Gabungkan Seni Tradisional dan Modern
I Wayan Darpa, Undagi Museum Sanghyang Dedari
AMLAPURA, NusaBali
I Wayan Darpa,59, dari Banjar/Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem, salah seorang undagi atau arsitek tradisional Bali. Dia tak hanya ahli mewujudkan bangunan, namun juga merancang bangunan yang akan diwujudkan.
Dia juga dipercaya olah desa adat untuk menuntaskan bangunan Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha. Bangunan itu mulai dibangun tahun 2016 yang dipelaspas Anggara Umanis Wayang, Selasa (12/11). Upacara dipuput Ida Pedanda Istri Rai Taman dari Geria Taman Keniten, Banjar Pegubugan, Desa Duda, Kecamatan Selat, Karangasem.
Sebagai undagi, dia menguasai seni bangunan, budaya adat, dan agama. Tentu pula memahami sepat siku-siku Bali, asta kosala-kosali dan astabumi. Sehingga dalam mengambil ukuran lebih akurat sesuai sepat siku-siku Bali.
I Wayan Darpa bukan saja memahami sepat siku-siku Bali. Dia juga sebagai tukang ukir kayu, ukir batu, dan ukir paras. Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha yang dibangun, kombinasi antara bangunan tradisional Bali, Jawa dan modern, berbentuk gedong ukuran 11 meter x 10 meter, di lahan 11 are.
Dari sisi luar bangunan terlihat tradisional, berdinding bedek, padahal di dalamnya tembok dengan rangka beton. Tembok yang kokoh dilapisi bedek. Sehingga selain kuat, terlihat tradisional.
Tampak depan bangunan ada ukiran Jawa, alasannya mengingat nenek moyang Bali berasal dari Jawa, sehingga budaya Jawa ditampilkan mewakili asal usul orang Bali dari Jawa. Mengawali ngeruak, dan upacara nemakuh dilakukan tahun 2016, selanjutnya tahun 2017 pembangun sempat terhenti, sebab 247 KK warga atau 853 jiwa mengungsi, sehubungan Gunung Agung erupsi, mengingat Desa Adat Geriana Kauh, di KRB II, yang merupakan jalur lahar. Pembangunan berlanjut tahun 2018 dan tahun 2019, hingga dipelaspas.
Bangunan Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha yang dituntaskan itu juga dilengkapi patung Sang Hyang Dedari garapan I Nyoman Darma. Pelengkap lainnya, dipamerkan alat-alat pertanian tradisional, seperti lampit, tengala, tulud, camok, kaun lampit, dan padi. Sebab, tujuan melestarikan tari Sanghyang Dedari, dan wajib dipentaskan tiap tahun, untuk memohon kasuburan, agar mendapatkan panen berlimpah. Di samping itu museum dilengkapi foto-foto aktivitas Sanghyang Dedari, mulai dari berhias, ngukup, hingga puncak pentas di mana para penari cilik menari hanya digerakkan kekuatan bawah sadar. "Membangun Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha, juga sesuai taksunya Sanghyang Dedari. Dari segi lokasinya mesti di hulu desa, memulainya menggambar bangunan dan upacara ngeruak, mesti memilih hari baik," jelas I Wayan Darpa, ayah dua anak, yang memulai jadi tukang bangunan sejak tahun 1979, dihubungi di sela-sela peresmian Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha di Banjar/Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem, Selasa (12/11).
Itulah sebabnya, lanjut I Wayan Darpa, bangunan Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha bersanding dengan Pura Pajenengan, atau di sebelah timur Pura Puseh. Sebab di jaba Pura Pajenengan itulah tempat berakhirnya atraksi tari Sanghyang Dedari, setiap kali dipentaskan di malam hari. mengingat, taksunya Sanghyang Dedari ada di sana.
Di setiap mementaskan tari Sanghyang Dedari, sebenarnya terbagi dua tahapan. Tahap pertama di perempatan jalan desa, tahap berikutnya berakhir di jaba Pura Pajenengan.
