Er Jeruk, Pura Egaliter
Gara-gara di Bali kasta masih menjadi persoalan pelik konflik, tentu tidak keliru jika muncul julukan Bali sebagai tempat bernasnya feodalisme.
Hubungan sosial atas-bawah, tinggi-rendah, gampang dijumpai di pulau ini. Tidak sedikit bangsawan menganggap diri sebagai penguasa, merasa lebih bergengsi karena berkasta tinggi.
Tapi, banyak juga orang luar berpendapat, jika hendak mengkaji bagaimana kesetaraan berlangsung berabad-abad, masyarakat hidup dibalut semangat gotong royong, Bali bisa dijadikan rujukan terpenting. Warga pulau ini tidak membedakan warna kulit, tak mempersoalkan seseorang berasal dari antah berantah, pasti bisa hidup rukun berdampingan. Sudah sering diulas, orang Bali senantiasa menyambut hangat kaum pendatang. Hanya di Bali siapa pun merasa hidup nyaman, dari mana pun mereka berasal.
Tentu menarik, di pulau yang masih memegang ketat aturan adat dan kasta, dalam belenggu feodalisme, masyarakatnya bisa hidup egaliter, sederajat, setara. Di desa-desa hampir selalu ada bangsawan, selalu ada yang berkasta tinggi, lebih banyak yang berkasta rendah. Mereka hidup dalam suasana kekerabatan yang hangat, sederajat, tapi acap kali juga terjadi gesekan-gesekan konflik antar-kasta jika berkaitan dengan kehidupan beradat istiadat.
Di banyak desa bisa dijumpai pura khusus untuk kaum bangsawan, banyak tempat suci milik keluarga berkasta tinggi.
Di desa yang sama ada juga pura untuk mereka yang berkasta rendah. Tempat-tempat suci untuk soroh (clan) yang berbeda-beda ini acap dinilai sebagai watak orang Bali yang suka membeda-bedakan diri. Banyak orang bangga menjadi bagian dari soroh tertentu, acap menganggap clan lain lebih rendah, kurang bermutu. Clan berkasta tinggi menganggap leluhur mereka lebih unggul tinimbang keluarga lain. Jika seorang gadis berkasta tinggi menikah dengan lelaki berkasta rendah, itu bisa dianggap sebagai memerosotkan keunggulan keluarga.
Maka menjadi menarik, jika di Bali bisa dijumpai tempat-tempat suci yang mencerminkan kesetaraan atau kesederajatan itu. Pura Er Jeruk di Sukawati, Gianyar, bisa menjadi contoh betapa kesetaraan menjadikan puran itu sebagai tempat yang menyejukkan dan mengayomi. Mungkin karena Er Jeruk itu pura subak, dirawat oleh kaum petani, sehingga tempat suci ini pantas dijadikan contoh untuk menampilkan tidak hanya kebersamaan, tapi juga persamaan dan kesamaan. Bukankah di mana-mana kaum petani itu sama: manusia-manusia yang berpeluh sepanjang hidup merawat bumi dengan bercocok tanam.
Pura Er Jeruk terletak dekat pantai, tapi ia tidak dikenal sebagai pura kaum nelayan. Dulu, berabad silam, pura ini pasti berada jauh di tengah, beratus meter dari bibir pantai. Abrasi menyebabkan laut memburu pura, namun ia tetap tempat suci kaum petani, bukan nelayan seperti lazimnya ditemui di pura tepi laut yang mengelilingi sepanjang pantai Bali. Er Jeruk adalah pura subak, dirawat oleh petani-petani yang bercocok tanam di Subak Cengcengan. Para petani yang setara, senasib, itulah yang merawat pura kahyangan jagat ini menjadi pura yang egaliter.
Petani pangamong itu pasti terdiri dari beragam soroh (clan), tapi mereka disatukan, menjadi egaliter dan demokratis di Pura Er Jeruk ini. Tak ada sekat soroh, mereka menyatu karena sama-sama petani yang mengurus pura subak, tempat mereka berdoa dan mensyukuri hidup. Di pura egaliter ini mereka memohon panen melimpah, tanaman dijauhkan dari hama dan bencana.
Made Suastra dan kawan-kawan kemudian menyusun buku Purana Pura Kahyangan Jagat Er Jeruk Sukawati yang dipasupati bertepatan dengan piodalan Pura Er Jeruk, Rabu (15/12) lalu. Purana itu ditandatangani Gubernur Bali Wayan Koster bertepatan dengan purnama, Sabtu (18/12). “Pura yang berstatus Kahyangan Jagat sangat membutuhkan perhatian besar dalam rangka pemeliharaan warisan nenek moyang dan para leluhur terdahulu,” ujar Suastra. “Untuk itulah dibutuhkan sebuah purana sebagai pengingat bagi generasi berikutnya.”
Kelak, catatan-catatan tentang Pura Er Jeruk pasti terus bermunculan dan berkembang. Dulu, pura ini cuma mendapat perhatian sekilas. Sejak jalan bypass Ida Bagus Mantra membentang, akses ke Pura Er Jeruk kian terbuka. Sawah-sawah di sekeliling pura pun berubah status dan kepemilikan. Seperti banyak tempat suci di Bali, Er Jeruk juga kini dikepung hotel. Tanah sawah yang dulu Rp 60 juta per are meroket jadi Rp 250 juta. Nanti, pasti kian banyak tempat buat plesir dibangun di lingkungan pura.
Memang begitulah nasib keindahan yang menyuguhkan kebahagiaan. Taksu dan aura alam Er Jeruk memancarkan ketenangan, ketenteraman, sehingga lingkungannya diburu. Kelak, orang-orang dari segala bangsa datang ke Er Jeruk, bukan cuma petani, orang Bali, yang ngaturang bakti ke pura. Mereka yang berdatangan ini dari beragam derajat dan golongan. Er Jeruk dan lingkungannya membius mereka menjadi sederajat, setara, egaliter. *
Aryantha Soethama
Komentar