MUTIARA WEDA : Perkawinan dan Permasalahannya
Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal.
Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam.
(Manava Dharma Sastra III. 60)
Situasi ideal seperti dinyatakan teks di atas sebenarnya adalah harapan semua orang. Perkawinan ditujukan untuk menciptakan suasana bahagia. Mereka berharap bahwa hubungan yang dibangunnya mampu menghilangkan setiap masalah yang dihadapinya. Para orangtua mengharapkan perkawinan anak-anaknya agar langgeng, sukses, penuh bahagia, dan dapat melahirkan anak suputra. Demikian juga mereka setelah kawin berharap mampu saling berbagi dan saling meringankan beban satu dengan yang lainnya. Apapun masalah yang ada bisa diselesaikan secara bersama-sama. Sebuah beban yang ditanggung bersama tentu menjadi lebih ringan.
Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Justru permasalahan muncul dari sistem perkawinan itu. Ketika seseorang memasuki jenjang grhasta, bukannya masalah yang diringankan, namun justru banyak masalah baru yang muncul. Banyak orang mengatakan bahwa memasuki jenjang grhasta berarti memasuki hutan belantara kehidupan. Artinya, dunia grhasta itu adalah dunia yang penuh masalah. Tidak hanya masalah yang datang dari luar saja yang minta diselesaikan bersama-sama, melainkan sebagian besar masalah yang timbul justru dari ikatan perkawinannya itu sendiri. Permasalahan yang datang dari luar seperti masalah sosial, penghidupan, adat, kerja, dan sejenisnya memang mudah dikerjakan bersama-sama. Dari awal, ikhtiar mengapa perkawinan itu penting adalah upaya untuk meringankan beban hidup seperti itu. Tetapi, jika masalah yang ada muncul dari ikatan perkawinannya sendiri, seperti rasa ego dan yang sejenisnya ini yang susah diselesaikan. Riilnya memang demikian, sehingga kebahagiaan rasanya berat ditemukan.
Ada beberapa indikasi bagaimana permasalahan-permasalahan dari ikatan perkawinan itu eksis. Pertama, setelah menikah, baik istri maupun suami akan kembali menunjukkan karakter aslinya, yang tampak sangat berbeda ketika mereka tunjukkan waktu pacaran. Mereka baru menyadari sifat asli pasangannya ketika setelah sah melangsungkan perkawinan. Ada rasa penyesalan bahwa mereka tidak mendapatkan apa yang diharapkan. Suasana yang muncul kemudian tentu sudah dapat dibayangkan. Mereka tidak lagi saling mencintai, tidak saling melayani, dan tidak lagi ada kehangatan. Perkawinan kemudian menjadi sekadar formalitas. Komunikasi yang terbangun bukan atas dasar cinta, melainkan sebatas kepentingan.
Kedua, permintaan terhadap pasangannya biasanya berlebihan. Suami menginginkan perilaku istrinya sesuai dengan keinginannya, demikian sebaliknya. Jarang dari suami atau istri yang memiliki good will dan menyadari kalau pasangannya itu juga seorang individu yang bebas. Masing-masing individu memiliki hak bebas yang harus dihormati. Ada istri yang mungkin tidak suka memasak, tetapi suami atau mertua melihat bahwa istri yang ideal adalah pandai memasak, sehingga mereka memaksakan istri untuk bisa memasak. Ini tentu menjadi bibit pertengkaran. Hak individu sebagai seorang istri merasa dikebiri. Demikian juga hal-hal ideal lainnya yang dipaksakan kepada masing-masing pasangan yang akhirnya menimbulkan permasalahan.
Ketiga, mereka sepakat melangsungkan perkawinan bukan karena ingin menjalankan visi bersama, melainkan menginginkan kenyamanan yang didapatkan dari pasangannya. Disamping kepuasan seksual, suami menginginkan pelayanan dari istrinya, demikian juga istri menginginkan yang sejenis dari suaminya. Oleh karena perkawinan adalah sebuah konstitusi, kadang-kadang pasangan suami istri mengalami pasang-surut, ada titik jenuh dan sejenisnya, sehingga tanpa visi yang jelas, pasangan itu akan mudah dihinggapi pertengkaran. Mereka harus tetap bersama-sama saat rasa jenuh itu muncul, sehingga tanpa visi, perkawinan itu akan menjadi rentan. Mereka akan mencoba mencari hiburan di luar. Umumnya, setelah perkawinan berjalan sekian tahun, hubungan mereka hampir mendekati hubungan pertemanan. Saat kondisi ini muncul, maka menjalankan visi bersama itu akan menjadi signifikan.
