MUTIARA WEDA: Seni Diam
Meskipn pohon ditebang, tunasnya akan tumbuh kembali, bulan sabit pun akan penuh kembali. Melihat hal itu, orang bijaksana tidak resah bila musibah datang.
Chinnoapi rohati taruh ksinoapyupaciyate punascandrah,
Iti vimrsantah santah santapyante ta viplutah loke.
(Niti Sataka, 79).
PESAN yang ingin disampaikan oleh teks di atas adalah tentang pentingnya kesabaran. Banyak orang yang tidak bisa sabar menjalani kehidupannya. Semua ingin serba cepat. Apa yang diinginkan agar segera terwujud. Mereka tidak kuasa menunggu dengan tenang. Kesehariannya selalu tampak resah tidak sabar menunggu. Dirinya tidak bisa duduk dengan sabar. Penampilannya tampak resah, raut mukanya tidak tenang, pandangan matanya sibuk ke sana kemari, bangun dari duduknya berkali-kali dengan alasan yang tidak jelas. Keresahan ini terjadi dalam banyak kejadian. Ketika sesuatu hal buruk datang, dia tidak sabar agar segera terlepas dari kejadian tersebut. Respons yang dilakukan tubuh pun tampak berlebihan. Sering tindakannya tidak sesuai dengan yang diperuntukkan.
Teks di atas berpesan agar setiap orang mesti memiliki sifat sabar karena itu baik. Alam semesta telah menggariskannya demikian. Apa pun di dunia ini perlu waktu. Ketika sesuatu telah terjadi dan perubahan tidak bisa dihindari dari kejadian tersebut, maka untuk memulihkannya ke situasi awal diperlukan waktu yang cukup. Seperti halnya pohon yang cabangnya ditebang, diperlukan waktu untuk tumbuh seperti sedia kala. Jika sudah waktunya semua pasti akan berlalu. Justru ketika respons yang diberikan berlebihan membuat suasana lebih buruk dari sebelumnya. Banyak orang yang mestinya tetap tenang ketika menghadapi masalah, memberikan ruang agar masalah itu terselesaikan, justru, oleh karena tidak sabar, masalah tersebut malahan menjadi lebih besar.
Oleh karena itu, pesan teks di atas sungguh sangat bijak. Tidak gampang memang melatih diri untuk sabar. Tetapi, jika bisa diikuti, justru dengan kesabaran semuanya menjadi gampang. Ketika air keruh, setiap tindakan yang dilakukan untuk membuat air tersebut bening adalah bertentangan. Tindakan yang berlebih tidak akan membuat air tersebut tenang, melainkan bisa bertambah keruh. Jadi, ketika air sedang keruh, hal yang bisa dilakukannya adalah dengan mendiamkannya. Yang diperlukan hanya diam dan sabar. Memang menunggu sampai bening kembali itu perlu waktu dan membosankan. Tetapi, agar bisa hening memang tidak ada pilihan. Diam menontonnya adalah satu-satunya cara.
Jadi, di sini kita harus mampu melihat sebuah persoalan secara komprehensif. Ada persoalan yang memerlukan respons langsung dan ada yang tidak. Masalah kecelakaan misalnya, memerlukan respons cepat agar bisa ditangani dan ditolong. Masalah seperti ini tidak bisa didiamkan. Tetapi, sebagian besar masalah tidak sama seperti kasus kecelakaan ini. Sebagian besar masalah yang dihadapi manusia selalu berhubungan seperti air keruh tersebut. Hanya kesabaran yang mengantarkannya pada sebuah penyelesaian. Ketika masalah sudah terjadi, yang diperlukan hanyalah menunggunya, kapan secara tepat mengambil tindakan dan kapan mesti tetap diam.
Apa yang dilakukan agar bisa terlatih seperti itu? Yang terpenting adalah belajar diam. Ini adalah pelajaran mahal saat ini. Setiap saat kita diajarkan untuk tidak diam, selalu bergerak, bekerja dan bekerja. Tubuh dan pikiran tidak memiliki ruang untuk diam sejenak. Setiap saat dirangsang untuk mengerjakan lebih dan lebih sehingga tubuh dan pikiran benar-benar lupa kalau diam juga merupakan bagiannya. Oleh karena terbiasa dengan tindakan, maka ketika ada respons yang memerlukan kesabaran atau diam, sangat susah bagi sebagian besar orang. Masalah yang harusnya sudah selesai justru bisa bertambah banyak. Pohon yang mestinya sudah tumbuh tunas baru, malah tunasnya terpangkas lagi. Oleh karena itu belajar diam menjadi sangat penting dewasa ini. Jika punya waktu kapan saja dan di mana saja, menyempatkan diri untuk sendiri, diam sejenak menjadi sangat penting dan ini akan membuat hidup kita menjadi lebih efektif. Biarkan bulan sabit penuh kembali setelah beberapa hari. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Niti Sataka, 79).
