nusabali

Emosi, Ibu-ibu Buka Baju Hadang Alat Berat

‘Sengketa’ Lahan yang Hendak Dijadikan Resort di Payangan, Gianyar

  • www.nusabali.com-emosi-ibu-ibu-buka-baju-hadang-alat-berat

Empat orang ibu-ibu nekat membuka baju sambil berteriak menghadang masuknya dua alat berat dari PT Ubud Resort Development, yang masuk mengeruk dan merobohkan pohon pisang di kawasan Banjar Selasih, Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Sabtu (23/11) sekitar pukul 07.30 Wita.

GIANYAR, NusaBali

Serikat Petani Selasih (SPS) yang kaget langsung emosi dan mencoba menghadang masuknya alat berat yang dikawal ratusan personel polisi. Aksi saling dorong pun tak terhindarkan. Beberapa warga ada yang terdorong ke tegalan sehingga memicu emosi warga lain, termasuk empat ibu-ibu tersebut.

Kondisi ini disayangkan warga, sebab pada pertemuan yang dipimpin Kapolres Gianyar AKBP Priyanto Priyo Hutomo, sehari sebelumnya, Jumat (22/11), dinyatakan akan ada mediasi lanjutan. Nyatanya, tanpa sepengetahuan warga, alat berat langsung masuk meratakan kebun pisang.

Salah seorang ibu yang nekat buka baju, Ni Putu Astiti, mengaku aksinya itu terjadi secara spontan. “Saking emosinya. Jangankan malu, nyawa saya pertaruhkan saat itu,” ungkap ibu dua anak yang sudah duduk di bangku SMP ini.

Istri dari petani I Nyoman Tamu ini mengatakan urat malunya seakan telah putus ketika melihat pohon pisang yang selama ini menghidupi keluarganya dibabat. Putu Astiti juga tidak menyadari jika ada luka goresan pada bahunya. “Tidak terasa, ternyata ada luka,” ujarnya.

Aksi buka baju itu pun membuat tiga orang ibu lainnya mengikuti. Tiga ibu yang melakukan aksi serupa adalah Ni Made Kanti, Ni Made Rikek, dan Ni Wayan Sumbit.

“Singidang ngomong ape (tidak bisa ngomong apa) waktu itu. Makanya langsung saja buka baju,” tandas Putu Astiti.

Menurut Putu Astiti, masuknya alat berat melenceng dari kesepakatan awal. Apalagi, baru sehari sebelumnya, Jumat (22/11), digelar mediasi. “Minimal ada pemberitahuan, ini kan tiba-tiba masuk. Sebatas mana dibuldozer, kami tidak tahu. Khawatir jika kebun dan rumah kami dihabisi, mau tinggal di mana kami?” ujarnya heran.

Keinginan dari penggarap, menurut Putu Astiti, hanya ingin ada titik temu antara penggarap dengan perusahaan. “Sejauh ini kan belum ada kesepakatan hitam di atas putih. Yang jelas kami sebagai petani agar dijamin hak untuk hidup layak,” tuturnya didampingi warga lain yang tergabung dalam SPS.  

Sementara sepengetahuan I Wayan Sutama, warga setempat, puluhan KK warga Selasih tinggal turun menurun sejak zaman kerajaan. “Raja yang mengutus panglingsir kami untuk merabas tempat ini. Awalnya ini hutan belantara,” jelasnya.

Seiring berjalannya waktu, Sutama mengetahui ada pembebasan lahan sekitar tahun 1994. Ketika itu, wilayah Selasih akan dijadikan lapangan golf dan akomodasi wisata. “Saat itu banyak calo wara wiri disini. Tapi kami tidak jelas mengetahui proses jual belinya. Tahu-tahu pada 7 Mei 2019 lalu, dipasang plang kepemilikan lahan 103,38 hektare oleh PT Ubud Resort. Pemasangan itupun tidak ada koordinasi sama sekali,” ucapnya.

Seingatnya, puluhan warga Selasih ini sebagai petani penggarap. Ada sebanyak 52 kepala keluarga (KK) yang tergabung dalam SPS. Sementara 30 KK di antaranya memiliki rumah permanen yang khawatir akan dieksekusi tanpa penjelasan lebih lanjut. “Kami dari lahir di sini. Kalau dirobohkan, mau pindah ke mana? Kecuali transmigrasi, itu pun berat. Pemerintah kayaknya tidak memikirkan nasib rakyat kecil seperti kami. Dua kali layangkan audiensi bupati, tidak ditanggapi,” kata warga lain, Gede Nova Wiranata, 24.

Dikatakannya, sehari-hari sumber penghasilan petani hanya dari pohon pisang. Daun pisang dijual hingga ke Pasar Badung di Denpasar, Kuta hingga Nusa Dua, Kabupaten Badung.

“Saya cari makan dari maburuh metik daun pisang dan sedikit panen. Sekarang ditebang, mau makan apa. Kebutuhan rumah tangga, belum lagi bekal sekolah anak,” imbuh Putu Astiti.

