sejak Sasih Kasa (bulan pertama sistem penanggalan desa setempat), sekitar Februari 2019 lalu. Prosesi akan berlangsung selama 12 bulan hingga Sasih Sadha sekitar Januar 2020 mendatang.
Upacara Tuun Materuna dilaksanakan secara berkala, bisa 5-6 tahun sekali, tergantung ada teruna di tiga wilayah yang masing-masing disebut Bale Patemu Kelod, Bale Patemu Tengah, dan Bale Patemu Kaja. Jumlah peserta tidak tentu, diambil dari mereka yang berusia 14-17 tahun dan hanya boleh maksimal satu orang dari satu kelaurga.
Khusus untuk upacara Tuun Materuna kali ini, jumlah peserta mencapai 17 orang, semuanya remaja pria yang rata-rata masih sekolah SMP dan SMA. Prosesi upacara diatur sedemikian rupa pada malam hari, sehingga kesehariannya mereka tetap bisa mengikuti pelajaran di sekolah.
Bendesa Adat Tenganan Pagringsingan, I Wayan Sudarsana, menjelaskan saat ini tahapan dalam prosesi upacara Tuun Materuna telah memasuki bulan kesembilan. Teruna berjumlah 17 orang yang ikut prosesi ini rutin ngejot (bawa makanan) kepada kaum daha (teruni) di tiga pasraman berbeda sebanyak tiga kali sehari secara bergiliran. Dua bulan sebelum tahap ngejot, yakni pada bulan ke-7, mereka harus magundul.
Menurut Wayan Sudarsana, prosesi upacara Tuun Materuna di Desa Adat Pagringsingan diawali dengan ritual mengajak-ajakan (mengajak) melakukan pemberitahuan ke wilayah Bale Patemu Kelod, Bale Patemu Tengah, dan Bale Patemu Kaja. Tujuannya, untuk memberitahukan bahwa akan dilaksanakan upacara Tuun Materuna.
Syarat menggelar upacara Tuun Materuna, kata Sudarsana, harus ada perwakilan peserta dari wilayah Bale Patemu Kelod, Bale Patemu Tengah, dan Bale Patemu Kaja. Jika dalam satu kepala keluarga (KK) terdapat 2 orang teruna, hanya boleh salah satunya saja yang ikut prosesi, yakni yang umurnya lebih tua.
Setelah terkumpul jumlah teruna yang menjadi perwakilan dari wilayah Bale Patemu Kelod, Bale Patemu Tengah, dan Bale Paetemu Kaja, maka disepakati memulai upacara sesuai dewasa ayu (hari baik). “Untuk pelaksanaan tahun ini, rangkaian upacara Tuun Materuna digelar mulai Sasih Kasa,” ungkap Sudarsana saat ditemui NusaBali di Desa Adat Pagringsingan, Sabtu (2/11).
Mengawali upacara Tuun Materuna, langsung dengan menggelar semedi piuning di seluruh pura yang ada di Desa Adat Tenganan Pagringsingan, termasuk Pura Puseh, Pura Bale Agung, Pura Dalem, Pura Yeh Santi, Pura Anyar, Pura Sri, Pura Tebulanglang, dan Pura Guliang. Semedi dilakukan pas tengah malam, tiga hari sekali pada rahina Beteng. Ini berlangsung terus selama 8 bulan.
Sementara, saat memasuki bulan ketujuh yakni pada Sasih Kapitu (sistem penanggalan desa setempat), September 2019 lalu, seluruh 17 teruna menjalani upacara Mengayu-ayu, ditandai dengan ritual gundul kepala hingga plontos, dilanjut ritual matatah (potong gigi).
“Ritual matatah itu sangat penting dalam hidup, yang bertujuan untuk melenyapkan Sad Ripu atau enam musuh dalam diri, yakni kama (nafsu), lobha (tamak, rakus), krodha (kemarahan), moha (kebingungan), mada (mabuk), dan matsarya (dengki, iri hati),” ungkap Sudarsana.
Tahapan berikutnya setelah megundl dan matatah adalah prosesi ritual upasaksi di pasraman, yakni di rumah almarhum Jro Mangku Widia. Upasaksi ini digelar siang hari pukul 12.00 Wita, sebagai bentuk kesiapan melaksanakan tahapan Tuun Materuna sampai tuntas. Menurut Sudarsana, di pasraman itulah para orangtua 17 teruna membuat gedong berbahan bide (anyaman bambu), dengan ukuran 8 meter x 3 meter, untuk tempat tidur anak-anak mereka.
Usai menggelar upacara upasaksi, kata Sudarsana, 17 teruna ini masuk ke dalam gedong. Kemudian, gedong itu ditandu para seniornya dan dibawa keliling ke tiga lokasi pasraman putri secara bergantian, yakni Pasraman Kanti Wayah, Pasraman Kanti Nengah, dan Pasraman Kanti Nyoman.
