Pemeran Video Mesum Dikeluarkan dari Sekolah
Pasangan pemeran video mesum dikeluarkan karena dianggap melanggar tata tertib sekolah, yakni melakukan tindakan asusila dan melakukan tindak pidana.
SINGARAJA, NusaBali
Komang AP, 19, pelajar asal Kecamatan Sawan, Buleleng, yang menjadi tersangka kasus persetubuhan anak dalam video mesum yang beredar, dikabarkan dikeluarkan dari sekolahnya bersama korban yang merupakan mantan pacarnya.
Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng pun angkat bicara terkait hal ini Dewan Pendidikan meminta agar sekolah tidak mengambil langkah emosional dan prematur. Sebaliknya sekolah diminta menjamin hak-hak anak, khususnya dalam mendapat pendidikan.
Ketua Dewan Pendidikan Buleleng I Made Sedana menyatakan pihaknya prihatin dengan peristiwa asusila yang terjadi di Buleleng belum lama ini yang melibatkan pelajar. Sebab kasus itu terjadi di kalangan siswa sekolah. Ditambah lagi dari peristiwa asusila itu, ada video yang tersebar secara masif di grup WhatsApp.
Ia menyebut hal itu sebagai salah satu dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi yang begitu masif. Sedana meminta agar seluruh pihak sama-sama melakukan pengawasan di kalangan remaja. Bukan hanya para guru, namun juga orangtua di rumah, serta masyarakat sekitar. Hal ini, lanjut dia, sebagaimana Tri Pusat Pendidikan.
"Peran tri pusat pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat, harus dioptimalkan. Ketiganya tidak bisa terlepas dalam sebuah ekosistem pendidikan. Sehingga ketiga komponen ini harus sama-sama melakukan pengawasan, kata Sedana, Jumat (27/1).
Sebagaimana guru yang merupakan orangtua di sekolah, orangtua di rumah juga bertanggung jawab besar atas anaknya. Terutama dalam hal penggunaan media sosial. "Terutama pemanfaatan media sosial, supaya tidak kebablasan. Jadi tidak bisa semata-mata dibebankan pada sekolah saja," imbuh dia.
Sedana pun menyayangkan langkah sekolah yang memecat kedua siswa, baik itu pelaku dan korban. Menurutnya, masih ada solusi atau jalan tengah terbaik yang bisa diambil. Bukan buru-buru mengeluarkan siswa, karena dianggap mencoreng citra sekolah.
"Ada solusi atau jalan tengah yang bisa diambil. Bukan buru-buru dikeluarkan, meskipun dianggap sudah melanggar peraturan sekolah. Perlu diingat bahwa hak anak mendapat pendidikan itu merupakan hak dasar yang harus dipenuhi," tandas Sedana. *mz
Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng pun angkat bicara terkait hal ini Dewan Pendidikan meminta agar sekolah tidak mengambil langkah emosional dan prematur. Sebaliknya sekolah diminta menjamin hak-hak anak, khususnya dalam mendapat pendidikan.
Ketua Dewan Pendidikan Buleleng I Made Sedana menyatakan pihaknya prihatin dengan peristiwa asusila yang terjadi di Buleleng belum lama ini yang melibatkan pelajar. Sebab kasus itu terjadi di kalangan siswa sekolah. Ditambah lagi dari peristiwa asusila itu, ada video yang tersebar secara masif di grup WhatsApp.
Ia menyebut hal itu sebagai salah satu dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi yang begitu masif. Sedana meminta agar seluruh pihak sama-sama melakukan pengawasan di kalangan remaja. Bukan hanya para guru, namun juga orangtua di rumah, serta masyarakat sekitar. Hal ini, lanjut dia, sebagaimana Tri Pusat Pendidikan.
"Peran tri pusat pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat, harus dioptimalkan. Ketiganya tidak bisa terlepas dalam sebuah ekosistem pendidikan. Sehingga ketiga komponen ini harus sama-sama melakukan pengawasan, kata Sedana, Jumat (27/1).
Sebagaimana guru yang merupakan orangtua di sekolah, orangtua di rumah juga bertanggung jawab besar atas anaknya. Terutama dalam hal penggunaan media sosial. "Terutama pemanfaatan media sosial, supaya tidak kebablasan. Jadi tidak bisa semata-mata dibebankan pada sekolah saja," imbuh dia.
Sedana pun menyayangkan langkah sekolah yang memecat kedua siswa, baik itu pelaku dan korban. Menurutnya, masih ada solusi atau jalan tengah terbaik yang bisa diambil. Bukan buru-buru mengeluarkan siswa, karena dianggap mencoreng citra sekolah.
"Ada solusi atau jalan tengah yang bisa diambil. Bukan buru-buru dikeluarkan, meskipun dianggap sudah melanggar peraturan sekolah. Perlu diingat bahwa hak anak mendapat pendidikan itu merupakan hak dasar yang harus dipenuhi," tandas Sedana. *mz
Komentar