PESAN yang ingin disampaikan oleh teks di atas adalah tentang pentingnya kesabaran. Banyak orang yang tidak bisa sabar menjalani kehidupannya. Semua ingin serba cepat. Apa yang diinginkan agar segera terwujud. Mereka tidak kuasa menunggu dengan tenang. Kesehariannya selalu tampak resah tidak sabar menunggu. Dirinya tidak bisa duduk dengan sabar. Penampilannya tampak resah, raut mukanya tidak tenang, pandangan matanya sibuk ke sana kemari, bangun dari duduknya berkali-kali dengan alasan yang tidak jelas. Keresahan ini terjadi dalam banyak kejadian. Ketika sesuatu hal buruk datang, dia tidak sabar agar segera terlepas dari kejadian tersebut. Respons yang dilakukan tubuh pun tampak berlebihan. Sering tindakannya tidak sesuai dengan yang diperuntukkan.
Teks di atas berpesan agar setiap orang mesti memiliki sifat sabar karena itu baik. Alam semesta telah menggariskannya demikian. Apa pun di dunia ini perlu waktu. Ketika sesuatu telah terjadi dan perubahan tidak bisa dihindari dari kejadian tersebut, maka untuk memulihkannya ke situasi awal diperlukan waktu yang cukup. Seperti halnya pohon yang cabangnya ditebang, diperlukan waktu untuk tumbuh seperti sedia kala. Jika sudah waktunya semua pasti akan berlalu. Justru ketika respons yang diberikan berlebihan membuat suasana lebih buruk dari sebelumnya. Banyak orang yang mestinya tetap tenang ketika menghadapi masalah, memberikan ruang agar masalah itu terselesaikan, justru, oleh karena tidak sabar, masalah tersebut malahan menjadi lebih besar.
Oleh karena itu, pesan teks di atas sungguh sangat bijak. Tidak gampang memang melatih diri untuk sabar. Tetapi, jika bisa diikuti, justru dengan kesabaran semuanya menjadi gampang. Ketika air keruh, setiap tindakan yang dilakukan untuk membuat air tersebut bening adalah bertentangan. Tindakan yang berlebih tidak akan membuat air tersebut tenang, melainkan bisa bertambah keruh. Jadi, ketika air sedang keruh, hal yang bisa dilakukannya adalah dengan mendiamkannya. Yang diperlukan hanya diam dan sabar. Memang menunggu sampai bening kembali itu perlu waktu dan membosankan. Tetapi, agar bisa hening memang tidak ada pilihan. Diam menontonnya adalah satu-satunya cara.
Jadi, di sini kita harus mampu melihat sebuah persoalan secara komprehensif. Ada persoalan yang memerlukan respons langsung dan ada yang tidak. Masalah kecelakaan misalnya, memerlukan respons cepat agar bisa ditangani dan ditolong. Masalah seperti ini tidak bisa didiamkan. Tetapi, sebagian besar masalah tidak sama seperti kasus kecelakaan ini. Sebagian besar masalah yang dihadapi manusia selalu berhubungan seperti air keruh tersebut. Hanya kesabaran yang mengantarkannya pada sebuah penyelesaian. Ketika masalah sudah terjadi, yang diperlukan hanyalah menunggunya, kapan secara tepat mengambil tindakan dan kapan mesti tetap diam.
Apa yang dilakukan agar bisa terlatih seperti itu? Yang terpenting adalah belajar diam. Ini adalah pelajaran mahal saat ini. Setiap saat kita diajarkan untuk tidak diam, selalu bergerak, bekerja dan bekerja. Tubuh dan pikiran tidak memiliki ruang untuk diam sejenak. Setiap saat dirangsang untuk mengerjakan lebih dan lebih sehingga tubuh dan pikiran benar-benar lupa kalau diam juga merupakan bagiannya. Oleh karena terbiasa dengan tindakan, maka ketika ada respons yang memerlukan kesabaran atau diam, sangat susah bagi sebagian besar orang. Masalah yang harusnya sudah selesai justru bisa bertambah banyak. Pohon yang mestinya sudah tumbuh tunas baru, malah tunasnya terpangkas lagi. Oleh karena itu belajar diam menjadi sangat penting dewasa ini. Jika punya waktu kapan saja dan di mana saja, menyempatkan diri untuk sendiri, diam sejenak menjadi sangat penting dan ini akan membuat hidup kita menjadi lebih efektif. Biarkan bulan sabit penuh kembali setelah beberapa hari. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar