Bekerja di Google Tanpa Melamar
Amanda mengakui bahwa engineer Google asal Indonesia, apalagi perempuan, saat ini masih kurang.
Amanda Surya
MENJADI bagian dari perusahaan yang mengubah dunia semacam Google merupakan impian banyak orang. Ada kebanggaan dan tantangan tersendiri, seperti yang dirasakan Amanda Surya.
Perempuan kelahiran Jakarta tersebut sudah 11 tahun menjadi pegawai Google, atau kerap disebut Googlers. Ia saat ini menjabat sebagai Head of Engineering Program Management untuk Nest, yakni divisi yang mengembangkan Internet of Things di bawah perusahaan induk Alphabet.
“Kami menciptakan perabot rumah tangga yang sebelumnya sudah ada, tapi dibikin cerdas dengan pengembangan teknologi,” kata Amanda kepada KompasTekno beberapa saat lalu ketika ditemui sambil makan siang di Charlie’s Cafe, Kantor Pusat Google Googleplex, Mountain View, Amerika Serikat.
Amanda adalah satu dari 50 orang Indonesia lainnya yang bekerja di kantor pusat Google. Kepiawaian Amanda sebagai engineer tak perlu diragukan lagi, pasalnya Google selama ini dikenal sangat ketat dalam menyeleksi pekerja.
Sebagai gambaran kasar, Google pernah hanya menerima 5.000 orang dari 2 juta pelamar. Artinya, kesempatan tiap pelamar hanya 1 berbanding 400.
Fakta ini memang bisa membuat ciut, tapi jangan sampai membakar mimpi. Setidaknya begitu yang disarankan Amanda. Menurut dia, proses bekerja di Google memang tak mudah, tapi bukan berarti tak mungkin. “Yang penting harus percaya diri. Jangan sampai berpikir karena dari Indonesia jadi kalah sama yang negara lain,” ia menuturkan.
Amanda mengakui bahwa engineer Google asal Indonesia, apalagi perempuan, saat ini masih kurang. Menurut dia, ini bukan persoalan kebangsaan atau isu gender, melainkan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan alias supply and demand. "Masih jarang perempuan yang mengenyam pendidikan di computer science, makanya yang kerja di industri teknologi juga jarang. Mereka harus lebih di-encourage lagi," ia mengimbau.
Bukan melamar, tapi dilamar
Amanda pun bercerita bagaimana awalnya ia diterima sebagai Googlers. Ia tak pernah melamar, namun justru Google yang memintanya bergabung. “Mereka bilang profil saya cocok dengan posisi yang dicari,” ujar perempuan yang gemar melempar senyum tersebut.
Pengalaman Amanda di dunia teknologi kala itu memang cukup ‘menjual’. Ia sempat bekerja di perusahaan telekomunikasi AT&T dan Bank of America dengan total pengalaman kerja sekitar lima tahun.
Meski demikian, bukan berarti Amanda masuk Google begitu saja tanpa proses lain. Ia tetap harus melewati tahap wawancara dan tantangan dari Google. “Saya disuruh bikin program komputer selama dua hari. Kalau bagus baru dipanggil wawancara,” ia menjelaskan.
Menurut Amanda, tim Google saat itu masih sedikit dan justru lebih selektif dalam memilih anggota baru. Tahun itu juga, jumlah Googlers yang berasal dari Indonesia bisa dihitung jari. “Sekarang timnya sudah banyak, dari Indonesia juga tambah terus,” ujar lulusan University of Texas dan Carnegie Mellon University itu.
Mau pulang ke Indonesia?
Posisi Amanda sekarang di Nest terhitung strategis. Ia pun mengaku nyaman bekerja di Google dengan suasana yang kasual, santai, kreatif, dan sehat.
Ketika ditanya apakah berniat pulang ke Indonesia, Amanda terkekeh. Ia tak serta-merta menolak, tapi belum punya rencana demikian untuk saat ini. “Itu membutuhkan pertimbangan panjang,” ia berdalih.
Amanda pun mengindikasikan bahwa kontribusinya ke Tanah Air tak harus dalam bentuk pulang ke Indonesia. Ia mengatakan bersedia diminta konsultasi jika dibutuhkan. “Kalau lagi liburan di Indonesia saya senang sekali ngobrol-ngobrol dengan teman-teman di sana,” kata dia. “Kadang perlu ada orang Indonesia yang terjun langsung di industri (luar),” ia menambahkan.
Ketika ditanya apakah berniat membuat startup sendiri, Amanda pun enggan memberi kepastian. Menurut dia, jika ingin mengembangkan startup, perlu ada persiapan yang benar-benar matang. “Jika saya benar-benar punya ide yang tajam dan tahu bagaimana mengembangkannya, saya akan bikin. Tapi untuk sekarang saya masih mau berinovasi di Google,” ia memungkasi. *
Komentar