Saat itu, kalangan deha (teruni) di pasraman masing-masing telah menunggu kedatangan teruna. Hanya saja, teruna tidak boleh keluar dari gedong yang ditandu, melainkan harus tetap terkurung di dalam. Sedangkan kalangan deha berdiri berjejer di hadapan teruna dalam jarak 10 meter. Pada saat bersamaan, para senior teruna mengganggu sejumlah teruni dengan melempari lumpur, sehingga seluruh kainnya basah kuyup dan berlumpur. Ritual ini dilakukan secara bergantian di tiga pasraman tiga hari sekali, saat rahina Beteng.
Tahapan berikutnya, teruna melakukan upacara Matamiang, dengan cara keliling me-ngunjungi tiga pasraman selama tiga kali. Disusul melakukan ritual Ngelegar (meminta-minta) ke pasramaan putri), juga selama tiga kali. Habis itu, dilanjut prossi ritual Ngintarang (pengenalan) lingkungan dengan cara mengelilingi batas desa, juga dilakukan tiga kali sambil membawa tombak, sebagai senjata untuk membela diri manakala ada gangguan di perjalanan.
Memasuki bulan kedelapan atau Sasih Kawulu sekitar Oktober 2019, para teruna melakukan ritual Mejot-jotan. Merekla dijamu makan oleh para seniornya. Keesokan harinya, mereka dijamu kalangan deha sebanyak tiga kali. Semua tahapan itu merupakan uji fisik dan mental. "Sedangkan tahapan bulan kesembilan saat Sasih Kasanga, November 2019 ini, dilakukan ritual Ngejot di tiga pasraman putri," papar Sudarsana.
Usai ritial Ngejot, kata Sudarsana, nantinya semua teruna kembali ke tempatnya masing-masing, yakni Bale Patemu Kelod, Bale Patemu Tengah, dan Bale Patemu Kaja. Dimulai dengan mengikuti pendidikan tentang upacara dan lingkungan.
Prosesi berikutnya adalah berkumpul di Pura Bale Agung. Prosesi terakhir adalah Katinggal (perpisahan), dilakukan di pasraman. "Usai mengikuti rangkaian upacara Tuun Materuna selama 12 bulan, mereka baru bisa dilibatkan dalam setiap kegiatan upacara di Desa Adat Tenganan Pagringsingan," jelas Sudarsana. *k16
diplontos), dikarantina (tinggal di paasraman) selama 12 bulan, dengan
melakukan semedi setiap malam.Prosesi upacara Tuun Materuna bagi 17 teruna di Desa Adat Tenganan Pagringsingan ini sudah dimulai sejak Sasih Kasa (bulan pertama sistem penanggalan desa setempat), sekitar Februari 2019 lalu. Prosesi akan berlangsung selama 12 bulan hingga Sasih Sadha sekitar Januar 2020 mendatang.
Upacara Tuun Materuna dilaksanakan secara berkala, bisa 5-6 tahun sekali, tergantung ada teruna di tiga wilayah yang masing-masing disebut Bale Patemu Kelod, Bale Patemu Tengah, dan Bale Patemu Kaja. Jumlah peserta tidak tentu, diambil dari mereka yang berusia 14-17 tahun dan hanya boleh maksimal satu orang dari satu kelaurga.
Khusus untuk upacara Tuun Materuna kali ini, jumlah peserta mencapai 17 orang, semuanya remaja pria yang rata-rata masih sekolah SMP dan SMA. Prosesi upacara diatur sedemikian rupa pada malam hari, sehingga kesehariannya mereka tetap bisa mengikuti pelajaran di sekolah.
Bendesa Adat Tenganan Pagringsingan, I Wayan Sudarsana, menjelaskan saat ini tahapan dalam prosesi upacara Tuun Materuna telah memasuki bulan kesembilan. Teruna berjumlah 17 orang yang ikut prosesi ini rutin ngejot (bawa makanan) kepada kaum daha (teruni) di tiga pasraman berbeda sebanyak tiga kali sehari secara bergiliran. Dua bulan sebelum tahap ngejot, yakni pada bulan ke-7, mereka harus magundul.
Menurut Wayan Sudarsana, prosesi upacara Tuun Materuna di Desa Adat Pagringsingan diawali dengan ritual mengajak-ajakan (mengajak) melakukan pemberitahuan ke wilayah Bale Patemu Kelod, Bale Patemu Tengah, dan Bale Patemu Kaja. Tujuannya, untuk memberitahukan bahwa akan dilaksanakan upacara Tuun Materuna.
Syarat menggelar upacara Tuun Materuna, kata Sudarsana, harus ada perwakilan peserta dari wilayah Bale Patemu Kelod, Bale Patemu Tengah, dan Bale Patemu Kaja. Jika dalam satu kepala keluarga (KK) terdapat 2 orang teruna, hanya boleh salah satunya saja yang ikut prosesi, yakni yang umurnya lebih tua.
