Pertahankan Gaya Aliran Dekoratif Klasik
Kiprah Seniman Patung di Desa Buruan, Gianyar
Olah kreatif itu penting muncul dari hasil rembugan. Karena dalam melahirkan gagasan menuju sempurna, tak ada seniman paling pintar.
GIANYAR, NusaBali
Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, salah satu desa yang amat diperhitungkan dalam kancah kesenian, khususnya seni patung nusantara. Karena di desa sekitar 1,4 km barat Kota Gianyar ini bermukim puluhan seniman patung tersohor hingga pantas menyandang status maestro.
Dibandingkan ratusan seniman patung di Gianyar, patung hasil karya seniman Buruan sangat fenomenal karena terkenal dengan basis aliran dekoratif klasik. Ciri khas aliran pada karya ini, antara lain, proses pengkaryaan atau penakikan sejak awal hingga akhir selalu menjejak alur kayu. Dengan jejak merunut anatomi kayu, maka alam kayu ini yang menggiring ketangkasan kreativitas senimannya. Lanjut, elan kisah estetik karya pematung Buruan murujuk tradisi klasik, secara umum yakni wiracerita Mahabharata dan Ramayana.
Nyoman Retig,71, salah seorang pematung sepuh di Desa Buruan, hanya beberapa meter barat dari Stadion Kapten I Wayan Dipta di desa itu. Dia mengakui aliran dekoratif klasik adalah salah satu aliran andalan seni para seniman patung di Buruan, seperti dirinya. Kakek bertubuh ramping ini menyebut, konsep aliran ini lah menantang dirinya dan seniman lain sehingga lebih fokus berkarya dilandasi gerak dasar dan karakter kayu yang ditakik. Dengan mengacu konsep aliran ini, tutur seniman masih berindera cerlang ini, tentu berbeda pola kerja jika dibandingkan dengan menggarap patung berbahan kayu gelondongan, terutama kayu segi empat, segi lima, dan sejenisnya. ‘’Dengan mematung pada kayu yang meliuk-liuk begini, ini lah tantangan khusus buat kami di Buruan,’’ ujarnya, beberapa waktu lalu.
Pematung yang belajar matung dengan ngamplas patung sejak SD ini, mengakui aliran karya patung dekoratif klasik sangat manantang dirinya dan pematung lain di Buruan agar bisa menghasilkan karya bermutu. Saat melihat bentuk, karakter dan gestur kayu, maka langkah yang awal yang mesti ditimbang-timbang adalah proses pencurahan gagasan hingga melahirkan konsep seni. Gagasan ini tak hanya menentukan konsep, juga tema, hingga judul hasil karya. Oleh karena itu, saat awal melihat kayu, tak jarang diawali dengan diskusi seni atau rembukan secara ‘demokratis’ dengan teman-teman pematung lain. Intinya, diskusi seni itu akan melahirkan kesepadanan antara bentuk kayu dengan obsesi seni yang diinginkan. Biasanya, semakin matang pandangan dalam diskusi seni, hingga tertuju pada kesimpulan atau judul, maka makin sempurna lah patung tersebut. ‘’Olah kreatif itu penting muncul dari hasil rembugan. Karena dalam melahirkan gagasan menuju sempurna, tak ada seniman paling pintar dibanding yang lain,’’ jelas ayah dari dua anak dan kakek tiga cucu ini.
Menurut Nyoman Retig, demokrasi seni amat penting bukan karena teknis kerja berkelompok. Demokrasi seni juga bukan karena mematung secara keroyokan pada bahan kayu ukuran besar tinggi antara 2,5 meter sampai 5 meter lebih, rata-rata diameter 1,5 meter. Namun sani ini membutuhkan paduan curahan rasa estetik yang tak dapat dimonopoli oleh satu pematung. Karena setiap kayu punya bawaan tersendiri, baik karakter dan sifat-sifat, sehingga selalu membutuhkan olah rasa beda dengan hasil karya patung lain atau serupa sebelumnya. ‘’Intinya, patung ini bukan barang kerajinan yang bisa dibuat banyak dengan cara cetakan yang menoton. Perlu curahan rasa yang amat beda dan seksama,’’ sebut pematung asal Banjar Buruan ini.
