Keteladanan Jalannya Lamban, Kenapa?
Keteladanan merupakan metode pendidikan yang unggul. Dulu, Ki Hajar Dewantara, pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia, menggagas ‘ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani’.
Ketiganya itu amat efektif membentuk karakter. Berkat pemikiran cerdas tersebut, guru cepat bisa memengaruhi kebiasaan, perilaku, dan sikap baik anak. Guru menjadi subyek teladan yang baik, orang yang patut digugu dan ditiru. Tetapi, kenapa berbagai keteladanan lamban cara kerjanya saat ada kemajuan ipteks?
Mengapa keteladanan lamban efektivitasnya? Mungkin, salah satu penyebabnya adalah kelangkaan akan sifat jujur. Secara umum, jujur merupakan kesesuaian perkataan yang diucapkan dan perbuatan yang dilakukan. Dewasa ini, kadang atau bahkan sering tidak ditemukan kejujuran tersebut. Kejujuran, misalnya dalam pembelajaran luring, daring maupun guling. Kadang pembelajaran yang disorongkan bermakna semu, sekadar jalan, miskin makna, atau mekanis sifatnya. Kesemuan demikian akan merobek psikologis anak menjadi semacam kesangsian. Anak menjadi bimbang, apakah mereka dapat menemukan kebenaran dari apa yang dituturkan, diinformasikan, atau diajarkan di sekolah maupun di rumah. Anak tidak dapat menginternalisasi hal semu menjadi sikap dan perilaku baik. Artinya, anak tidak bisa menjadikan belajar di sekolah, di rumah, atau di masyarakat sebagai hal yang patut ditiru dan digugu. Nilai keteladanan menjadi merosot efektivitasnya.
Berpikir kritis senasib dengan kejujuran. Berpikir kritis adalah proses melahirkan konsep, menerapkan, menganalisis, menyintesis, dan/atau mengevaluasi informasi. Kesemuanya dihasilkan melalui observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi. Anak hampir jarang menemukan keteladanan berpikir kritis di sekolah, rumah, maupun masyarakat. Ketika banyak bertanya, dia disergah sebagai anak bawel; ketika dia berbicara aktif, anak tidak didengarkan; ketika dia mengusulkan sesuatu, usulannya tidak dipertimbangkan. Disederhanakan, berpikir kritis merupakan tindakan menanggapi informasi dengan menimbang semua aspek terkait. Misalnya, ketika kita menerima sebuah informasi, seseorang harus menentukan benar tidaknya informasi tersebut dengan mengecek berbagai sumber yang patut dipercaya. Berpikir kritis akan membantu dalam memecahkan masalah atau mengambil keputusan. Dalam keseharian, berpikir kritis merupakan pengambilan keputusan atau kesimpulan secara tepat dan baik.
Kelambanan efektivitas keteladanan terkait dengan kemajuan teknologi. Di masa Revolusi Industri 1.0, teknologi berada di bawah manusia. Artinya, otot dan kerja keras manusia yang menghasilkan kreasi. Pada masa Revolusi Industri 4.0, teknologi berada di atas manusia. Kecanggihan teknologi telah menggantikan berbagai peran. Pembelajaran tergantikan permainan elektronik; matematika disisihkan komputer canggih; penyelesaian pekerjaan rumah dimudahkan dengan ‘copy and paste’; pembelajaran tatap muka ditalangi belajar dari rumah. Kata Guruji Prama yang kesohor, “Awalnya teknologi duduk di bawah sebagai pelayan. Sekarang, ia (teknologi) duduk pongah di atas sebagai tuan”. Teknologi pula yang menafikan keteladanan guru, orangtua, dan tokoh lainnya di masyarakat negara ini.
Keteladanan merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Ketika keteladanan itu hilang, sesuatu yang beraura negatif akan merebak. Misalnya, melunturnya hubungan emosional antara guru dengan peserta didik; tumbuh dan kembang sikap apatis, pasif dan acuh tak acuh; pelanggaran aturan, nilai dan norma menjadi keniscayaan; dan, penanaman nilai, norma, moral, dan karakter menjadi lamban, dan bahkan terhenti. Keteladanan merupakan jalan bebas hambatan, ia tidak memungut biaya, karena kearifan lokal masyarakat yang telah memberikan untuk dikiprahkan. Tetapi, berbagai kendala telah menghambat, atau bahkan menghentikan peran keteladanan tersebut. Semoga, kearifan lokal menjadi suri teladan bagi krama Bali. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Komentar