Warga Selasih Hadang Alat Berat Investor
“Kalau mereka (investor) menggunakan cara kekerasan, setidaknya kami siap menggunakan bambu runcing ini’.
GIANYAR, NusaBali
Puluhan warga Banjar Selasih, Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Gianyar menghadang kedatangan alat berat milik investor ke lahan warga, Rabu (20/11). Aksi ini menyusul informasi bahwa lahan garapan warga akan dibuldozer oleh investor.
Selama ini, warga setempat masih menunggu sikap baik investor untuk duduk bersama. Sejatinya, polemik ini sempat dimediasi oleh perwakilan investor dengan pemilik lahan, Kamis (3/10), namun tidak membuahkan hasil. Salah satu petani, I Made Sudiantara menjelaskan aksi penghadangan itu sejak Selasa (19/11) malam. Warga berjaga guna mencegah alat berat masuk meratakan kebun pisang warga. Kerana ada informasi akan ada alat berat yang akan diturunkan investor untuk meratakan lahan perkebunan milik warga. “Kami di sini sejak pukul 22.00 Wita. Karena tidak adanya sosialisasi terlebih dahulu,” bebernya.
Setahunya, sosialisasi maupun pertemuan terkait permasalahan tanah itu belum ada titik terang. Setiap ada pertemuan yang turun ke lokasi, hanya perwakilan investor. Akibatnya, tidak pernah ada keputusan apa pun sehingga masukan dan saran hanya ditampung saja. “Kami ingin tetap ingin sebagai petani, bukan ingin ganti rugi. Kami juga ingin tahu, investor mau menjadikan apa lahan ini?,” ungkapnya heran.
Aksi penghadangan dibarengi pemasangan spanduk yang bertuliskan berbagai macam sindiran untuk investor. Di antaranya, petani butuh rabuk bukan buldoser, bangun Bali dukung petani, dan beberapa tulisan yang mencurahkan isi hati para petani tersebut. Penghadangan juga menggunakan sejumlah batang pohon dan beberapa bambu runcing berisi kain putih.
“Kami jaga-jaga, kalau mereka (investor) menggunakan cara kekerasan, setidaknya kami siap menggunakan bambu runcing ini,” imbuh Sudiantara.
Di lokasi, Waka Polsek Payangan Iptu Made Murgama seizin Kapolsek, mengingatkan kepada warga agar menjaga keamanan. Tujuan aksi agar fokus untuk mempertahankan atau mempertanyakan status lahan. Jika anarkis tentu akan berdampak hukum bagi pelaku. “Kami tekankan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan. Solusinya, bertemu dulu dengan pihak investor, lakukan rapat. Entah dimana, yang penting ada kesepakatan, ditulis, baru sosialisasi dan bisa melakukan aktivitas. Jangan anarkis,” tegasnya.
Untuk diketahui, lahan yang menjadi polemik itu seluas 144 hektare milik Puri Payangan. Lahan ini sejak dulu digarap dan kini ditanami pisang oleh warga setempat. Koordinator Serikat Petani Selasih (SPS) Wayan Kariasa menjelaskan sejak zaman kerajaan, lahan tersebut telah diberikan kepada warga setempat untuk berkebun secara turun temurun hingga kini.
Namun, sejak tahun 1997 ada kabar bahwa tanah itu sudah dijual oleh puri dan akan dibangun lapangan golf, namun tidak jadi. Dia berharap, meski bukan tanah milik warga, karena sebagai penanding (penggarap) sejak sekian tahun, semestinya ada pemberitahuan terlebih dulu. Sehingga warga setempat yang rata-rata pekerjaannya jadi buruh panen daun pisang tidak secara tiba-tiba kehilangan pekerjaan.
Jelas Kariasa, dari ratusan hektare tersebut, 50 persen ada juga lahan milik warga secara pribadi, dan 50 persen duwe (milik) puri. Di atas lahan itu ada tiga pura yakni Pura Hyang Api, Pura Puncak Alit, dan Pura Panti Pasek Gelgel. Dia mengharapkan pemerintah bisa membantu jalan keluar dari kasus tersebut serta menangani keluh-kesah warga pemilik lahan.
Investor dari PT Ubud Resort, melalui bidang hukumnya, Naldi, dikonfirmasi Rabu (20/11), mengaku tidak bisa memutuskan apa pun terkait masalah tersebut. Karena, kapasitasnya hanya menampung masukan lanjut menyampaikan kepada kliennya. “Warga telah menyampaikan kemauannya, dimediasi kepolisian. Ya, kami tampung,” paparnya.
