Pelestarian Budaya dalam Perubahan Digital
Webinar Sentir Institute
DENPASAR, NusaBali
Yayasan Sentir Bali melalui Sentir Institute mengadakan Webinar dengan topik Pelestarian Budaya dalam Perubahan Digital.
Webinar yang diadakan via zoom, Sabtu (13/11) ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu Prof Sunyoto Usman (Guru Besar Sosiologi UGM), AAGN Ari Dwipayana (Koordinator Staf Khusus Presiden & Yayasan Puri Kauhan Ubud) dan Savitri Sastrawan (Founder Rupa Bali). Pada webinar ini juga dihadiri langsung secara daring Duta Besar Indonesia untuk Zimbabwe & Zambia, Dewa Sastrawan.
Acara dibuka oleh Ketua Yayasan Sentir, Anak Agung Gede Rai Sahadewa yang dalam sambutannya mengatakan bahwa Webinar yang dilaksanakan ini adalah sebagai suatu wujud dan fokus yayasan terhadap isu budaya dan juga sebagai rentetan HUT 7 tahun Yayasan Sentir Bali. "Harapannya dapat memberikan dampak positif bagi para peserta terhadap pelestarian budaya yang ada," ujarnya.
Ketiga pembicara memaparkan materi terkait dalam waktu kurang lebih selama 50 menit yang dilanjutkan dengan sesi diskusi yang melibatkan para peserta webinar.
AAGN Ari Dwipayana memaparkan bahwa budaya dan teknologi merupakan dua entitas yang sering dikatakan berseberangan namun sebenarnya bisa saling memperkuat satu sama lain.
Dikatakan, Jepang, Korea Selatan, China, menjadi negara yang maju karena memiliki pondasi budaya yang kuat yang membentuk masyarakat di daerah tersebut. Kebudayaan bukan merupakan suatu hal yang statis, melainkan sebagai proses yang terus berkembang dan dapat menjawab tantangan zaman (relevan). “Kebudayaan Bali tidak bisa dilihat secara articial namun juga harus digali maknanya hingga menemukan inti jiwa dari kebudayaan Bali tersebut,” tutur Ari Dwipayana yang saat ini juga mengelola Yayasan Puri Kauhan Ubud.
Profesor Sunyoto Usman juga mendukung apa yang dikatakan oleh AAGN Ari Dwipayana. Dalam webinar kali ini Prof Sunyoto menjelaskan terkait penetrasi teknologi digital yang membuat perubahan sosio kultural yang berdampak signifikan terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan serta berdampak positif dan negatif seperti munculnya banyak bisnis start-up sedangkan banyak warung-warung kecil yang bangkrut. "Dampak dari penetrasi digital membuat terjadinya variasi gap antara das sollen vs das sein, perbedaan gap dapat diidentitifkasi oleh waktu, tempat dan sistem, serta dapat mengubah tantangan menjadi peluang," ujarnya.
Savitri Sastrawan, founder Bali Rupa yang menjadi pembicara terakhir dalam Webinar Yayasan Sentir ini mengatakan, budaya yang intangible adalah budaya yang tidak dapat disentuh atau dipegang; tidak berwujud juga. "Seperti tradisi atau ekspresi lisan, seni pertunjukan, praktik social, ritual dan acara festival, pengetahuan dan praktik yang berhubungan dengan alam semesta dan keahlian tradisional," ucapnya.
Pada akhirnya, ketiga pembicara percaya bahwa budaya dan teknologi dapat berkolaborasi untuk menjawab tantangan zaman. Webinar dilanjutkan dengan sesi diskusi sampai dengan selesai acara. *isu
Komentar