Menurut Nyoman Retig, gagasan berkarya patung tak cukup hanya berdasarkan penguasaan seni dan pengalaman mematung kayu. Setiap pematung mesti memahami kanda-kanda atau lalampahan (pembabakan cerita,Red) setiap wiracerita, antara lain Mahabharata, Ramayana, atau yang lain. Selanjutnya, kanda yang akan diangkat sebagai bagian dari cerita yang tergambarkan dalam patung, mesti dipahami dan dijiwai. Penjiwaan, dalam arti seakan-akan pematung terlibat dalam kisah cerita dalam patung. Penjiwaan itu menyangkut pemahaman suasana alam, tingkah polah binatang, hingga posisi kebatinan figur yang diangkat. Misalnya, tema yang diangkat tentang Anoman Duta, Rahwana Pandung Sita, Arjuna Matapa, Bima Swarga, dan kanda-kanda yang lain.
Menurut pematung kelahiran tahun 1950 dan mantan penari Wijil ini, pemahaman dan penjiwaan tentang kanda dalam dunia pewayangan amat penting. Selain untuk memperkaya kasanah karya juga menguatkan roh yang patung. Oleh karena itu, sebagaimana jenis karya seni yang lan, dirinya amat meyakini bahwa karya seni yang dilakoni dengan proses sepenuh hati, akan dapat menyemburkan taksu atau pesona seni. Selain itu, pemahaman dan penjiwaan tentang kanda dengan segenap karakter figur, sangat penting agar seniman dapat mempertanggungjawabkan hasil karya kepada publik. ‘’Satu-satunya cara agar sampai pada taksu itu, tekunlah bekerja, belajar, dan nunas ica (berdoa,Red). Maka hasil akan mengikuti,’’ ujarnya. 7 nyoman wilasa
Anak-anak Enggan Belajar Matung
SETIAP seniman Bali meyakini taksu seni itu ada. Namun tak semua seniman dapat meraihnya. Jangankan tertuju pada taksu, malah banyak rupa seni di Bali dilanda krisis generasi. Seni pun terancam punah.
Kondisi seperti itu amat dirasakan Nyoman Retig,71, salah seorang seniman patung gaya Buruan, dari Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Dia mengakui dari pengalamannya, amat sulit bagi setiap seniman untuk merengkuh taksu seni. Tapi tak kalah sulitnya lagi bagi seniman yakni meregenerasi seni, termasuk seni patung khas Buruan kini makin terancam punah. ‘’Sawereh cenik-cenike jani be sing ada nyak malajah nogog (karena anak-anak sekarang sudah tak mau belajar membuat patung,’’ tuturnya.
Nyoman Retig pernah menawari dan mengajak anak-anak desa terkini untuk belajar mamatung. Namun tak ada yang tertarik. Kalao toh mereka mau, mereka amat sulit ‘dibentuk’ untuk menguasai patung. Karena mereka tak punya panggilan diri untuk jadi pemtung, tak punya bakat untuk mernggeluti seni ini. ‘’Mungkin saja karena sekarang, era kemajuan terutama parwisata, ada banyak pekerjaan, mereka jadi enggan belajar mematung,’’ ujarnya lagi.
Di balik kondisi itu, Nyoman Retig masih tetap bersyukur lahir di Buruan, desa yang benyak melahirkna seniman, termasuk seni patung. Dia juga bersyukur dan berterima kasih kepada lalingsir (tetua) di desa yang amat tindih (getol) mengajarkan segenerasinya membuat patung. Karena para lalingsir Buruan terbukti melahirkan karya-karya patung bermutu yang diapresiasi oleh para penikmat seni dan kolektor patung bertaraf internasional. Kiprah seni para lalingsir itu lah diikuti generasi berikut, seperti dirinya. ‘’Demen hatine, yen pegaene ngenen amen kenehe. Kanti lantas sing nyak ngadep togoge (hati jadi senang, jika hasil karya itu sesuai dengan keinginan. Sampai akhirnya tak ada keinginan tak menjual patung itu),’’ tutur mentan pemeran Raja Muda seni drama gong era 1980an ini.