Sementara itu, Legal PT Ubud Resort Development Syawal, mengatakan pengawalan ini memang atas permintaan perusahaan kepada Polres Gianyar. “Kami minta pengamanan dari polisi,” ujarnya. Terkait kedatangannya yang dinilai tanpa koordinasi, pihaknya menampik. “Tidak benar itu. Karena jauh sebelumnya, kami sudah sampaikan kami akan bersihkan lahan yang memang jadi hak perusahaan,” jelasnya.

Menurut Syawal, awalnya lahan ini berupa sawah. Namun oleh warga, selama sekitar 20 tahunan, telah diubah menjadi kebun pisang. “Kalau view-nya sawah, mungkin tidak akan ada alat berat. Lha ini kan pohon pisang semua, sedangkan investor ingin melihat seperti apa sih lahan di sini. Sehingga investor mau menanamkan modalnya untuk resort nantinya,” kata Syawal.

Terkait tuntutan warga, Syawal balik bertanya. “Tuntutan yang mana, ganti rugi apa? Justru selama ini kami yang rugi, karena selama ini kami tidak pernah meminta kompensasi. Justru kami yang dirugikan sebagai pemilik lahan,” ucapnya.

Terkait pembersihan lahan ini, katanya akan berlangsung selama 13 hari. Selama itu, yang dibersihkan hanya 12,5 hektare kebun pisang. “Ada investor yang mau datang melihat. Kalau lahan isinya pohon pisang, mereka jelas tidak tertarik. Rencananya akan dibangun resort,” tegasnya.

Sementara terkait aksi penghadangan, menurutnya itu wajar. “Biasa saja, karena pasti ada yang senang ada yang tidak,” jelasnya. Untuk 30 rumah warga dan 3 pura yang ada di kawasan, menurut Syawal, akan dibahas lebih lanjut dengan pimpinannya. “Untuk rumah sementara belum kami eksekusi, baru lahan sama pohon saja. Kalau 3 pura itu, kami pastikan tidak dibongkar,” tuturnya.

Dikonfirmasi terpisah, Kapolres Gianyar AKBP Priyanto Priyo Hutomo mengaku hanya menjalankan tugas pengamanan. Personel yang dikerahkan sebanyak 300 orang diback-up Polda Bali. “Polisi laksanakan pengamanan terhadap penataan lahan PT sesuai surat perusahaan yang minta perlindungan hukum,” jelasnya.

Terkait penghadangan oleh ibu-ibu sambil buka baju, pihaknya mengaku telah ditenangkan oleh 10 polwan. “Harapan saya pada masyarakat, jangan benturan dengan polisi. Kalau ada hal yang merasa dirugikan, baik itu pidana maupun perdata, silakan melapor. Kami siap menerima laporan masyarakat. Bila perlu cari lawyer karena kita negara hukum, nanti diuji di pengadilan,” ujarnya.

Usai melakukan aksinya, sejumlah petani dari Banjar Selasih, Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Gianyar mendatangi Lembaga Bantuan Hukum Kongres Advokat Indonesia (LBH KAI) Bali, di Renon, Denpasar. Kedatangan petani Selasih ini meminta bantuan hukum terkait sengketa petani Selasih dengan PT Ubud Resort Development yang kian meruncing.

Agus Samijaya yang ditunjuk sebagai Koordinator Tim Advokasi, mengatakan dalam pendampingan ini pihaknya juga menggandeng LSM di antaranya Manikaya Kauci, Walhi, dan Frontir. Agus meminta pemerintah segera mengambil sikap agar masalah ini tidak berlarut-larut. “Kami minta pemerintah segera ambil sikap. Jangan malah aparat yang dibenturkan dengan warga,” tegas pengacara senior ini saat dihubungi, Sabtu malam.

Dijelaskannya, pihaknya sudah menyampaikan persoalan ini ke pemerintah pusat melalui Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Selain itu, pemerintah provinsi dan kabupaten harus hadir untuk menyelesaikan konflik agraria tersebut dengan memberikan hak atas tanah kepada para petani sesuai amanat UUD 45 pasal 33, UUPA No 5/960, PP No 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar serta Perpres No 86 Tahun 2018 tentang Reformasi Agraria.

Untuk diketahui, lahan yang menjadi polemik itu seluas 144 hektare milik Puri Payangan yang dulunya digarap oleh warga setempat ditanami pohon pisang. Koordinator Serikat Petani Selasih (SPS) Wayan Kariasa, menjelaskan sejak zaman kerajaan lahan tersebut telah diberikan kepada warga setempat untuk dimanfaatkan oleh warga untuk berkebun secara turun temurun hingga kini.

Lalu, sejak tahun 1997 berhembus kabar bahwa tanah itu sudah dijual oleh puri dan akan dibangun lapangan golf, tapi tidak jadi. Dia berharap meski tanah bukan milik warga, karena sebagai penanding sejak sekian tahun semestinya ada pemberitahuan terlebih dulu. Sehingga warga setempat yang rata-rata pekerjaannya jadi buruh panen daun pisang tidak secara tiba-tiba kehilangan matapencahariannya.

Dari ratusan hektare tersebut 50 persen ada juga lahan milik warga secara pribadi, dan 50 persen memang duwe puri. Bahkan di atas lahan itu terdapat tiga pura, terdiri atas Pura Hyang Api, Pura Puncak Alit, dan Pura Panti Pasek Gelgel. *nvi, rez

Komentar