Guru yang Memesona Dirindukan Anak
BERDASARKAN data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang.
Kualitas guru menempati ukuran ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia (Sachs, 2016). Jumlah guru mengalami peningkatan signifikan secara kuantitatif; namun peningkatan kuantitas guru tidak sejalan dengan kualitasnya. Peningkatan kualitas guru merupakan hal penting, karena sebaik apapun kurikulum yang direncanakan, tidak bisa berjalan dengan baik tanpa didukung guru yang berkualitas.
Dewasa ini guru berkualifikasi tidak menjamin anak mau dan mampu belajar. Kompetensi juga diperlukan di samping kualifikasi, namun kompetensi tidak selalu menjamin anak terpesona. Sosok guru yang memesona bukan karena penampilan, tetapi ada perasaan yakin pada anak bahwa segala persoalannya dapat diselesaikan oleh guru itu. Berpenampilan sederhana, penuh nuansa kearifan, guru yang memesona menumbuhkan keyakinan anak semua masalah dapat diselesaikan tanpa harus mengurai atau menjelaskan terlebih dahulu. Sebuah pesona terpancar dari guru secara alami. Pesona mengandung arti memiliki daya tarik atau daya pikat. Dengan demikian, guru yang memesona adalah dia yang menarik perhatian, memukau, mengagumkan atau menakjubkan. Seorang guru yang memesona adalah sosok yang mau dan mampu menghidupkan kelas. Dia juga memiliki kepiawaian dalam menghangatkan suasana kegiatan belajar-mengajar.
Guru yang memesona sangat dibutuhkan pada zaman sekarang. Mungkin, salah satu syarat agar menjadi guru yang memesona adalah kemampuan menciptakan suasana kegiatan belajar yang kreatif, kolaboratif, berpikir kritis, dan komunikatif. Menjadi guru yang memesona bukan sekadar konsep. Ia juga bukan sebentuk pengetahuan yang hanya dipahami dan dikuasai. Ia bukan pengetahuan yang steril. Ia harus menjadi semacam ilmu yang bisa diamalkan dan melekat pada diri, menyatu dan bukan sekadar menjadi rumus yang dihafal.Menurut Covey, menjadi guru yang memesona harus memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemauan kuat untuk berpikir dan berperasaan. Guru yang memesona amat mendesak dewasa ini. Karena, dunia yang ditempati anak-anak akan berubah empat kali lebih cepat daripada sekolah-sekolah kita, menurut Dr Willard Daggett, Direktur International Center for Leadership and Education. Mengikuti perubahan lingkungan yang dahsyat, sekolah-sekolah ditantang untuk menjadi pesaing televisi dan kawan-kawannya itu. Apa mungkin sekolah berkompetisi dengan mereka? Apa sanggup sekolah menghadapi serbuan tak kenal lelah dalam menarik anak-anak untuk belajar?
Apa yang akan dilakukan oleh guru yang memesona? Guru yang memesona perlu menjadikan ilmu yang dipelajari di sekolah menjadi ilmu yang memberdayakan, bukan yang memayahkan, atau bahkan, menyiksa. Ilmu yang diajarkan di sekolah harus dapat dikontekstualkan dengan realitas kehidupan. Apa jadinya jika ada ilmu, misalnya, yang tidak bisa dikontekstualkan dengan realitas kehidupan? Ilmu itu harus dipertimbangkan untuk diajarkan di sekolah. Atau, yang agak ekstrem, ilmu itu harus diganti dengan ilmu lain yang lebih relevan.
Bagaimana mengontekstualkan sebuah ilmu? Sebagai contoh, ambil ilmu bernama Bahasa Indonesia. Belajar tentang sintaksis atau tentang perbedaan antara ‘di’ sebagai kata depan dan ‘di’ sebagai kata kerja. Namun, belajar akan hal-hal seperti itu harus diimbangi dengan berlatih menciptakan sesuatu yang terkait dengan apa yang dipelajari dan dipahami. Ilmu yang dipelajari harus kemudian membuat diri si pemilik ilmu dapat menerapkannya di lingkungannya. Atau, setidaknya, ilmu itu harus mampu mendorongnya untuk menciptakan sebuah karya nyata. Jika tidak, ilmu itu akan mandul, tidak akan berdaya guna, dan tidak akan memberikan manfaat yang maksimal. Semoga guru yang memesona muncul di sekolah-sekolah kita di Bali. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Komentar