'Bali Punya Kekuatan jadi Pusat Seni Kontemporer'
Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid berpandangan Bali memiliki kekuatan untuk menjadi pusat seni kontemporer dunia dan bisa diwujudkan dalam waktu yang tidak lama.
DENPASAR, NusaBali
"Arsip perjalanan kesenian di Bali banyak sekali dan yang pasti buat saya ekspresi kontemporer ini akan semakin bertenaga kalau punya refleksi terhadap kondisi lokal kita, tradisi dan lingkungan hidup. Selain itu, hubungan sosial di antara manusia yang di Bali ini cukup unik, dunia semakin individual, tetapi kolektivitas masih terasa," kata Hilmar Farid saat menjadi pembicara utama dalam Sarasehan bertajuk ‘Menuju Bali Pusat Seni Kontemporer Dunia’ dalam rangkaian Festival Seni Bali Jani, di Denpasar, Rabu (6/11).
Menurut Dirjen Kebudayaan atau Direktur Jenderal Kebudayaan, dengan elemen-elemen atau dimensi yang dimiliki Bali tersebut dapat dijadikan dasar untuk memikirkan ekspresi seni kontemporer yang luar biasa. Selain itu, tidak sedikit seniman-seniman dari Indonesia dan Bali yang berkontribusi sangat besar merumuskan agenda seni kontemporer dunia.
Berbagai festival berskala internasional, lanjut Hilmar, pun telah banyak yang digelar di Pulau Dewata. Termasuk para pelaku seni dari Bali yang sudah menginternasional dan masyarakatnya sangat lekat dengan tradisi.
"Kalau begitu halnya, kenapa tidak dibawa ke sini? Kita punya kekuatan yang sangat besar," ucapnya pada acara yang dihadiri ratusan peserta dari kalangan budayawan, seniman, akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat di Bali itu.
Bali, bagi Hilmar, bisa mewujudkan ‘mimpinya’ menjadi pusat seni kontemporer dunia dalam kurun waktu sekitar lima tahun ke depan. Namun, ini tentu harus dibarengi dengan investasi di berbagai bidang, dari pemikiran, investasi memperkuat SDM, hingga kelembagaan. "Kita memilih melaksanakan festival tidak boleh karena Pak Kun (Kadisbud Bali-red) sukanya ini, atau karena Pak Gubernur dan Pak Dirjen sukanya itu. Masyarakat Bali harus benar-benar mengenali apa yang dimiliki dan kemudian memperkuat," ucapnya.
Hilmar pun menyoroti tidak sedikit festival seni budaya yang digelar di Pulau Dewata hanya terbatas meminjam tempat dengan nama Bali yang sudah mendunia. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah dan masyarakat Bali mulai membuka komunikasi dan berkolaborasi dengan berbagai festival seni kontemporer yang kerap dihelat di Pulau Dewata.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan ‘Kun’ Adnyana mengemukakan pelaksanaan Festival Seni Bali Jani dari 26 Oktober-8 November 2019 ini menjadi jawaban atas etos kreatif atau ekosistem seni kontemporer atau seni modern yang sudah tumbuh dan hidup di masyarakat.
Pihaknya optimistis dapat merangkul banyak pihak untuk turut membangun keberadaan Festival Seni Bali Jani ini sehingga visinya yang sebelumnya hanya untuk Bali itu kemudian beranjak menjadi lebih luas menuju cakupan global. "Dengan demikian platform adanya kolaborasi, kerja sama berbagai pihak atau sisi festival yang progresif bagaimana FSBJ bisa hidup karena memang masyaratnya membutuhkan," ucapnya.
Dalam sarasehan tersebut juga menghadirkan sejumlah pemateri yakni Putu Fajar Arcana (Editor Budaya Harian Kompa Jakarta) dengan materinya yang berjudul Para Penyihir dari Bali, Wayan Gde Yudane (Komponis) yang membawakan materi Strategi Pemanggungan Seni Pertunjukan (Gamelan Kontemporer) Kelas Dunia, I Nyoman Darma Putra (akademisi Universitas Udayana) dengan materi Tantangan dan Peluang Penerbitan Buku Sastra Bali Modern, dan Nyoman Nuarta (pematung) dengan materinya Kini yang Sementara, yang Selalu Ada. *ant
Menurut Dirjen Kebudayaan atau Direktur Jenderal Kebudayaan, dengan elemen-elemen atau dimensi yang dimiliki Bali tersebut dapat dijadikan dasar untuk memikirkan ekspresi seni kontemporer yang luar biasa. Selain itu, tidak sedikit seniman-seniman dari Indonesia dan Bali yang berkontribusi sangat besar merumuskan agenda seni kontemporer dunia.
Berbagai festival berskala internasional, lanjut Hilmar, pun telah banyak yang digelar di Pulau Dewata. Termasuk para pelaku seni dari Bali yang sudah menginternasional dan masyarakatnya sangat lekat dengan tradisi.
"Kalau begitu halnya, kenapa tidak dibawa ke sini? Kita punya kekuatan yang sangat besar," ucapnya pada acara yang dihadiri ratusan peserta dari kalangan budayawan, seniman, akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat di Bali itu.
Bali, bagi Hilmar, bisa mewujudkan ‘mimpinya’ menjadi pusat seni kontemporer dunia dalam kurun waktu sekitar lima tahun ke depan. Namun, ini tentu harus dibarengi dengan investasi di berbagai bidang, dari pemikiran, investasi memperkuat SDM, hingga kelembagaan. "Kita memilih melaksanakan festival tidak boleh karena Pak Kun (Kadisbud Bali-red) sukanya ini, atau karena Pak Gubernur dan Pak Dirjen sukanya itu. Masyarakat Bali harus benar-benar mengenali apa yang dimiliki dan kemudian memperkuat," ucapnya.
Hilmar pun menyoroti tidak sedikit festival seni budaya yang digelar di Pulau Dewata hanya terbatas meminjam tempat dengan nama Bali yang sudah mendunia. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah dan masyarakat Bali mulai membuka komunikasi dan berkolaborasi dengan berbagai festival seni kontemporer yang kerap dihelat di Pulau Dewata.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan ‘Kun’ Adnyana mengemukakan pelaksanaan Festival Seni Bali Jani dari 26 Oktober-8 November 2019 ini menjadi jawaban atas etos kreatif atau ekosistem seni kontemporer atau seni modern yang sudah tumbuh dan hidup di masyarakat.
Pihaknya optimistis dapat merangkul banyak pihak untuk turut membangun keberadaan Festival Seni Bali Jani ini sehingga visinya yang sebelumnya hanya untuk Bali itu kemudian beranjak menjadi lebih luas menuju cakupan global. "Dengan demikian platform adanya kolaborasi, kerja sama berbagai pihak atau sisi festival yang progresif bagaimana FSBJ bisa hidup karena memang masyaratnya membutuhkan," ucapnya.
Dalam sarasehan tersebut juga menghadirkan sejumlah pemateri yakni Putu Fajar Arcana (Editor Budaya Harian Kompa Jakarta) dengan materinya yang berjudul Para Penyihir dari Bali, Wayan Gde Yudane (Komponis) yang membawakan materi Strategi Pemanggungan Seni Pertunjukan (Gamelan Kontemporer) Kelas Dunia, I Nyoman Darma Putra (akademisi Universitas Udayana) dengan materi Tantangan dan Peluang Penerbitan Buku Sastra Bali Modern, dan Nyoman Nuarta (pematung) dengan materinya Kini yang Sementara, yang Selalu Ada. *ant
1
Komentar