Setelah terkumpul jumlah teruna yang menjadi perwakilan dari wilayah Bale Patemu Kelod, Bale Patemu Tengah, dan Bale Paetemu Kaja, maka disepakati memulai upacara sesuai dewasa ayu (hari baik). “Untuk pelaksanaan tahun ini, rangkaian upacara Tuun Materuna digelar mulai Sasih Kasa,” ungkap Sudarsana saat ditemui NusaBali di Desa Adat Pagringsingan, Sabtu (2/11).
Mengawali upacara Tuun Materuna, langsung dengan menggelar semedi piuning di seluruh pura yang ada di Desa Adat Tenganan Pagringsingan, termasuk Pura Puseh, Pura Bale Agung, Pura Dalem, Pura Yeh Santi, Pura Anyar, Pura Sri, Pura Tebulanglang, dan Pura Guliang. Semedi dilakukan pas tengah malam, tiga hari sekali pada rahina Beteng. Ini berlangsung terus selama 8 bulan.
Sementara, saat memasuki bulan ketujuh yakni pada Sasih Kapitu (sistem penanggalan desa setempat), September 2019 lalu, seluruh 17 teruna menjalani upacara Mengayu-ayu, ditandai dengan ritual gundul kepala hingga plontos, dilanjut ritual matatah (potong gigi).
“Ritual matatah itu sangat penting dalam hidup, yang bertujuan untuk melenyapkan Sad Ripu atau enam musuh dalam diri, yakni kama (nafsu), lobha (tamak, rakus), krodha (kemarahan), moha (kebingungan), mada (mabuk), dan matsarya (dengki, iri hati),” ungkap Sudarsana.
Tahapan berikutnya setelah megundl dan matatah adalah prosesi ritual upasaksi di pasraman, yakni di rumah almarhum Jro Mangku Widia. Upasaksi ini digelar siang hari pukul 12.00 Wita, sebagai bentuk kesiapan melaksanakan tahapan Tuun Materuna sampai tuntas. Menurut Sudarsana, di pasraman itulah para orangtua 17 teruna membuat gedong berbahan bide (anyaman bambu), dengan ukuran 8 meter x 3 meter, untuk tempat tidur anak-anak mereka.
Usai menggelar upacara upasaksi, kata Sudarsana, 17 teruna ini masuk ke dalam gedong. Kemudian, gedong itu ditandu para seniornya dan dibawa keliling ke tiga lokasi pasraman putri secara bergantian, yakni Pasraman Kanti Wayah, Pasraman Kanti Nengah, dan Pasraman Kanti Nyoman.
Saat itu, kalangan deha (teruni) di pasraman masing-masing telah menunggu kedatangan teruna. Hanya saja, teruna tidak boleh keluar dari gedong yang ditandu, melainkan harus tetap terkurung di dalam. Sedangkan kalangan deha berdiri berjejer di hadapan teruna dalam jarak 10 meter. Pada saat bersamaan, para senior teruna mengganggu sejumlah teruni dengan melempari lumpur, sehingga seluruh kainnya basah kuyup dan berlumpur. Ritual ini dilakukan secara bergantian di tiga pasraman tiga hari sekali, saat rahina Beteng.
Tahapan berikutnya, teruna melakukan upacara Matamiang, dengan cara keliling me-ngunjungi tiga pasraman selama tiga kali. Disusul melakukan ritual Ngelegar (meminta-minta) ke pasramaan putri), juga selama tiga kali. Habis itu, dilanjut prossi ritual Ngintarang (pengenalan) lingkungan dengan cara mengelilingi batas desa, juga dilakukan tiga kali sambil membawa tombak, sebagai senjata untuk membela diri manakala ada gangguan di perjalanan.
Memasuki bulan kedelapan atau Sasih Kawulu sekitar Oktober 2019, para teruna melakukan ritual Mejot-jotan. Merekla dijamu makan oleh para seniornya. Keesokan harinya, mereka dijamu kalangan deha sebanyak tiga kali. Semua tahapan itu merupakan uji fisik dan mental. "Sedangkan tahapan bulan kesembilan saat Sasih Kasanga, November 2019 ini, dilakukan ritual Ngejot di tiga pasraman putri," papar Sudarsana.
Usai ritial Ngejot, kata Sudarsana, nantinya semua teruna kembali ke tempatnya masing-masing, yakni Bale Patemu Kelod, Bale Patemu Tengah, dan Bale Patemu Kaja. Dimulai dengan mengikuti pendidikan tentang upacara dan lingkungan.
Prosesi berikutnya adalah berkumpul di Pura Bale Agung. Prosesi terakhir adalah Katinggal (perpisahan), dilakukan di pasraman. "Usai mengikuti rangkaian upacara Tuun Materuna selama 12 bulan, mereka baru bisa dilibatkan dalam setiap kegiatan upacara di Desa Adat Tenganan Pagringsingan," jelas Sudarsana. *k16
Komentar