Pemprov Bali Mulai Berhitung
Antisipasi Iuran BPJS Kesehatan Naik
Jika sah dinaikkan per 1 Januari 2020, maka Pemprov bersama kabupaten/kota di Bali diperkirakan akan membayar sekitar Rp 700 miliar lebih.
DENPASAR, NusaBali
Rencana kenaikan tarif premi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per 1 Januari 2020 memerlukan berbagai persiapan dan penyesuaian. Tidak saja dari sisi rumah sakit dan BPJS Kesehatan, namun juga kesiapan pemerintah daerah dalam pembiayaan.
Kenaikan tarif premi JKN membuat Pemprov Bali mulai berhitung. Sebab jika sah dinaikkan per 1 Januari 2020, maka Pemprov Bali bersama kabupaten/kota di Bali diperkirakan akan membayar sekitar Rp 700 miliar lebih setahun.
Hal itu terungkap di sela kunjungan kerja Komisi IX DPR RI di Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Jalan Melati, Denpasar, Jumat (15/11). Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr Ketut Suarjaya mengatakan, secara keseluruhan Bali menanggung Penerima Bantuan Iuran (PBI) Daerah sebanyak 1,5 juta orang. Jika tarif premi JKN sah dinaikkan, untuk membiayai 1,5 juta orang dengan premi Rp 42 ribu (sesuai rencana kenaikan) per orang, selama 12 bulan maka Pemprov bersama kabupaten/kota di Bali harus membayar sekitar Rp 700 miliar lebih setahun. Perhitungannya, Pemprov Bali harus mengalokasikan Rp 297 miliar sedangkan kabupaten/kota sisanya.
Jumlah ini dinilai memberatkan daerah, karena pembiayaan sebelumnya (tahun 2019) berkisar Rp 495 miliar dengan perhitungan dari Pemprov Bali mendanai sebesar Rp 170 miliar, sedangkan sisanya berasal dari dana sharing kabupaten/kota, sesuai dengan skema pembagian pembiayaan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.
Menurut Kadiskes dr Ketut Suarjaya, pihaknya tetap berharap, ada semacam reward dari pemerintah pusat berupa subsidi premi mengingat Bali sudah mampu Universal Health Coverage (UHC). Berdasarkan data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Wilayah Bali NTT dan NTB sampai dengan 1 Oktober 2019, pencapaian UHC Provinsi Bali mencapai 95,69 persen. Dari 4.216.169 jiwa penduduk Bali, 4.034.477 jiwa sudah masuk sebagai peserta JKN-KIS, sedangkan sisanya sebanyak 181.692 orang belum tercover JKN-KIS.
“Kami tetap berharap, pemerintah pusat bisa memberikan reward dalam bentuk subsidi premi, sehingga tidak memberatkan daerah. Kita di Bali kan sudah mengikuti kebijakan prioritas nasional, dalam hal ini JKN kita (Bali) sudah UHC. Yang paling berat adalah provinsi yang sudah UHC, karena harus menganggarkan pendanaan sekian juta penduduk, dikali rencana kenaikan tarif premi, dikali 12 bulan,” ujar Kadis Suarjaya.
Dia menambahkan, jika melihat kembali jumlah anggaran, berarti harus ada pembiayaan yang harus dipotong. Pihaknya sebagai pelaksana tugas di daerah pun akan kesulitan dalam hal ini. “Kalau kita kembali pada total jumlah anggaran saja, berarti kan harus ada yang di-cut. Kita juga kesulitan yang mana mau di-cut. Kalau yang mandiri sudah pasti berhitung, mau pindah dari kelas 1 ke kelas 3. Nah, kami pembiayaan PBI Daerah yang sudah kelas 3, dengan rencana kenaikan sebesar itu, bagaimana? Sekarang hitung-hitungan pemerintah daerah dari kenaikan itu saja, anggarannya berapa dan dari mana,” katanya.
