Penjual Soto Gugat RS Mata Solo Rp 10 M
Buta Pascaoperasi Mata
Seorang penjual soto Lamongan asal Malangjiwan RT 05 RW 02, Kecamatan Colomadu, Karanganyar, Kastur (65), menggugat RS Mata Solo ke Pengadilan Negeri Surakarta.
SOLO, NusaBali
Dia merasa menjadi korban malpraktik hingga mengalami kebutaan. Kastur menceritakan kebutaan dia alami sudah hampir 3 tahun. Awalnya dia hanya memiliki keluhan sulit membaca berita pada teks berjalan di televisi. Kastur kemudian mendatangi RS Mata Solo untuk dibuatkan kacamata. Dia menilai kacamata bisa membantu mengurangi keluhannya tersebut.
Namun, setelah Kastur diperiksa, dokter berinisial RH meminta Kastur melakukan operasi karena diduga mengalami katarak parah pada mata kanannya.
"Dokter bilang kataraknya sudah hilang. Saya tanya soal kacamata lagi, katanya masih harus kontrol terus tiap bulan," kata Kastur di PN Surakarta, Selasa (19/11).
Januari 2017, dokter kembali memvonis Kastur mengalami katarak. Kali ini pada mata kirinya. Dia pun diminta kembali melakukan operasi agar kataraknya hilang.
"Tapi yang kedua ini sakit sekali. Kalau yang pertama dulu tidak sakit. Tapi setelah itu memang mata saya jernih," ujar dia.
Namun semakin lama matanya menjadi buram. Empat pekan pascaoperasi, matanya menjadi buta. Hingga kini, Kastur harus memakai kacamata hitam untuk menutupi matanya yang buta.
Kastur sempat dirujuk ke RSUP dr Kariadi, Semarang. Dokter bilang ibarat kaca mobil, kornea mata Kastur sudah penuh goresan dan dalam.
"Lalu dirujuk ke RSCM Jakarta, biayanya per kornea Rp 30 juta, tapi tidak ditanggung BPJS Kesehatan," katanya.
Kuasa hukum Kastur, Bekti Pribadi, mengatakan kliennya pernah mendapatkan tali asih sebesar Rp 75 juta dari RS Mata Solo. Uang tersebut dipakai untuk ganti rugi kornea yang rusak dan biaya transportasi. Namun, karena selama buta Kastur tak bekerja, dia menanggung biaya hidup dengan cara berutang. Uang tali asih dari RS akhirnya dipakai untuk melunasi utang-utangnya.
"Kita hitung pemasukan Pak Kastur sehari itu 600 ribu, jadi kita hitung kerugian materialnya Rp 570 juta. Sedangkan kerugian imaterialnya kita hitung Rp 10 miliar," kata Bekti.
Kini kasus tersebut sudah naik ke persidangan perdata. Selaku tergugat ialah dokter RH dan dr Amania Fairuzia selaku Direktur Utama RS Mata Solo.
Kuasa hukum RS Mata Solo, Rikawati, mengatakan pihaknya akan mengikuti proses hukum yang berlaku. Dia mengatakan akan menjawab tudingan tersebut lewat pengadilan.
"Sebagai warga negara yang baik, kita akan mengikuti proses persidangan. Biar nanti pembuktiannya di pengadilan saja," ujar Rika. *
Namun, setelah Kastur diperiksa, dokter berinisial RH meminta Kastur melakukan operasi karena diduga mengalami katarak parah pada mata kanannya.
"Dokter bilang kataraknya sudah hilang. Saya tanya soal kacamata lagi, katanya masih harus kontrol terus tiap bulan," kata Kastur di PN Surakarta, Selasa (19/11).
Januari 2017, dokter kembali memvonis Kastur mengalami katarak. Kali ini pada mata kirinya. Dia pun diminta kembali melakukan operasi agar kataraknya hilang.
"Tapi yang kedua ini sakit sekali. Kalau yang pertama dulu tidak sakit. Tapi setelah itu memang mata saya jernih," ujar dia.
Namun semakin lama matanya menjadi buram. Empat pekan pascaoperasi, matanya menjadi buta. Hingga kini, Kastur harus memakai kacamata hitam untuk menutupi matanya yang buta.
Kastur sempat dirujuk ke RSUP dr Kariadi, Semarang. Dokter bilang ibarat kaca mobil, kornea mata Kastur sudah penuh goresan dan dalam.
"Lalu dirujuk ke RSCM Jakarta, biayanya per kornea Rp 30 juta, tapi tidak ditanggung BPJS Kesehatan," katanya.
Kuasa hukum Kastur, Bekti Pribadi, mengatakan kliennya pernah mendapatkan tali asih sebesar Rp 75 juta dari RS Mata Solo. Uang tersebut dipakai untuk ganti rugi kornea yang rusak dan biaya transportasi. Namun, karena selama buta Kastur tak bekerja, dia menanggung biaya hidup dengan cara berutang. Uang tali asih dari RS akhirnya dipakai untuk melunasi utang-utangnya.
"Kita hitung pemasukan Pak Kastur sehari itu 600 ribu, jadi kita hitung kerugian materialnya Rp 570 juta. Sedangkan kerugian imaterialnya kita hitung Rp 10 miliar," kata Bekti.
Kini kasus tersebut sudah naik ke persidangan perdata. Selaku tergugat ialah dokter RH dan dr Amania Fairuzia selaku Direktur Utama RS Mata Solo.
Kuasa hukum RS Mata Solo, Rikawati, mengatakan pihaknya akan mengikuti proses hukum yang berlaku. Dia mengatakan akan menjawab tudingan tersebut lewat pengadilan.
"Sebagai warga negara yang baik, kita akan mengikuti proses persidangan. Biar nanti pembuktiannya di pengadilan saja," ujar Rika. *
Komentar