Ketiga hal itulah yang menjadi pusaran permasalahan. Jika antisipasi terhadap permasalahan tersebut kurang, tentu kita akan terjebak di dalam permasalahan itu sendiri. Kita merasa tidak jelas dimana sebenarnya masalah itu, dimana akarnya, tetapi kita merasa berat mengatasinya. Kita tidak tahu apakah itu masalah atau tidak, tetapi sangat terasa dan terus berkecamuk di dalam kehidupan perkawinan itu. Apa yang harus dilakukan agar hal tersebut terungkap? Berpikir sederhana, tidak membiasakan diri mencampuri urusan orang, menghormati keunikan yang ada pada masing-masing orang dan yang sejenisnya adalah upaya yang dilakukan sejak dini kehidupan kita.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
(Manava Dharma Sastra III. 60)
Situasi ideal seperti dinyatakan teks di atas sebenarnya adalah harapan semua orang. Perkawinan ditujukan untuk menciptakan suasana bahagia. Mereka berharap bahwa hubungan yang dibangunnya mampu menghilangkan setiap masalah yang dihadapinya. Para orangtua mengharapkan perkawinan anak-anaknya agar langgeng, sukses, penuh bahagia, dan dapat melahirkan anak suputra. Demikian juga mereka setelah kawin berharap mampu saling berbagi dan saling meringankan beban satu dengan yang lainnya. Apapun masalah yang ada bisa diselesaikan secara bersama-sama. Sebuah beban yang ditanggung bersama tentu menjadi lebih ringan.
Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Justru permasalahan muncul dari sistem perkawinan itu. Ketika seseorang memasuki jenjang grhasta, bukannya masalah yang diringankan, namun justru banyak masalah baru yang muncul. Banyak orang mengatakan bahwa memasuki jenjang grhasta berarti memasuki hutan belantara kehidupan. Artinya, dunia grhasta itu adalah dunia yang penuh masalah. Tidak hanya masalah yang datang dari luar saja yang minta diselesaikan bersama-sama, melainkan sebagian besar masalah yang timbul justru dari ikatan perkawinannya itu sendiri. Permasalahan yang datang dari luar seperti masalah sosial, penghidupan, adat, kerja, dan sejenisnya memang mudah dikerjakan bersama-sama. Dari awal, ikhtiar mengapa perkawinan itu penting adalah upaya untuk meringankan beban hidup seperti itu. Tetapi, jika masalah yang ada muncul dari ikatan perkawinannya sendiri, seperti rasa ego dan yang sejenisnya ini yang susah diselesaikan. Riilnya memang demikian, sehingga kebahagiaan rasanya berat ditemukan.
Ada beberapa indikasi bagaimana permasalahan-permasalahan dari ikatan perkawinan itu eksis. Pertama, setelah menikah, baik istri maupun suami akan kembali menunjukkan karakter aslinya, yang tampak sangat berbeda ketika mereka tunjukkan waktu pacaran. Mereka baru menyadari sifat asli pasangannya ketika setelah sah melangsungkan perkawinan. Ada rasa penyesalan bahwa mereka tidak mendapatkan apa yang diharapkan. Suasana yang muncul kemudian tentu sudah dapat dibayangkan. Mereka tidak lagi saling mencintai, tidak saling melayani, dan tidak lagi ada kehangatan. Perkawinan kemudian menjadi sekadar formalitas. Komunikasi yang terbangun bukan atas dasar cinta, melainkan sebatas kepentingan.
Kedua, permintaan terhadap pasangannya biasanya berlebihan. Suami menginginkan perilaku istrinya sesuai dengan keinginannya, demikian sebaliknya. Jarang dari suami atau istri yang memiliki good will dan menyadari kalau pasangannya itu juga seorang individu yang bebas. Masing-masing individu memiliki hak bebas yang harus dihormati. Ada istri yang mungkin tidak suka memasak, tetapi suami atau mertua melihat bahwa istri yang ideal adalah pandai memasak, sehingga mereka memaksakan istri untuk bisa memasak. Ini tentu menjadi bibit pertengkaran. Hak individu sebagai seorang istri merasa dikebiri. Demikian juga hal-hal ideal lainnya yang dipaksakan kepada masing-masing pasangan yang akhirnya menimbulkan permasalahan.
Ketiga, mereka sepakat melangsungkan perkawinan bukan karena ingin menjalankan visi bersama, melainkan menginginkan kenyamanan yang didapatkan dari pasangannya. Disamping kepuasan seksual, suami menginginkan pelayanan dari istrinya, demikian juga istri menginginkan yang sejenis dari suaminya. Oleh karena perkawinan adalah sebuah konstitusi, kadang-kadang pasangan suami istri mengalami pasang-surut, ada titik jenuh dan sejenisnya, sehingga tanpa visi yang jelas, pasangan itu akan mudah dihinggapi pertengkaran. Mereka harus tetap bersama-sama saat rasa jenuh itu muncul, sehingga tanpa visi, perkawinan itu akan menjadi rentan. Mereka akan mencoba mencari hiburan di luar. Umumnya, setelah perkawinan berjalan sekian tahun, hubungan mereka hampir mendekati hubungan pertemanan. Saat kondisi ini muncul, maka menjalankan visi bersama itu akan menjadi signifikan.
Ketiga hal itulah yang menjadi pusaran permasalahan. Jika antisipasi terhadap permasalahan tersebut kurang, tentu kita akan terjebak di dalam permasalahan itu sendiri. Kita merasa tidak jelas dimana sebenarnya masalah itu, dimana akarnya, tetapi kita merasa berat mengatasinya. Kita tidak tahu apakah itu masalah atau tidak, tetapi sangat terasa dan terus berkecamuk di dalam kehidupan perkawinan itu. Apa yang harus dilakukan agar hal tersebut terungkap? Berpikir sederhana, tidak membiasakan diri mencampuri urusan orang, menghormati keunikan yang ada pada masing-masing orang dan yang sejenisnya adalah upaya yang dilakukan sejak dini kehidupan kita.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
Komentar