Kain Songket Melestari di Gelgel
SEMARAPURA, NusaBali
Kain songket merupakan salah satu kekayakaan produk wastra (kain) tradisional Bali. Proses menenun yang manual, detil, dalam waktu tidak pendek, dan kesabaran, menjadikan kain songket sebagai produk sandang yang mewah, bahkan ekslusif.
Salah satu tempat pembuatan kain songket di Bali adalah di Desa Gelgel, Kecamatan/Kabupaten Klungkung. Di desa yang berjarak tidak lebih dari 3 kilometer ke arah selatan dari Kota Semarapura- ibukota Kabupaten Klungkung, ada puluhan penenun songket yang masih bertahan. Kebanyakan dari generasi tua. Sebagian kecil dari generasi yang lebih muda. Yang lebih muda dimaksud, adalah perajin songket katagori ibu-ibu rumah parobaya.Sedangkan perajin songket yang masih umur remaja, nyaris nihil.
Ni Wayan Keprig, merupakan salah seorang dari penenun songket yang masih pageh melakoni geginan menenun songket. “Tiyang sakeng bajang (remaja) sudah nenun,” ujar perempuan sepuh ini. Sampai sudah usia kepala delapan, Keprig mengaku tak pernah kerja lain. Karena itulah Keprig, merupakan salah satu penenun generasi tua songket Gelgel. Diceritakan Keprig, dulu dia belajar menenun beramai-ramai. Belajar juga tidak jauh- jauh. Namun di Gelgel dari para tetua atau penenun yang sudah senior. Kini dalam keseharian mulai aktvitas menenun, menghadapi cagcag (alat tenun tradisional) mulai pukul 10.00 Wita hingga sore. Di sela-sela itu tentu ada jeda.
Dia mengaku, perlu sabar menenun songket. Karena untuk menenun, memintal benang, merajut dan seterusnya butuh waktu tidak pendek. Misalnya untuk menenun songket untuk udeng (destar) dikerjakan sampai 3 hari. Sedang untuk kamben (kain) butuh waktu sebulan lebih. ‘’Sekarang sudah ada juga menantu tiyang, yang juga menenun,” ujar ungkap Keprig.
I Nyoman Sudira, salah seorang praktisi wastra (sandang) dari Banjar Jro Kapal, Desa Gelgel menuturkan tenun songket di Gelgel, bercikal-bakal dari masa zaman kerajaan. diperkirakan pada masa atau periode Kerajaan Gelgel. “Itu pengaruh dari Kerajaan Majapahit,” ungkap pria yang kerap dipercaya sebagai insruktur tenun ini. Sebagaimana dicatat sejarah, Kerajaan Gelgel merupakan penerus Kerajaan Majapahit di Bali.
Sebagai penerus Majapahit, Gelgel tidak saja terwariskan kelembagaan (sistem atau model pemerintahan kerajaan), tetapi juga warisan lain seperti kesusastraan dan adat tata busana kekayaan teknologi sandang.
Seiring perjalanan waktu, proses dan pemanfaatan songket juga mengalami pergeseran atau perluasan. Berawal hanya dilakoni (menenun) di lingkungan istana atau puri, keterampilan menenun songket menyebar ke jaba, ke masyarakat. Dari hanya ditekuni perempuan bangsawan, kemudian digeluti perempuan kebanyakan.
Demikian juga pemakaiannya. Dari hanya untuk busana (kebesaran) bangsawan, kemudian boleh menjadi busana mewah bagi siapa saja. Dengan catatan mampu memilikinya. Karena bagaimanapun kain songket, tetap termasuk dalam wastra yang berkelas atas. Harganya per lembar, berkisar ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Sebagaimana produk khas dari suatu tempat, kain songket Gelgel menurut Sudira juga punya ciri maupun kekhasan dari songket di tempat lain. Salah satu ciri kain songket Gelgel adalah motif keemasannya yang full atau penuh. “Motifnya semua memakai benang emas,” terang Sudira.
Setahu Sudira, motif awal atau motif pokok dari songket Gelgel adalah merak. Kemudian ada motif pot timbul, rebung dan yang lain. Belakangan ini juga muncul motif-motif kreatif, yang dirancang tukang suntik. “Pembuat motif itu memang disebut tukang suntik,” jelas Sudira tentang istilah ‘tukang suntik’ dalam dunia pertenunan tradisional.
Saat ini ada puluhan perajin tenun songket yang masih ‘ bertahan’. Jumlah itu tidak hanya di Gelgel, tetapi juga mencakup Desa Tojan dan Desa Kamasan. Menurut Sudira, Tojan dan Kamasan merupakan dua desa pemekaran dari Desa Gelgel (induk).
Seperti di tempat lain, pekerjaan menenun khususnya tidak lagi selalu menjadi pekerjaan pokok. Malah sering merupakan geginan selagan (profesi sela). Semua karena tuntutan, pemenuhan biaya kebutuhan hidup yang instan dan mesti dibayar kontan. “Mana pekerjaan yang bisa mendapatkan uang lebih dulu itulah yang dilakoni (penenun),” ungkapnya. Karenanya kerja membuat songket pun ditanggalkan sementara. Kecuali memang tidak ada kerja lain, tidak bisa bertani maupun yang lain, barulah suntuk nenun.
Walau dengan catatan ‘tantangan’ tersebut songket Gelgel masih mampu bertahan, menjadi salah satu produk kekayaan kerajinan sandang pulau dewata. Meski tidak ramai, penjualan dan bisnis songket tetap jalan. Pesanan bertambah kalau saat musim upacara keagamaan. Diantaranya upacara pernikahan, upacara mapandes /metatah atau upacara potong gigi yang merupakan kelompok upacara manusia yadnya dalam ritual keagamaan Hindu di Bali.
Apalagi setelah pandemi mereda, dimana masyarakat lebih leluasa melakoni kegiatan. Termasuk menggelar hajatan dan berupacara yang melibatkan banyak orang. Penggunaan songket untuk busana adat, asesoris dan lainnya, termasuk untuk koleksi merupakan diantaranya ‘syarat’ bertahannya songket.
Sudira juga mengiyakan dalam songket (di zaman kerajaan) sejatinya juga menunjukkan adanya kontak dagang antara kerajaan Bali dengan pihak luar negeri. Termasuk dengan songket Gelgel. “Kan di Bali dulu tidak ada benang emas, semua didatangkan dari luar negeri seperti dari Cina,” tandas suami Ni Wayan Astiti dan ayah 4 anak, 2 putra dan 2 putri ini.*k17
Komentar