Wakil Rakyat di Senayan Sesalkan Pembubaran Ritual Hindu di Bantul
Seharusnya, yang Dibubarkan Kalau Tebar Kebencian
Aksi pembubaran ritual ‘Maha Lingga Padma Buana’ umat Hindu di Desa Mangir, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, DI Jogjakarta oleh sekelompok massa yang videonya viral di media sosial, menuai kecaman dari wakil rakyat di Senayan.
JAKARTA, NusaBali
Anggota Komisi III DPR RI (yang membidangi Hukum dan HAM) dari Fraksi PDIP Dapil Bali, I Wayan Sudirta, menyayangkan aksi intoleran tersebut. Wayan Sudirta menyebutkan, dari video dan berita-berita online yang beredar, upacara ritual umat Hindu di Desa Mangir itu diminta dihentikan atas desakan sejumlah warga asal desa sekitarnya, dengan alasan karena belum mengantongi izin tingkat provinsi. Padahal, upacara keagamaan itu digelar sebatas di lingkungan rumah. Sedangkan pihak kepolisian, dalam video yang beredar, menyatakan kegiatan ritual keagamaan itu tidak berizin.
Sudirta menilai tindakan itu merupakan sikap tidak menghormati warga negara lainnya dan tidak hormat kepada negara. Sebab, konstitusi menjamin kebebasan warga negara melaksanakan ibadah. Apalagi, warga di Desa Mangir tidak keberatan adanya kegiatan ritual humat Hindu tersebut. Bahkan, ada warga non Hindu yang menyediakan lahannya untuk parkir dan toilet bagi tamu.
“Warga sekitar tidak ada yang keberatan ataws pelaksanaan kegiatan ritual itu,” ujar politisi PDIP asal Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Karangasem ini dalam keterangan persnya, Rabu (13/11).
Sudirta mengingatkan aparat kepolisian bahwa dalam kasus seperti itu, seharusnya Polri mengayomi umat yang beribadah, bukannya tunduk terhjadap tekanan, dengan alasan birokratis seperti disampaikan petugas kepolisian melalui video. “Kami harapkan ini yang pertama dan terakhir ada kejadian seperti ini. Umat beragama apa pun tidak boleh dibiarkan mendapat perlakuan seperti ini. Kasus ini jangan dibiarkan jadi preseden yang diulang dan diulang lagi di tempat lain. Aparat harus tegas,” pinta Sudirta
Advokat senior ini kemudian mencontohkan di Bali, kegiatan ibadah keagamaan umat yang berbeda tak pernah ada masalah. Kegiatan ibadah di Bali nyata-nyata memperlihatkan kerukunan dan aktualisasi filosofi Pancasila sebagai dasar negara, serta dasar berinteraksi secara sosial politik.
“Bukan hal aneh kalau ada sholat Jumat di masjid-masjid di Bali, yang menjaga keamanan dan ketertiban lalu lintasnya ada pecalang desa adat bersama Banser NU. Jadi, bukannya membubarkan, tapi malah saling menjaga,” papar mantan anggota DPD RI Dapil Bali dua kali periode (2004-2009, 2009-2014) ini.
Sudirta menegaskan, andaikata umat Hindu itu membuat acara, entah seminar atau ceramah, yang terindikasi menyerang Pancasila, menyebar kebencian, atau fitnah, itu wajar saja dibubarkan. “Tetapi, mereka yang melakukan persembahyangan, mendekatkan diri kepada Tuhan, acara damai, harusnya dilindungi,” katanya.
Menurut Sudirta, Polri harus mengayomi dan menjamin kebebasan beribadah sesuai UUD 1945. Sudirta juga mohon perhatian Gubernur DI Jogjakarta, Sri Sultan HB X, agar mengantisipasi kasus serupa di masa datang. “Agar DI Jogjakarta tetap menjadi salah satu simbol pluralisme yang baik di bumi Nusantara ini,” tandas Sudirta.
Ke depan, kata Sudirta, Polri harus lebih serius dan bertindak tegas terhadap acara-acara keagamaan yang berisi hasutan, cacimaki kepada negara dan Pancasila, yang mengadu domba, serta memprovokasi permusuhan dan perpecahan. Jangan sampai energi aparat penegak hukum terkuras untuk melayani tekanan kelompok tertentu, yang dilakukan melawan konstitusi, dan menyebabkan kelompok lain terpinggirkan terus menerus.
“Bagi umat Hindu yang melakukan persembahyangan, mereka sesunggguhnya melestarikan tradisi dan budaya Jawa yang adiluhung, seperti yang dilestarikan oleh keluarga Keraton Jogjakarta, dan dikreasi secara indah sampai sekarang di Bali. Secara kultural, sangat banyak perimpitan budaya, sehingga bisa dimaklumi adanya sambutan baik dari warga sekitar pelaksanaan upacara dan upakara. Tapi, yang tidak bisa dipahami, mengapa yang keberatan justru dari luar desa, seperti dilansir media-media?” tanya Sudirta.
Sudirta membeberkan, dalam berbagai kesempatan kunjungan pejabat, umat Hindu di seantero Nusantara sering mendapat pujian, karena kemampuannya beradaptasi, bertoleransi, dan berinteraksi, baik ketika mereka ada di Bali maupun di luar Pulau Dewata. Umat Hindu di Bali terkenal karena mewarisi suatu budaya dan tradisi toleransi yang mengakar dalam filosofi dan perilaku. Sedangkan umat Hindu yang di luar Bali terkenal, karena mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang berbeda budaya.