Disinggung dengan perabasan pohon pisang, dia enggan menjawab. “Ya seperti itulah. Itu hukum yang bicara, kalau lahan ini akan dijadikan apa belum bisa kami jelaskan sekarang. Nanti kalau sudah ada kepastian, pasti kami adakan sosialisasi dengan warga,” imbuhnya.*nvi
Selama ini, warga setempat masih menunggu sikap baik investor untuk duduk bersama. Sejatinya, polemik ini sempat dimediasi oleh perwakilan investor dengan pemilik lahan, Kamis (3/10), namun tidak membuahkan hasil. Salah satu petani, I Made Sudiantara menjelaskan aksi penghadangan itu sejak Selasa (19/11) malam. Warga berjaga guna mencegah alat berat masuk meratakan kebun pisang warga. Kerana ada informasi akan ada alat berat yang akan diturunkan investor untuk meratakan lahan perkebunan milik warga. “Kami di sini sejak pukul 22.00 Wita. Karena tidak adanya sosialisasi terlebih dahulu,” bebernya.
Setahunya, sosialisasi maupun pertemuan terkait permasalahan tanah itu belum ada titik terang. Setiap ada pertemuan yang turun ke lokasi, hanya perwakilan investor. Akibatnya, tidak pernah ada keputusan apa pun sehingga masukan dan saran hanya ditampung saja. “Kami ingin tetap ingin sebagai petani, bukan ingin ganti rugi. Kami juga ingin tahu, investor mau menjadikan apa lahan ini?,” ungkapnya heran.
Aksi penghadangan dibarengi pemasangan spanduk yang bertuliskan berbagai macam sindiran untuk investor. Di antaranya, petani butuh rabuk bukan buldoser, bangun Bali dukung petani, dan beberapa tulisan yang mencurahkan isi hati para petani tersebut. Penghadangan juga menggunakan sejumlah batang pohon dan beberapa bambu runcing berisi kain putih.
“Kami jaga-jaga, kalau mereka (investor) menggunakan cara kekerasan, setidaknya kami siap menggunakan bambu runcing ini,” imbuh Sudiantara.
Di lokasi, Waka Polsek Payangan Iptu Made Murgama seizin Kapolsek, mengingatkan kepada warga agar menjaga keamanan. Tujuan aksi agar fokus untuk mempertahankan atau mempertanyakan status lahan. Jika anarkis tentu akan berdampak hukum bagi pelaku. “Kami tekankan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan. Solusinya, bertemu dulu dengan pihak investor, lakukan rapat. Entah dimana, yang penting ada kesepakatan, ditulis, baru sosialisasi dan bisa melakukan aktivitas. Jangan anarkis,” tegasnya.
Untuk diketahui, lahan yang menjadi polemik itu seluas 144 hektare milik Puri Payangan. Lahan ini sejak dulu digarap dan kini ditanami pisang oleh warga setempat. Koordinator Serikat Petani Selasih (SPS) Wayan Kariasa menjelaskan sejak zaman kerajaan, lahan tersebut telah diberikan kepada warga setempat untuk berkebun secara turun temurun hingga kini.
Namun, sejak tahun 1997 ada kabar bahwa tanah itu sudah dijual oleh puri dan akan dibangun lapangan golf, namun tidak jadi. Dia berharap, meski bukan tanah milik warga, karena sebagai penanding (penggarap) sejak sekian tahun, semestinya ada pemberitahuan terlebih dulu. Sehingga warga setempat yang rata-rata pekerjaannya jadi buruh panen daun pisang tidak secara tiba-tiba kehilangan pekerjaan.
Jelas Kariasa, dari ratusan hektare tersebut, 50 persen ada juga lahan milik warga secara pribadi, dan 50 persen duwe (milik) puri. Di atas lahan itu ada tiga pura yakni Pura Hyang Api, Pura Puncak Alit, dan Pura Panti Pasek Gelgel. Dia mengharapkan pemerintah bisa membantu jalan keluar dari kasus tersebut serta menangani keluh-kesah warga pemilik lahan.
Investor dari PT Ubud Resort, melalui bidang hukumnya, Naldi, dikonfirmasi Rabu (20/11), mengaku tidak bisa memutuskan apa pun terkait masalah tersebut. Karena, kapasitasnya hanya menampung masukan lanjut menyampaikan kepada kliennya. “Warga telah menyampaikan kemauannya, dimediasi kepolisian. Ya, kami tampung,” paparnya.
Disinggung dengan perabasan pohon pisang, dia enggan menjawab. “Ya seperti itulah. Itu hukum yang bicara, kalau lahan ini akan dijadikan apa belum bisa kami jelaskan sekarang. Nanti kalau sudah ada kepastian, pasti kami adakan sosialisasi dengan warga,” imbuhnya.*nvi
Komentar