BEM Unud Gelar Webinar Bahas Isu Papua
DENPASAR, NusaBali.com - Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Udayana menggelar webinar diskusi terbuka, Rabu (4/8/2021) sore, mengangkat isu kekerasan, rasisme dan permasalahan HAM di Papua.
Webinar dari pukul 15.15 Wita berjalan selama dua jam dengan menghadirkan narasumber Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay, mantan anggota Komnas HAM Natalius Pigai, dan advokat Haris Azhar.
Dalam webinar yang diikuti 300 peserta melalui Zoom dan disiarkan secara live via kanal YouTube BEM PM Udayana tersebut, Emanuel Gobay menyatakan bahwa masa pandemi saat ini merupakan waktu yang tepat untuk memaparkan kembali, bahwa keadilan harus ditegakkan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk rakyat Papua.
Emanuel Gobay menyebutkan bahwa banyak kebijakan atau kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah, tanpa melibatkan warga asli Papua. Sehingga hal tersebut secara tidak langsung merupakan wujud dari diskriminasi orang Papua. “Contohnya pada tanda tangan PT Freeport pada tahun 1967, perjanjian atau perizinan dan tanda tangan kontrak saat itu tidak melibatkan warga asli Papua,” ujar Emanuel Gobay.
Dirinya pun menyebutkan bahwa banyak proyek tambang, seperti tambang minyak pada era tahun 1970an, yang mengorbankan serta merampas tanah-tanah warga adat Papua, sehingga hal-hal tersebut menurutnya merupakan wujud perampasan hak-hak warga asli Papua.
Di samping itu Emanuel Gobay juga menyinggung terkait video kejadian terkini, yang melibatkan seorang warga difabel Merauke, Papua. yang menjadi korban kekerasan oleh dua orang personel TNI AU pada 26 Juli 2021.
“Petugas TNI AU tersebut telah melanggar UU Nomor 40 Tahun 2008 yang membahas terkait perlindungan warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis,” ujarnya.
Emanuel Gobay pun berharap, agar pemerintah merespons tindakan tersebut, dan memproses pelaku kekerasan sesuai hukum yang berlaku, demi terwujudnya keadilan untuk semua masyarakat Indonesia.
Kemudian Natalius Pigai, menjelaskan terkait bahwa sifat rasis atau stereotype (pemikiran atau pandangan negatif). Merupakan sebuah budaya yang diimpor dari budaya asing atau budaya luar. “Sebagai masyarakat Indonesia, memiliki landasan seperti Bhinneka Tunggal Ika, dan Pancasila. Sebaiknya hal tersebutlah yang digunakan sebagai pemersatu bangsa, mewujudkan keadilan, dan saling menghormati satu sama lain,” ujarnya.
Lebih lanjut Natalius Pigai menyebutkan bahwa Indonesia yang memiliki masyarakat pluralisme (beragam), sungguh tidak elok, apabila saling menyinggung terkait ras, suku maupun agama. “Saling menghargai dan saling menghormati, adalah kunci yang menjauhkan dari sikap rasisme tersebut,” tegas aktivis HAM ini.
Dalam kesempatannya, Haris Azhar pun menjelaskan terkait tugas negara yang harus menjamin terwujudnya HAM bagi seluruh masyarakatnya. Dirinya pun menyebutkan, bahwa penegakan HAM harus secara merata, dan menyeluruh dari Sabang hingga Merauke. “Dalam undang-undang pasal 27 hingga pasal 34 UUD 1945, sudah sangat jelas bagaimana HAM tersebut diatur oleh negara,” ungkap Direktur Eksekutif Lokataru ini.
Haris Azhar menambahkan dalam mewujudkan hal tersebut, tentunya partisipasi seluruh lapisan masyarakat sangat dibutuhkan. “Contohnya dalam membuat sebuah aturan atau kebijakan, pemerintah harus lebih memperhatikan aspek HAM yang terkandung di dalamnya,” terangnya.
Emanuel Gobay pun kembali menjelaskan, bahwa terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam mewujudkan keadilan bagi rakyat Papua. Seperti aspek Politik, Marginalisasi, HAM, dan Pembangunan. “Hal tersebut harus diperhatikan kembali, bukan hanya dari pemerintah saja, namun oleh seluruh lapisan masyarakat yang ada di Indonesia,” tutupnya. *rma
Komentar