Bulog Tak Maksimal Serap Gabah Petani
Salah satu penyebab turunnya penyaluran beras adanya Kartu Sembako pada 2019 lalu
JAKARTA, NusaBali
Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) mengakui tidak bisa maksimal menyerap gabah dari petani. Alasannya, Bulog harus menjaga jumlah ketersediaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di gudang yakni 1,5 juta ton sesuai dengan amanat pemerintah, sementara kapasitas penyalurannya terbatas.
"Di satu sisi kami harus jaga stok, di sisi lain kami harus serap pengadaan dan di sisi lain penyaluran kami terbatas. Ini mengakibatkan penyerapan kami kalau lihat data di atas tidak maksimal," ujar Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog Mokhamad Suyamto dalam Diskusi Penguatan Cadangan Beras Pemerintah Masa PPKM, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (18/8).
Berdasarkan data Bulog, tren pengadaan oleh Perum Bulog terus turun setiap tahunnya. Pada 2016 hingga 2017, serapan gabah dari petani masih mencapai jutaan ton, masing-masing yakni 3,5 juta ton, 2,06 juta ton, dan 2,99 juta ton.
Namun, memasuki 2019 hingga sekarang, tren penyerapan terus turun. Pada 2019, pengadaan gabah oleh Perum Bulog hanya 958.300 ton, lalu turun di 2020 menjadi 752.250 ton. Sampai dengan 15 Agustus 2021 lalu, penyerapan gabah tercatat sebanyak 765.333 ton.
"Jadi, tren pengadaan mengalami penurunan dari tahun ke tahun, Bulog tentu saja akan menyesuaikan pengadaan sesuai dengan penyalurannya," ujarnya.
Menurutnya, salah satu penyebab turunnya penyaluran beras yang berdampak pada serapan gabah dari petani adalah perubahan pola distribusi bantuan beras sejahtera (rastra) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) alias Kartu Sembako pada 2019 lalu. Dengan demikian, tugas Bulog menyalurkan rastra pun menjadi terbatas karena Keluarga Penerima Manfaat (KPM) bisa membeli beras dari sejumlah e-warung yang terintegrasi dengan Kartu Sembako.
"Dengan sekarang rastra menjadi BPNT itu sudah tidak ada lagi outlet rutin untuk penyaluran beras CBP Bulog. Jadi CBP sekarang yang ada sekarang ada hanya digunakan untuk bencana alam, stabilisasi harga, kerja sama dan bantuan internasional dan semua ini adalah sifatnya tidak captive," ujarnya.
Menurutnya, kondisi itu menjadi salah satu penyebab penurunan harga gabah dan beras dari sisi petani. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan rata-rata harga gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG), beras kompak turun pada Juli 2021.
Tercatat, rata-rata harga GKP di tingkat petani Rp4.311 per kg atau turun 5,17 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Serupa, rata-rata harga GKG di tingkat petani Rp4.874 per kg atau turun 1,81 persen dari bulan sebelumnya.
Selanjutnya, harga beras semua kualitas turun. Tercatat, beras kualitas premium di penggilingan sebesar Rp9.402 per kg turun 1,42 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Sedangkan, beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp8.887 per kg atau turun 0,22 persen dan beras luar kualitas di penggilingan sebesar Rp8.481 per kg atau turun 2,46 persen.
Mokhamad mengungkapkan dari sekitar 1.700 lokasi yang disurvei BPS, sebesar 40 persen lokasi mengalami kejatuhan harga di bawah Harga Pokok Produksi (HPP).
Selain itu, ada faktor peningkatan produksi gabah akibat panen sehingga menyebabkan penurunan harga gabah di tingkat petani. Lalu, daya beli masyarakat juga turun akibat pandemi sehingga permintaan terhadap beras pun berkurang. "Faktor lain banyak bantuan dari pemerintah, sehingga harga beras mengalami penurunan," tuturnya. *
"Di satu sisi kami harus jaga stok, di sisi lain kami harus serap pengadaan dan di sisi lain penyaluran kami terbatas. Ini mengakibatkan penyerapan kami kalau lihat data di atas tidak maksimal," ujar Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog Mokhamad Suyamto dalam Diskusi Penguatan Cadangan Beras Pemerintah Masa PPKM, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (18/8).
Berdasarkan data Bulog, tren pengadaan oleh Perum Bulog terus turun setiap tahunnya. Pada 2016 hingga 2017, serapan gabah dari petani masih mencapai jutaan ton, masing-masing yakni 3,5 juta ton, 2,06 juta ton, dan 2,99 juta ton.
Namun, memasuki 2019 hingga sekarang, tren penyerapan terus turun. Pada 2019, pengadaan gabah oleh Perum Bulog hanya 958.300 ton, lalu turun di 2020 menjadi 752.250 ton. Sampai dengan 15 Agustus 2021 lalu, penyerapan gabah tercatat sebanyak 765.333 ton.
"Jadi, tren pengadaan mengalami penurunan dari tahun ke tahun, Bulog tentu saja akan menyesuaikan pengadaan sesuai dengan penyalurannya," ujarnya.
Menurutnya, salah satu penyebab turunnya penyaluran beras yang berdampak pada serapan gabah dari petani adalah perubahan pola distribusi bantuan beras sejahtera (rastra) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) alias Kartu Sembako pada 2019 lalu. Dengan demikian, tugas Bulog menyalurkan rastra pun menjadi terbatas karena Keluarga Penerima Manfaat (KPM) bisa membeli beras dari sejumlah e-warung yang terintegrasi dengan Kartu Sembako.
"Dengan sekarang rastra menjadi BPNT itu sudah tidak ada lagi outlet rutin untuk penyaluran beras CBP Bulog. Jadi CBP sekarang yang ada sekarang ada hanya digunakan untuk bencana alam, stabilisasi harga, kerja sama dan bantuan internasional dan semua ini adalah sifatnya tidak captive," ujarnya.
Menurutnya, kondisi itu menjadi salah satu penyebab penurunan harga gabah dan beras dari sisi petani. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan rata-rata harga gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG), beras kompak turun pada Juli 2021.
Tercatat, rata-rata harga GKP di tingkat petani Rp4.311 per kg atau turun 5,17 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Serupa, rata-rata harga GKG di tingkat petani Rp4.874 per kg atau turun 1,81 persen dari bulan sebelumnya.
Selanjutnya, harga beras semua kualitas turun. Tercatat, beras kualitas premium di penggilingan sebesar Rp9.402 per kg turun 1,42 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Sedangkan, beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp8.887 per kg atau turun 0,22 persen dan beras luar kualitas di penggilingan sebesar Rp8.481 per kg atau turun 2,46 persen.
Mokhamad mengungkapkan dari sekitar 1.700 lokasi yang disurvei BPS, sebesar 40 persen lokasi mengalami kejatuhan harga di bawah Harga Pokok Produksi (HPP).
Selain itu, ada faktor peningkatan produksi gabah akibat panen sehingga menyebabkan penurunan harga gabah di tingkat petani. Lalu, daya beli masyarakat juga turun akibat pandemi sehingga permintaan terhadap beras pun berkurang. "Faktor lain banyak bantuan dari pemerintah, sehingga harga beras mengalami penurunan," tuturnya. *
Komentar