Kupas Tuntas Ritual Barong Brutuk Melalui Bedah Buku
Barong Brutuk merupakan ritual yang ditarikan tanpa iringan musik oleh 21 lelaki Desa Trunyan yang masih perjaka.
DENPASAR, NusaBali.com
Masyarakat Bali selama ini mengenal tarian Barong sebagai tarian sakral dengan beragam jenisnya, seperti Barong Ket, Barong Bangkung, dan lainnya. Namun ada satu tarian Barong yang jarang terdengar, yakni Barong Brutuk yang merupakan ritual asli masyarakat Bali Aga di Desa Trunyan, Bangli.
Karena beragam keunikannya, Dr Putu Sabda Jayendra SPd H MPd H tertarik untuk mengulas secara mendalam mengenai ritual ini dalam bukunya yang berjudul ‘Barong Brutuk Penjaga Jiwa dari Tanah Bali Kuno’. Buku ini baru saja diterbitkan di pertengahan tahun 2018 dan diulas melalui acara Bedah Buku yang berlangsung pada Jumat (22/11/2019) di Kampus Mahendradatta Denpasar. Acara bedah buku yang berlangsung dari siang hingga petang hari ini menghadirkan Dr Ida Bagus Subrahmaniam Saitya SH SAg MFilH dan IB Arya Lawa Manuaba SPd MPd sebagai pembahas buku.
Ritual Barong Brutuk sediri merupakan ritual yang termasuk langka. Barong Brutuk merupakan bagian dari sebuah upacara yang disebut dengan Ngusaba Gede Kapat Lanang yang mana Barong Brutuk merupakan ritual puncaknya, dengan tujuan untuk memohon kesuburan. Semestinya, ritual bercorak megalitikum ini rutin diadakan setiap dua tahun sekali.
Namun, pada tahun 2004 silam, ritual ini sempat tidak dilaksanakan dan baru dilaksanakan kembali pada 2014. Di tahun 2016, ritual ini kembali ditiadakan dikarenakan kerusakan yang dialami oleh Pura Pancering Jagat tempat dilaksanakannya ritual ini. Terakhir, ritual ini baru dilaksanakan kembali pada tahun 2018 lalu, tepatnya pada 28 September 2018 silam.
Putu Sabda menuturkan, penelitian ini dilakukan selama kurang lebih dua tahun, dimulai dari pertengahan 2016 hingga penghujung tahun 2018 sebagai disertasinya dalam meraih gelar Doktor di Institut Hindu Dharma Indonesia Denpasar. Dalam rentang waktu dua tahun ini, penelitian yang dilakukan tak hanya berpusat mengenai ritual Barong Brutuk saja.
“Awalnya juga saya tidak berpikir untuk melalukan penelitian selama itu. Tetapi setelah melakukan penelitian, Barong Brutuk itu erat sekali kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan sosial budaya dan pendidikan di Desa Trunyan. Mulai dari konsep histori, asal kata Trunyan yang berasal dari Turun-Hyang, kemudian menjadi ‘Turunyan’, dari Turunyan kemudian lahir konsep ‘Sibakan Muani’ dan ‘Sibakan Luh’ di masyarakat Trunyan itu. Sehingga untuk menelusuri itu saya memerlukan waktu, itu pun baru dari segi sosialnya, belum lagi yang lain,” ujar Putu Sabda di sela-sela acara Bedah Buku ini.
Buku ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak, mulai dari peserta acara Bedah Buku, para pembahas, hingga penduduk Desa Trunyan yang budayanya diangkat dalam buku ini. Apresiasi ini terutama karena buku ini membantah apa yang selama ini salah dituliskan dalam berbagai artikel mengenai Barong Brutuk sendiri. “Masyarakat setempat, terutama tokoh-tokoh adat itu cukup kooperatif dan apresiatif terhadap apa yang saya lakukan. Malah mereka mewanti-wanti agar penulisan jangan sampai salah, karena banyak sekali artikel yang beredar yang hanya berdasarkan informasi singkat kemudian menjadi salah,” kesannya.*yl
Komentar