Sehat-sehat Seger Oger
Ada kata-kata, kalimat, frasa, yang menjadi wakil zaman, berulang diucapkan, dilontarkan dalam berbagai perjumpaan.
Lengkingan “merdeka atau mati” bergelora di zaman revolusi, tetap membahana saban ulang tahun proklamasi, tapi cuma teriakan “merdeka” saja, karena tak ada yang sudi “atau mati”.
Di zaman Republik sudah merdeka, kebebasan menjadi kenikmatan, banyak kebahagiaan dirasakan, siapa warga sejahtera sudi mati? Pernah populer kata-kata “kasihan deh lu”, digemari anak-anak sampai orang dewasa. Kakek-nenek juga kerap melontarkannya. Suatu saat ucapan “masuk pak eko” sangat digemari, saban hari mungkin ribuan orang melontarkannya. Di zaman medsos kini, kian banyak kata-kata tiba-tiba terkenal, orang menyebut viral, bak virus, tiba-tiba hadir, berbiak gesit, namun cepat pula lenyap. Seperti meteor di langit cerah berbintang: muncul tergesa, hilang dalam sekejap.
Di masa pandemi Covid-19, frasa “sehat-sehat”, “semoga kita sehat selalu”, “jaga kesehatan”, “salam sehat” atau “semoga semua dalam keadaan sehat” sering dilontarkan. Pokoknya ada sehatnya. Saban hari entah berapa kali bibir ini mengucapkan kata “sehat” lewat ponsel, berulang kali pula mengetik huruf-huruf “sehat” di gawai. Tak ada yang lebih penting dibanding sehat. Begitu kerap “sehat” dikumandangkan dan diketik, seakan kalau tidak sehat pasti mati.
Beberapa orang bahkan tidak yakin cukup melontarkan “sehat-sehat”. Mereka menambahkan frasa “seger oger”, bahasa Bali yang berarti sehat walafiat. Maka jadi ramailah salam “Apa kabar? Sehat?” Sapaan ini terasa tidak cukup, sehingga menjadi “Kenken? Sehat seger oger?” Salam “apa kabar” yang lazim disampaikan sebagai basa-basi, bahkan tersingkir. Begitu orang-orang bersua online langsung saling menyapa “Sehat? Seger oger?”
Gawai menjadi benda ajaib untuk mengetahui kawan atau kerabat dalam keadaan sehat.
Namun pertanyaan lewat suara tentang kesehatan seseorang dianggap tidak cukup. Mereka tidak yakin keadaan kerabat yang menjawab “sehat-sehat” melalui WA, Line, atau Telegram. Bukankah pertanyaan dan jawaban “sehat-sehat” kemudian menjadi basa-basi? Asal dilontarkan. Maka banyak yang kemudian melakukan video call untuk meyakinkan bahwa si kerabat memang sungguh-sungguh sehat. Dan ia kaget karena ternyata si kawan pucat, lemas, kurus, kadang-kadang bersin dan batuk-batuk.
“Kamu sakit kok bilang sehat?”
“Kalau aku bilang sakit, ntar kamu tanya macam-macam. Susah aku menjelaskan.” Sapaan “sehat?” lambat laun memang terasa menjadi salam basa-basi, seperti sapaan “apa kabar”. Orang yang berkirim salam tidak sepenuhnya ingin tahu, asal tanya saja. Orang yang ditanya juga tidak begitu berhasrat menyampaikan apa sesungguhnya terjadi, karena ia yakin, mau apa si penyapa itu kalau kemudian tahu ia tidak sehat? Hendak mengajaknya ke dokter? Membayar tagihan resep? Mau apa pula kalau ia punya kabar buruk? Paling yang diajak bicara berujar, “Kudoakan semoga cepat sembuh ya.” Dan dijawab dengan, “Astungkara...” Jika ia bilang dompetnya lagi sakit karena rezeki seret amat, si karib paling menjawab, “Semoga rezekimu dilancarkan. Amiinnn….”
Begitu saja. Dan basa-basi pun berlalu. Padahal dengan mengatakan “dompet lagi sakit” ia berharap si kawan memberinya sangu atau pinjaman uang. Ia tidak meneruskan mohon pinjaman karena ia pikir si kawan boleh jadi dompetnya juga sakit. Sesama dompet sakit mustahil sanggup membantu.
Di masa pandemi, sapaan “sehat seger oger” menjadi basa-basi wajib. Jika dua orang bersua, bertukar cerita, kemudian curhat tentang kesulitan hidup, ujung-ujungnya mereka berujar, “Yang penting sehat”. Padahal keduanya sedang mengalami masa-masa sangat sulit karena perusahaan tempat mereka bekerja bangkrut. Mereka kini menganggur tanpa pesangon. Ekonomi, pikiran dan batin mereka sakit, karena harus merogoh tabungan buat ongkos hidup sehari-hari. Mereka diam-diam mulai was-was, harus menjual aset dengan harga murah, atau menjadikannya jaminan pinjam duit, buat bertahan hidup. Namun ketika berpisah, mereka penuh semangat berujar, “Yang penting sehat, tetap semangat!” sembari mengepalkan jemari dan mengangkat tangan di depan bahu, seperti kalau orang meneriakkan salam “merdeka!”
Sebulan kemudian salah seorang meninggal, dan sudah pasti dinyatakan karena terpapar covid. Si sahabat tak bisa mengantar ketika jenazah dibakar. Ia cuma bisa melepasnya lewat Facebook dan Instagram. “Sebulan lalu ia sehat-sehat seger oger,” ia menulis status. “Kita harus disiplin menjaga diri, agar tetap sehat-sehat seger oger di masa pandemi ini.”
Ia tidak tahu, tak yakin, apakah ketika menulis “sehat-sehat seger oger” dalam statusnya itu sebagai basa-basi saja, atau bersungguh-sungguh. Atau pelampiasan duka semata.*
Aryantha Soethama
Komentar