Bali Kini Baik atau Buruk?
AWAL menjabat Gubernur Bali (1978-1988), Ida Bagus Mantra menghadapi tantangan pandangan dunia luar bahwa pariwisata merusak akhlak manusia Bali.
Yang sering diperbincangkan di masa-masa itu adalah, kebebasan seks yang ditularkan oleh wisatawan asing, terutama di distrik wisata Kuta kepada anak muda Bali. Bule mandi telanjang ramai-ramai masih cukup mudah dipergoki di Pantai Legian atau Seminyak kala itu.
Mantra menjawab gosip itu dengan menyelenggarakan Pesta Kesenian Kuta. Ia memandang Pesta Kesenian Bali tidak cukup. Kepada wartawan ia berujar, “Kita ingin membuktikan, Kuta yang dituduh buruk karena dirusak pariwisata, tidak benar.” Ia menggelar pawai seni dan budaya. Tapi, Pesta Kesenian Kuta cuma sekali itu saja.
Dunia mengakui Bali itu baik. Karena baik, pulau ini dikunjungi oleh orang-orang dari seluruh belahan bumi. Kunjungan-kunjungan itu menyebabkan Bali menjadi punya banyak kawan. Seseorang yang punya banyak kawan sering diartikan sebagai orang baik. Tapi, orang jahat pun punya banyak kawan, bahkan bisa lebih banyak dibanding orang baik. Orang-orang yang suka datang ke orang jahat biasanya kaum penjilat.
Sehari-hari di Bali pasti banyak orang buruk, juga banyak orang baik. Belakangan ini kita acap memperoleh kabar orang-orang buruk lebih sering tampil dan menjadi berita. Sekarang ini yang viral biasanya tabiat orang buruk. Orang jahat sering menjegal orang lain untuk menjadi orang baik. Dan orang Bali yakin, orang baik dan buruk sering hadir bersama. Tidak heran jika kemudian muncul paham, Bali kini sering baik-baik, tapi acap kali pula dalam situasi buruk. Ada dua kubu kini yang berpendapat tentang Bali, bahwa Bali baik-baik saja. Tapi kubu lain tidak sependapat, Bali sekarang tidak baik-baik saja, bermacam masalah membelitnya, yang kalau dirunut sumber utama penyebabnya adalah industri turisme.
Industri pariwisata membuat orang Bali punya banyak teman dari berbagai suku bangsa. Di antara orang Bali pasti ada yang berkawan, namun banyak juga yang menjadi lawan. Karena industri turisme yang membuat orang Bali berhubungan dengan orang luar, mereka juga berkawan dengan manusia dari seluruh negeri. Banyak orang luar, para pendatang, menetap di Bali, tentu orang Bali juga berkawan dengan mereka. Selain berkawan, karena gesekan sehari-hari, tentu tak sedikit yang menjadi lawan. Sering terpetik kabar orang Bali berseteru dengan para pendatang itu.
Hal-hal seperti ini menjadikan Bali mengalami masa-masa buruk, sehingga banyak yang membandingkan Bali tahun 70-an dan masa kini. Rata-rata berpendapat, di masa itu Bali tenteram dan aman, kini Bali riuh bukan main, tidak hanya di kota, juga di pelosok-pelosok desa.
Tapi, banyak yang piknik ke Bali berpendapat Bali tetap baik. Orang-orang ini menikmati wisata yoga di pelosok dusun, berenang di kolam di vila tengah sawah dan hutan atau di tebing jurang. Merekalah yang berkomentar, kini Bali tetap baik-baik saja. Komentar ini diterima dengan riang dan manggut-manggut oleh para pengusaha dari industri turisme. Mereka biasanya berpendapat, kapan pun zaman selalu berubah. Yang baik dan buruk itu sering berdampingan, namun juga acap berseteru.
Orang baik dan orang buruk, kawan dan lawan, ada di mana-mana. Tentu menarik memperbincangkan tentang siapakah orang Bali yang baik, mana pula yang buruk. Apakah ciri-ciri manusia Bali yang baik itu? Apa pula ciri-ciri orang Bali yang buruk? Apakah orang Bali yang religius, menjelajah pura bertirta yatra sampai ke luar Bali tergolong orang baik? Jika mereka menolong orang tapi juga menilep uang rakyat, apakah tetap baik? Apakah orang yang acap mempersoalkan mengapa harus mengeluarkan banyak uang untuk upacara di pura dan memperbaiki tempat ibadah adalah manusia jelek?
Bali kini baik atau buruk tidak lagi semata ditentukan oleh orang-orang Bali. Pulau ini ditakdirkan untuk setia berbagi, sehingga mengalami begitu banyak perubahan, meresapi banyak tingkah, bergelut dengan banyak pergolakan. Di sini juga demikian banyak ketenangan yang sederhana dijual menjadi kesunyian dan kekhusukan yang mewah.
Dulu Mantra menyelenggarakan pawai seni dan budaya untuk menunjukkan pada dunia bahwa turisme tidak merusak akhlak anak muda Bali, tidak menyebabkan dekadensi moral. Kini masyarakat Bali menyelenggarakan parade budaya untuk membuktikan, ada yang tidak terkikis di pulau ini oleh gerusan zaman dan turisme: seni. 7
Komentar