Tonggak Utama Petilasan Rsi Markendya
Pura Hyang Sangkur di Desa Ketewel, Gianyar
Krama Banjar Adat Gumicik, Desa Adat Ketewel, Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianyar, menggelar Tawur Balik Sumpah di Pura Hyang Sangkur, tepi Pantai Gumicik, Desa Ketewel, Saniscara Pon Ugu, Sabtu (9/11) pagi.
GIANYAR, NusaBali
Tawur ini serangkaian Karya Padudusan Alit Ngenteg Linggih di pura setepat, Purnama Kalima, Anggara Umanis, Wayang, Senin (12/11).
Prosesi ini dihadiri Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace, unsur PHDI dan Majelis Desa Adat Provinsi Bali dan Kabupaten Gianyar. Para pamangku, pangelingsir puri, di antaranya dari Puri Agung Ubud Tjokorda Gde Putra Sukawati, pangrajeg karya Tjokorda Gde Raka Sukawati alias Cok De, perwakilan Bupati Gianyr, dan jajaran terkait, unsur prajuru desa adat, dan ribuan krama. Tawur dipuput dua sulinggih, Ida Pedanda Istri dari Griya Jaya Purna, Banjar Rangkan, Desa Ketewel, dan Ida Pedada Istri Buda dari Griya Tebesaya, Desa Peliatan, Ubud.
Bendesa Desa Adat Ketewel I Wayan Ari Suthama menyampaikan terima kasih kepada semua pihak hingga karya ini berlangsung lancar dan khidmat.
Dia memaparkan, sesuai catatan sejarah dan carita secara turun-temurun, Pura Hyang Sangkur berdiri abad VIII. Pura ini bermula dari perjalanan spiritual Rsi Markendya diiringi para pengiringnya ke Bali. Beliau berlabuh di wilayah Pantai Gumicik, lanjut masandekan (beristirahat) di pinggir pantai yang kini jadi lokasi pura ini. Selanjutnya, dari pesandekan utama ini, Sang Rsi dan para panjaknya menuju alas Taro yang kini dispiritkan dengan Pura Gunung Raung, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar. Untuk perjalanan ke Taro, Sang Rsi melalui Sungai Wos Teben, alas (hutan) Jere, Desa Ketewel, lanjut ke Cemenggon, Desa Sukawati. Di Campuhan Sungai Wos Wadon dan Wos Lanang, Ubud, Sang Rsi bersemedi untuk mohon kerahayuan jagat sekitar. Tempat ini kini bernama Pura Gunung Lebah Ubud. Lanjut, semedinya di Alas Taro, sebelum mendem (menanam) Panca Datu di Pura Besakih, Karangasem. Bendesa Ari Suthama menyatakan, sebelum karya, pura ini direstorasi tanpa mengubah bentuk aslinya. Restorasi melibat undagi dari Puri Agung Ubud, Tjokorda Gde Raka Putra Sukawati.
‘’Pura dengan ukuran 45 meter x 45 meter ini awalnya kurang tertata. Kini menjadi lebih indah karena restorasi yang digarap langsung oleh Ida Cokorda Gde bersama masyarakat di sini,’’ tambah I Wayan Puja, Sekretaris Panitia Karya yang sekaligus Sekretaris Pembangunan Pura ini.
Jelas Wayan Puja, salah satu sudut pura dengan penataan artistik yakni bagian Beji di barat laut pura. Tirta Beji yang tak pernah kering ini diangkat dengan pompa dan dimancurkan melalui patung-patung taman. ‘’Ida Cokorda Gde juga memberikan pertimbangan untuk membuat lagoon di belakang pura dan galian material lagoon ini lah yang kami pakai untuk meninggikan bangunan pura,’’ jelasnya.
Restorasi pura dimulai Desember 2018 sampai Oktober 2019. Pura ini disungsung oleh 1.560 KK Desa Adat Ketewel dan diempon 155 Kk Banjar Adat Gumicik
Di sela-sela acara, Tjokorda Gde Raka Sukawati alias Cok De mengatakan sangat bersyukur bisa terlibat langsung ngayah merestorasi pura, lanjut krama ngaturang karya di pura ini. Keterpanggilannya sejak awal merestorasi, karena pura ini punya jejak sejarah amat bernilai bagi masyarakat Bali. Pura ini merupakan tonggak utama sebelum Ida Rsi Markendya melanjutkan petilasan suci hingga membangun Pura Besakih. Secara filosopis, jelas Cok De, dari pura ini Ida Rsi Markendya menanamkan pamaknaan mendalam tentang konsep Hindu Bali, nyegara-gunung, seperti yang diwarisi dan dipahami oleh umat Hindi Bali, kini dan ke depan. ‘’Semua kesuburan di alam datang dari segara (laut), dan akhirnya kembali juga lebur ke laut,’’ jelasnya.
Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mendoakan, melalui karya ini semoga Ida Batara-batari menganugerahkan kerahayuan jagat dan kesentosaan bagi umat manusia, khususnya krama di Desa Adat Ketewel.*lsa
Prosesi ini dihadiri Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace, unsur PHDI dan Majelis Desa Adat Provinsi Bali dan Kabupaten Gianyar. Para pamangku, pangelingsir puri, di antaranya dari Puri Agung Ubud Tjokorda Gde Putra Sukawati, pangrajeg karya Tjokorda Gde Raka Sukawati alias Cok De, perwakilan Bupati Gianyr, dan jajaran terkait, unsur prajuru desa adat, dan ribuan krama. Tawur dipuput dua sulinggih, Ida Pedanda Istri dari Griya Jaya Purna, Banjar Rangkan, Desa Ketewel, dan Ida Pedada Istri Buda dari Griya Tebesaya, Desa Peliatan, Ubud.
Bendesa Desa Adat Ketewel I Wayan Ari Suthama menyampaikan terima kasih kepada semua pihak hingga karya ini berlangsung lancar dan khidmat.
Dia memaparkan, sesuai catatan sejarah dan carita secara turun-temurun, Pura Hyang Sangkur berdiri abad VIII. Pura ini bermula dari perjalanan spiritual Rsi Markendya diiringi para pengiringnya ke Bali. Beliau berlabuh di wilayah Pantai Gumicik, lanjut masandekan (beristirahat) di pinggir pantai yang kini jadi lokasi pura ini. Selanjutnya, dari pesandekan utama ini, Sang Rsi dan para panjaknya menuju alas Taro yang kini dispiritkan dengan Pura Gunung Raung, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar. Untuk perjalanan ke Taro, Sang Rsi melalui Sungai Wos Teben, alas (hutan) Jere, Desa Ketewel, lanjut ke Cemenggon, Desa Sukawati. Di Campuhan Sungai Wos Wadon dan Wos Lanang, Ubud, Sang Rsi bersemedi untuk mohon kerahayuan jagat sekitar. Tempat ini kini bernama Pura Gunung Lebah Ubud. Lanjut, semedinya di Alas Taro, sebelum mendem (menanam) Panca Datu di Pura Besakih, Karangasem. Bendesa Ari Suthama menyatakan, sebelum karya, pura ini direstorasi tanpa mengubah bentuk aslinya. Restorasi melibat undagi dari Puri Agung Ubud, Tjokorda Gde Raka Putra Sukawati.
‘’Pura dengan ukuran 45 meter x 45 meter ini awalnya kurang tertata. Kini menjadi lebih indah karena restorasi yang digarap langsung oleh Ida Cokorda Gde bersama masyarakat di sini,’’ tambah I Wayan Puja, Sekretaris Panitia Karya yang sekaligus Sekretaris Pembangunan Pura ini.
Jelas Wayan Puja, salah satu sudut pura dengan penataan artistik yakni bagian Beji di barat laut pura. Tirta Beji yang tak pernah kering ini diangkat dengan pompa dan dimancurkan melalui patung-patung taman. ‘’Ida Cokorda Gde juga memberikan pertimbangan untuk membuat lagoon di belakang pura dan galian material lagoon ini lah yang kami pakai untuk meninggikan bangunan pura,’’ jelasnya.
Restorasi pura dimulai Desember 2018 sampai Oktober 2019. Pura ini disungsung oleh 1.560 KK Desa Adat Ketewel dan diempon 155 Kk Banjar Adat Gumicik
Di sela-sela acara, Tjokorda Gde Raka Sukawati alias Cok De mengatakan sangat bersyukur bisa terlibat langsung ngayah merestorasi pura, lanjut krama ngaturang karya di pura ini. Keterpanggilannya sejak awal merestorasi, karena pura ini punya jejak sejarah amat bernilai bagi masyarakat Bali. Pura ini merupakan tonggak utama sebelum Ida Rsi Markendya melanjutkan petilasan suci hingga membangun Pura Besakih. Secara filosopis, jelas Cok De, dari pura ini Ida Rsi Markendya menanamkan pamaknaan mendalam tentang konsep Hindu Bali, nyegara-gunung, seperti yang diwarisi dan dipahami oleh umat Hindi Bali, kini dan ke depan. ‘’Semua kesuburan di alam datang dari segara (laut), dan akhirnya kembali juga lebur ke laut,’’ jelasnya.
Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mendoakan, melalui karya ini semoga Ida Batara-batari menganugerahkan kerahayuan jagat dan kesentosaan bagi umat manusia, khususnya krama di Desa Adat Ketewel.*lsa
Komentar