Nyoman Retig bangga karena Desa Buruan punya mastro seni patung yang bermutu, mumpuni, dan punya idealisme kuat. Antara lain, Made Lentor (almarhum) pematung beraliran dekoratif klasik, Made Sama (aliran abstrak) dan ayahnya, Wayan Turun (almarhum). Ada juga maestro pematung barong Wayan Kerja, yang juga pematung Garuda klasik, dan lainnya.*lsa
Dibandingkan ratusan seniman patung di Gianyar, patung hasil karya seniman Buruan sangat fenomenal karena terkenal dengan basis aliran dekoratif klasik. Ciri khas aliran pada karya ini, antara lain, proses pengkaryaan atau penakikan sejak awal hingga akhir selalu menjejak alur kayu. Dengan jejak merunut anatomi kayu, maka alam kayu ini yang menggiring ketangkasan kreativitas senimannya. Lanjut, elan kisah estetik karya pematung Buruan murujuk tradisi klasik, secara umum yakni wiracerita Mahabharata dan Ramayana.
Nyoman Retig,71, salah seorang pematung sepuh di Desa Buruan, hanya beberapa meter barat dari Stadion Kapten I Wayan Dipta di desa itu. Dia mengakui aliran dekoratif klasik adalah salah satu aliran andalan seni para seniman patung di Buruan, seperti dirinya. Kakek bertubuh ramping ini menyebut, konsep aliran ini lah menantang dirinya dan seniman lain sehingga lebih fokus berkarya dilandasi gerak dasar dan karakter kayu yang ditakik. Dengan mengacu konsep aliran ini, tutur seniman masih berindera cerlang ini, tentu berbeda pola kerja jika dibandingkan dengan menggarap patung berbahan kayu gelondongan, terutama kayu segi empat, segi lima, dan sejenisnya. ‘’Dengan mematung pada kayu yang meliuk-liuk begini, ini lah tantangan khusus buat kami di Buruan,’’ ujarnya, beberapa waktu lalu.
Pematung yang belajar matung dengan ngamplas patung sejak SD ini, mengakui aliran karya patung dekoratif klasik sangat manantang dirinya dan pematung lain di Buruan agar bisa menghasilkan karya bermutu. Saat melihat bentuk, karakter dan gestur kayu, maka langkah yang awal yang mesti ditimbang-timbang adalah proses pencurahan gagasan hingga melahirkan konsep seni. Gagasan ini tak hanya menentukan konsep, juga tema, hingga judul hasil karya. Oleh karena itu, saat awal melihat kayu, tak jarang diawali dengan diskusi seni atau rembukan secara ‘demokratis’ dengan teman-teman pematung lain. Intinya, diskusi seni itu akan melahirkan kesepadanan antara bentuk kayu dengan obsesi seni yang diinginkan. Biasanya, semakin matang pandangan dalam diskusi seni, hingga tertuju pada kesimpulan atau judul, maka makin sempurna lah patung tersebut. ‘’Olah kreatif itu penting muncul dari hasil rembugan. Karena dalam melahirkan gagasan menuju sempurna, tak ada seniman paling pintar dibanding yang lain,’’ jelas ayah dari dua anak dan kakek tiga cucu ini.
Menurut Nyoman Retig, demokrasi seni amat penting bukan karena teknis kerja berkelompok. Demokrasi seni juga bukan karena mematung secara keroyokan pada bahan kayu ukuran besar tinggi antara 2,5 meter sampai 5 meter lebih, rata-rata diameter 1,5 meter. Namun sani ini membutuhkan paduan curahan rasa estetik yang tak dapat dimonopoli oleh satu pematung. Karena setiap kayu punya bawaan tersendiri, baik karakter dan sifat-sifat, sehingga selalu membutuhkan olah rasa beda dengan hasil karya patung lain atau serupa sebelumnya. ‘’Intinya, patung ini bukan barang kerajinan yang bisa dibuat banyak dengan cara cetakan yang menoton. Perlu curahan rasa yang amat beda dan seksama,’’ sebut pematung asal Banjar Buruan ini.
