Mengenal Kultur Fungsi Pura di Lampung, PHDI: Tidak Setradisional di Bali
MANGUPURA, NusaBali.com - Provinsi Lampung merupakan salah satu wilayah di mana suku Bali perantau dan beragama Hindu banyak menetap. Mereka tetap mempertahankan identitas ini dengan membentuk banjar dan mendirikan pura di tanah rantau.
Meski sama-sama suku Bali dan beragama Hindu, kultur suku Bali di Lampung dan di tanah leluhurnya memiliki perbedaan. Perbedaan ini terbentuk lantaran proses adaptasi dengan situasi dan kondisi dari kultur masyarakat setempat.
Menurut Nyoman Setiawan, 50, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Lampung, satu perbedaan menonjol antara suku Bali Hindu di Lampung dan Pulau Dewata adalah kultur penggunaan pura.
Menurut Nyoman Setiawan, 50, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Lampung, satu perbedaan menonjol antara suku Bali Hindu di Lampung dan Pulau Dewata adalah kultur penggunaan pura.
Penggunaan pura di Bali dinilai cenderung sangat tradisional yakni dominan sebagai tempat ibadah saja. Sangat jarang dijumpai pura-pura di Bali terutama pura teritorial digunakan sebagai pusat kegiatan pendidikan dan sosial budaya.
"Pura di Bali itu sepengetahuan saya kan sebagai tempat ibadah saja, kesannya sakral sekali," ujar Setiawan ketika dijumpai di sela Pasamuhan Agung PHDI Tahun 2023 di Puspem Badung pada Jumat (10/11/2023) malam.
Namun di Lampung, pura menjadi denyut nadi kegiatan komunitas suku Bali. Selain sebagai tempat ibadah dan ritual, pura juga menjadi pusat pendidikan, kegiatan sosial kemasyarakatan, dan pengembangan budaya.
Pura Bhuana Shanti yang berada di Kota Bandar Lampung bisa menjadi contoh. Pura yang selesai dibangun pada 2009 ini memenangkan Lomba Video Narasi Pura Ramah Anak 2023 yang digelar oleh PHDI dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.
Kata Setiawan, salah satu faktor Pura Bhuana Shanti menduduki peringkat pertama dan mendominasinya pura di luar Bali dalam lomba ini adalah latar belakang perbedaan fungsi sosialnya. Pura-pura di luar Bali memiliki kultur penggunaan pura yang serupa dengan di Lampung.
Penggunaan pura yang progresif ini didorong kebutuhan komunitas suku Bali itu sendiri. Sebagai keturunan Bali yang lahir di Lampung, Setiawan mengalami masa di mana aktivitas anak-anak tidak terwadahi. Satu-satunya lokasi di mana mereka bebas bermain adalah lingkungan pura.
Oleh karena itu, pura di Lampung rata-rata memiliki program pengembangan karakter seperti belajar kesenian Bali dan pendidikan agama atau pasraman. Nilai agama yang dikeluarkan pura pun diakui oleh sekolah-sekolah di Provinsi Lampung.
Khususnya di Pura Bhuana Shanti, terdapat pula program lain yakni bimbingan belajar, aktivitas yoga, pelatihan majejahitan untuk generasi muda, fasilitas ruang baca, ruang laktasi, dan akan dibangun pula taman bermain. Untuk yoga, ruang laktasi, dan taman bermain ini berlokasi di Nista Mandala.
"Ruang laktasi ini ada karena kultur masyarakat setempat di mana aktivitas menyusui anak itu agak tabu atau tidak seleluasa di Bali. Oleh karena itu, perlu ruang khusus dan mau tidak mau pura harus punya ruangan ini," beber Setiawan yang juga Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Pesisir Barat, Lampung.
Melihat kultur penggunaan pura ini, pura di Lampung beroperasi sejatinya makna pura itu sendiri yakni 'Pur' (kota atau benteng). Pura menjadi kota (pusat aktivitas) dan kiat membentengi tradisi leluhur di tanah rantau.
Setiawan yang leluhurnya berasal dari Nusa Lembongan ini menegaskan, fungsi pura di Lampung dan di Bali memang berbeda. Namun, ciri khas ke-Bali-an itu tetap ditunjukkan melalui arsitektur pura, utamanya arsitektur yang sifatnya sakral dan tidak bisa diubah. *rat
Komentar