Tanpa disadari di saat penari Sanghyang Dedari sedang asik menari-nari di perempatan jalan desa dan penonton juga terbius dengan tarian bawah sadar itu, tiba-tiba enam penari tersebut menghilang secara ajaib. Terbang menembus jalan kegelapan menuju Pura Pajenengan yang gelap di antara pohon bambu, hingga tarian berakhir di sana.*nant
Dia juga dipercaya olah desa adat untuk menuntaskan bangunan Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha. Bangunan itu mulai dibangun tahun 2016 yang dipelaspas Anggara Umanis Wayang, Selasa (12/11). Upacara dipuput Ida Pedanda Istri Rai Taman dari Geria Taman Keniten, Banjar Pegubugan, Desa Duda, Kecamatan Selat, Karangasem.
Sebagai undagi, dia menguasai seni bangunan, budaya adat, dan agama. Tentu pula memahami sepat siku-siku Bali, asta kosala-kosali dan astabumi. Sehingga dalam mengambil ukuran lebih akurat sesuai sepat siku-siku Bali.
I Wayan Darpa bukan saja memahami sepat siku-siku Bali. Dia juga sebagai tukang ukir kayu, ukir batu, dan ukir paras. Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha yang dibangun, kombinasi antara bangunan tradisional Bali, Jawa dan modern, berbentuk gedong ukuran 11 meter x 10 meter, di lahan 11 are.
Dari sisi luar bangunan terlihat tradisional, berdinding bedek, padahal di dalamnya tembok dengan rangka beton. Tembok yang kokoh dilapisi bedek. Sehingga selain kuat, terlihat tradisional.
Tampak depan bangunan ada ukiran Jawa, alasannya mengingat nenek moyang Bali berasal dari Jawa, sehingga budaya Jawa ditampilkan mewakili asal usul orang Bali dari Jawa. Mengawali ngeruak, dan upacara nemakuh dilakukan tahun 2016, selanjutnya tahun 2017 pembangun sempat terhenti, sebab 247 KK warga atau 853 jiwa mengungsi, sehubungan Gunung Agung erupsi, mengingat Desa Adat Geriana Kauh, di KRB II, yang merupakan jalur lahar. Pembangunan berlanjut tahun 2018 dan tahun 2019, hingga dipelaspas.
Bangunan Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha yang dituntaskan itu juga dilengkapi patung Sang Hyang Dedari garapan I Nyoman Darma. Pelengkap lainnya, dipamerkan alat-alat pertanian tradisional, seperti lampit, tengala, tulud, camok, kaun lampit, dan padi. Sebab, tujuan melestarikan tari Sanghyang Dedari, dan wajib dipentaskan tiap tahun, untuk memohon kasuburan, agar mendapatkan panen berlimpah. Di samping itu museum dilengkapi foto-foto aktivitas Sanghyang Dedari, mulai dari berhias, ngukup, hingga puncak pentas di mana para penari cilik menari hanya digerakkan kekuatan bawah sadar. "Membangun Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha, juga sesuai taksunya Sanghyang Dedari. Dari segi lokasinya mesti di hulu desa, memulainya menggambar bangunan dan upacara ngeruak, mesti memilih hari baik," jelas I Wayan Darpa, ayah dua anak, yang memulai jadi tukang bangunan sejak tahun 1979, dihubungi di sela-sela peresmian Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha di Banjar/Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem, Selasa (12/11).
Itulah sebabnya, lanjut I Wayan Darpa, bangunan Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha bersanding dengan Pura Pajenengan, atau di sebelah timur Pura Puseh. Sebab di jaba Pura Pajenengan itulah tempat berakhirnya atraksi tari Sanghyang Dedari, setiap kali dipentaskan di malam hari. mengingat, taksunya Sanghyang Dedari ada di sana.
Di setiap mementaskan tari Sanghyang Dedari, sebenarnya terbagi dua tahapan. Tahap pertama di perempatan jalan desa, tahap berikutnya berakhir di jaba Pura Pajenengan.
Tanpa disadari di saat penari Sanghyang Dedari sedang asik menari-nari di perempatan jalan desa dan penonton juga terbius dengan tarian bawah sadar itu, tiba-tiba enam penari tersebut menghilang secara ajaib. Terbang menembus jalan kegelapan menuju Pura Pajenengan yang gelap di antara pohon bambu, hingga tarian berakhir di sana.*nant
Komentar