Menurut Nyoman Retig, gagasan berkarya patung tak cukup hanya berdasarkan penguasaan seni dan pengalaman mematung kayu. Setiap pematung mesti memahami kanda-kanda atau lalampahan (pembabakan cerita,Red) setiap wiracerita, antara lain Mahabharata, Ramayana, atau yang lain. Selanjutnya, kanda yang akan diangkat sebagai bagian dari cerita yang tergambarkan dalam patung, mesti dipahami dan dijiwai. Penjiwaan, dalam arti seakan-akan pematung terlibat dalam kisah cerita dalam patung. Penjiwaan itu menyangkut pemahaman suasana alam, tingkah polah binatang, hingga posisi kebatinan figur yang diangkat. Misalnya, tema yang diangkat tentang Anoman Duta, Rahwana Pandung Sita, Arjuna Matapa, Bima Swarga, dan kanda-kanda yang lain.
Menurut pematung kelahiran tahun 1950 dan mantan penari Wijil ini, pemahaman dan penjiwaan tentang kanda dalam dunia pewayangan amat penting. Selain untuk memperkaya kasanah karya juga menguatkan roh yang patung. Oleh karena itu, sebagaimana jenis karya seni yang lan, dirinya amat meyakini bahwa karya seni yang dilakoni dengan proses sepenuh hati, akan dapat menyemburkan taksu atau pesona seni. Selain itu, pemahaman dan penjiwaan tentang kanda dengan segenap karakter figur, sangat penting agar seniman dapat mempertanggungjawabkan hasil karya kepada publik. ‘’Satu-satunya cara agar sampai pada taksu itu, tekunlah bekerja, belajar, dan nunas ica (berdoa,Red). Maka hasil akan mengikuti,’’ ujarnya. 7 nyoman wilasa
Anak-anak Enggan Belajar Matung
SETIAP seniman Bali meyakini taksu seni itu ada. Namun tak semua seniman dapat meraihnya. Jangankan tertuju pada taksu, malah banyak rupa seni di Bali dilanda krisis generasi. Seni pun terancam punah.
Kondisi seperti itu amat dirasakan Nyoman Retig,71, salah seorang seniman patung gaya Buruan, dari Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Dia mengakui dari pengalamannya, amat sulit bagi setiap seniman untuk merengkuh taksu seni. Tapi tak kalah sulitnya lagi bagi seniman yakni meregenerasi seni, termasuk seni patung khas Buruan kini makin terancam punah. ‘’Sawereh cenik-cenike jani be sing ada nyak malajah nogog (karena anak-anak sekarang sudah tak mau belajar membuat patung,’’ tuturnya.
Nyoman Retig pernah menawari dan mengajak anak-anak desa terkini untuk belajar mamatung. Namun tak ada yang tertarik. Kalao toh mereka mau, mereka amat sulit ‘dibentuk’ untuk menguasai patung. Karena mereka tak punya panggilan diri untuk jadi pemtung, tak punya bakat untuk mernggeluti seni ini. ‘’Mungkin saja karena sekarang, era kemajuan terutama parwisata, ada banyak pekerjaan, mereka jadi enggan belajar mematung,’’ ujarnya lagi.
Di balik kondisi itu, Nyoman Retig masih tetap bersyukur lahir di Buruan, desa yang benyak melahirkna seniman, termasuk seni patung. Dia juga bersyukur dan berterima kasih kepada lalingsir (tetua) di desa yang amat tindih (getol) mengajarkan segenerasinya membuat patung. Karena para lalingsir Buruan terbukti melahirkan karya-karya patung bermutu yang diapresiasi oleh para penikmat seni dan kolektor patung bertaraf internasional. Kiprah seni para lalingsir itu lah diikuti generasi berikut, seperti dirinya. ‘’Demen hatine, yen pegaene ngenen amen kenehe. Kanti lantas sing nyak ngadep togoge (hati jadi senang, jika hasil karya itu sesuai dengan keinginan. Sampai akhirnya tak ada keinginan tak menjual patung itu),’’ tutur mentan pemeran Raja Muda seni drama gong era 1980an ini.
Nyoman Retig bangga karena Desa Buruan punya mastro seni patung yang bermutu, mumpuni, dan punya idealisme kuat. Antara lain, Made Lentor (almarhum) pematung beraliran dekoratif klasik, Made Sama (aliran abstrak) dan ayahnya, Wayan Turun (almarhum). Ada juga maestro pematung barong Wayan Kerja, yang juga pematung Garuda klasik, dan lainnya.*lsa
Komentar