Kadis Suarjaya melanjutkan, sebagai pelaksana tugas di daerah, dia kembali pada kebijakan kepala daerah, sambil menunggu kepastian kebijakan dari pusat. Selain itu, rumah sakit juga diharapkan mengantisipasi jika terjadi penurunan kelas dari peserta, terutama rumah sakit yang hanya mengandalkan dari BPJS Kesehatan, tentu harus menghitung dan menyesuaikan. “RS yang mengandalkan pasien PBJS tentu sudah harus mulai berhitung dan menyesuaikan. Mau tidak mau kalau pasiennya lebih banyak kelas III, lebih banyak harus menyiapkan kelas III,” imbuhnya. *ind
Kenaikan tarif premi JKN membuat Pemprov Bali mulai berhitung. Sebab jika sah dinaikkan per 1 Januari 2020, maka Pemprov Bali bersama kabupaten/kota di Bali diperkirakan akan membayar sekitar Rp 700 miliar lebih setahun.
Hal itu terungkap di sela kunjungan kerja Komisi IX DPR RI di Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Jalan Melati, Denpasar, Jumat (15/11). Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr Ketut Suarjaya mengatakan, secara keseluruhan Bali menanggung Penerima Bantuan Iuran (PBI) Daerah sebanyak 1,5 juta orang. Jika tarif premi JKN sah dinaikkan, untuk membiayai 1,5 juta orang dengan premi Rp 42 ribu (sesuai rencana kenaikan) per orang, selama 12 bulan maka Pemprov bersama kabupaten/kota di Bali harus membayar sekitar Rp 700 miliar lebih setahun. Perhitungannya, Pemprov Bali harus mengalokasikan Rp 297 miliar sedangkan kabupaten/kota sisanya.
Jumlah ini dinilai memberatkan daerah, karena pembiayaan sebelumnya (tahun 2019) berkisar Rp 495 miliar dengan perhitungan dari Pemprov Bali mendanai sebesar Rp 170 miliar, sedangkan sisanya berasal dari dana sharing kabupaten/kota, sesuai dengan skema pembagian pembiayaan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.
Menurut Kadiskes dr Ketut Suarjaya, pihaknya tetap berharap, ada semacam reward dari pemerintah pusat berupa subsidi premi mengingat Bali sudah mampu Universal Health Coverage (UHC). Berdasarkan data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Wilayah Bali NTT dan NTB sampai dengan 1 Oktober 2019, pencapaian UHC Provinsi Bali mencapai 95,69 persen. Dari 4.216.169 jiwa penduduk Bali, 4.034.477 jiwa sudah masuk sebagai peserta JKN-KIS, sedangkan sisanya sebanyak 181.692 orang belum tercover JKN-KIS.
“Kami tetap berharap, pemerintah pusat bisa memberikan reward dalam bentuk subsidi premi, sehingga tidak memberatkan daerah. Kita di Bali kan sudah mengikuti kebijakan prioritas nasional, dalam hal ini JKN kita (Bali) sudah UHC. Yang paling berat adalah provinsi yang sudah UHC, karena harus menganggarkan pendanaan sekian juta penduduk, dikali rencana kenaikan tarif premi, dikali 12 bulan,” ujar Kadis Suarjaya.
Dia menambahkan, jika melihat kembali jumlah anggaran, berarti harus ada pembiayaan yang harus dipotong. Pihaknya sebagai pelaksana tugas di daerah pun akan kesulitan dalam hal ini. “Kalau kita kembali pada total jumlah anggaran saja, berarti kan harus ada yang di-cut. Kita juga kesulitan yang mana mau di-cut. Kalau yang mandiri sudah pasti berhitung, mau pindah dari kelas 1 ke kelas 3. Nah, kami pembiayaan PBI Daerah yang sudah kelas 3, dengan rencana kenaikan sebesar itu, bagaimana? Sekarang hitung-hitungan pemerintah daerah dari kenaikan itu saja, anggarannya berapa dan dari mana,” katanya.
Kadis Suarjaya melanjutkan, sebagai pelaksana tugas di daerah, dia kembali pada kebijakan kepala daerah, sambil menunggu kepastian kebijakan dari pusat. Selain itu, rumah sakit juga diharapkan mengantisipasi jika terjadi penurunan kelas dari peserta, terutama rumah sakit yang hanya mengandalkan dari BPJS Kesehatan, tentu harus menghitung dan menyesuaikan. “RS yang mengandalkan pasien PBJS tentu sudah harus mulai berhitung dan menyesuaikan. Mau tidak mau kalau pasiennya lebih banyak kelas III, lebih banyak harus menyiapkan kelas III,” imbuhnya. *ind
Komentar