“Pujian itu jangan sampai tidak dirawat dan dijaga oleh negara. Toleransi, kebhinnekaan, dan keindahan budaya merupakan warisan leluhur sejak Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Mulawarman, Kerajaan Sriwijaya, sampai era Kerajaan Majapahit. Bung Karno dan para pendiri bangsa telah menyarikan kekayaan budaya itu menjadi Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, serta konstitusi UUD 1945. Mahal sekali kerugian yang ditimbulkan kalau negara, termasuk Polri, tidak maksimal merawat toleransi dan kebhinnekaan yang tidak ternilai harganya itu,” Sudirta yang juga pengacara mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. *nat
Sudirta menilai tindakan itu merupakan sikap tidak menghormati warga negara lainnya dan tidak hormat kepada negara. Sebab, konstitusi menjamin kebebasan warga negara melaksanakan ibadah. Apalagi, warga di Desa Mangir tidak keberatan adanya kegiatan ritual humat Hindu tersebut. Bahkan, ada warga non Hindu yang menyediakan lahannya untuk parkir dan toilet bagi tamu.
“Warga sekitar tidak ada yang keberatan ataws pelaksanaan kegiatan ritual itu,” ujar politisi PDIP asal Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Karangasem ini dalam keterangan persnya, Rabu (13/11).
Sudirta mengingatkan aparat kepolisian bahwa dalam kasus seperti itu, seharusnya Polri mengayomi umat yang beribadah, bukannya tunduk terhjadap tekanan, dengan alasan birokratis seperti disampaikan petugas kepolisian melalui video. “Kami harapkan ini yang pertama dan terakhir ada kejadian seperti ini. Umat beragama apa pun tidak boleh dibiarkan mendapat perlakuan seperti ini. Kasus ini jangan dibiarkan jadi preseden yang diulang dan diulang lagi di tempat lain. Aparat harus tegas,” pinta Sudirta
Advokat senior ini kemudian mencontohkan di Bali, kegiatan ibadah keagamaan umat yang berbeda tak pernah ada masalah. Kegiatan ibadah di Bali nyata-nyata memperlihatkan kerukunan dan aktualisasi filosofi Pancasila sebagai dasar negara, serta dasar berinteraksi secara sosial politik.
“Bukan hal aneh kalau ada sholat Jumat di masjid-masjid di Bali, yang menjaga keamanan dan ketertiban lalu lintasnya ada pecalang desa adat bersama Banser NU. Jadi, bukannya membubarkan, tapi malah saling menjaga,” papar mantan anggota DPD RI Dapil Bali dua kali periode (2004-2009, 2009-2014) ini.
Sudirta menegaskan, andaikata umat Hindu itu membuat acara, entah seminar atau ceramah, yang terindikasi menyerang Pancasila, menyebar kebencian, atau fitnah, itu wajar saja dibubarkan. “Tetapi, mereka yang melakukan persembahyangan, mendekatkan diri kepada Tuhan, acara damai, harusnya dilindungi,” katanya.
Menurut Sudirta, Polri harus mengayomi dan menjamin kebebasan beribadah sesuai UUD 1945. Sudirta juga mohon perhatian Gubernur DI Jogjakarta, Sri Sultan HB X, agar mengantisipasi kasus serupa di masa datang. “Agar DI Jogjakarta tetap menjadi salah satu simbol pluralisme yang baik di bumi Nusantara ini,” tandas Sudirta.
Ke depan, kata Sudirta, Polri harus lebih serius dan bertindak tegas terhadap acara-acara keagamaan yang berisi hasutan, cacimaki kepada negara dan Pancasila, yang mengadu domba, serta memprovokasi permusuhan dan perpecahan. Jangan sampai energi aparat penegak hukum terkuras untuk melayani tekanan kelompok tertentu, yang dilakukan melawan konstitusi, dan menyebabkan kelompok lain terpinggirkan terus menerus.
“Bagi umat Hindu yang melakukan persembahyangan, mereka sesunggguhnya melestarikan tradisi dan budaya Jawa yang adiluhung, seperti yang dilestarikan oleh keluarga Keraton Jogjakarta, dan dikreasi secara indah sampai sekarang di Bali. Secara kultural, sangat banyak perimpitan budaya, sehingga bisa dimaklumi adanya sambutan baik dari warga sekitar pelaksanaan upacara dan upakara. Tapi, yang tidak bisa dipahami, mengapa yang keberatan justru dari luar desa, seperti dilansir media-media?” tanya Sudirta.
Sudirta membeberkan, dalam berbagai kesempatan kunjungan pejabat, umat Hindu di seantero Nusantara sering mendapat pujian, karena kemampuannya beradaptasi, bertoleransi, dan berinteraksi, baik ketika mereka ada di Bali maupun di luar Pulau Dewata. Umat Hindu di Bali terkenal karena mewarisi suatu budaya dan tradisi toleransi yang mengakar dalam filosofi dan perilaku. Sedangkan umat Hindu yang di luar Bali terkenal, karena mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang berbeda budaya.
“Pujian itu jangan sampai tidak dirawat dan dijaga oleh negara. Toleransi, kebhinnekaan, dan keindahan budaya merupakan warisan leluhur sejak Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Mulawarman, Kerajaan Sriwijaya, sampai era Kerajaan Majapahit. Bung Karno dan para pendiri bangsa telah menyarikan kekayaan budaya itu menjadi Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, serta konstitusi UUD 1945. Mahal sekali kerugian yang ditimbulkan kalau negara, termasuk Polri, tidak maksimal merawat toleransi dan kebhinnekaan yang tidak ternilai harganya itu,” Sudirta yang juga pengacara mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. *nat
Komentar