Panjat Tebing untuk Bisa Sekolah
Dua bocah bersaudara sepupu di Banjar Ceblong, Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Buleleng, terpaksa harus mendaki tebing sungai setiap pagi untuk sampai ke sekolahnya di SDN 6 Sudaji.
Kampungnya Terisolasi Pasca Banjir di Desa Sudaji
SINGARAJA, NusaBali
Ritual jalan kaki bolak-balik sejauh 6 kilometer diselingi panjat tebing sungai tersebut telah dilakoni dua bocah bersaudara ini, I Gede Rudi Arnata, 12, dam ni Kadek Puji Antari, 12, sejak sebulan terakhir pasca ambruknya jembatan akibat bencana banjir bandang.
Bocah Gede Rudi Arnata dan Kadek Puji Antari, keduanya siswa Kelas VI SDN 6 Sudaji, tinggal di kawasan Abangan, Banjar Ceblong, Desa Sudaji. Abangan merupakan kawasan terpencil yang terletak di lereng perbukitan Desa Sudaji. Sedangkan SDN 6 Sudaji di mana mereka sekolah, berjarak 3 kilometer dari rumahnya.
Sebelum bencana yang merobohkan jembatan, Februari 2017 lalu, mereka biasa diantar jemput ke sekolah oleh orangtua dengan jarak tempuh 7 kilometer. Namun, pasca bencana banjir bandang yang menghanyutkan jembatan di atas Dam Ganda Meru tersebut, akses jalan tidak dapat lagi dilalui kendaran bermotor. Dalam kondisi seperti itu, dua bocah bersaudara sepupu ini harus mencari jalur alternatih melewati Dam Penarukan I, yang berjarak tempuh 3 kilometer dari dari rumah ke sekolah. Hanya saja, karena jembatan dan akses jalan rusak parah, Gede Rudi dan Puji Antari harus ke sekolah berjalan kaki. Celakanya lagi, mereka harus memanjat tebing sungai yang medannya cukup berbahaya.
Menurut ayah dari Puji Antari, I Gede Suarsana, 43, pihaknya terpaksa melepas putri ciliknya berjalan kaki ke sekolah dengan ancaman keselamatan yang cukup besar, karena kondisi alam. Jika saat cuaca tidak bersahabat, dia tidak akan mengizinkan putrinya pergi ke sekolah.
“Sudah sebulan kondisinya seperti ini, karena akses jalan sepeda motor tidak ada. Anak-anak kami memilih jalur terdekat sampai ke sekolah, yang ditempuh waktu 1 jam perjalanan,” ujar Gede Suarsana kepada NusaBali, Rabu (1/3).
Suarsana mengatakan, akses jalan setapak di kawasan Abangan merupakan akses vital bagi warga yang bermukim di sana. Menurut Suarsana, sejak dulu kawasan Abangan memang dikenal memiliki medan yang sangat ekstrem. Jalan yang terjal dikelilingi hutan, sangat berbahaya sehingga tidak sembarang kendaraan bisa melewati jalan tersebut. "Jika tidak mahir dan menguasai medan, akibatnya bisa fatal," papar Suarsana.
Suarsana sendiri seringkali menunggu dan menjemput anaknya di tepi sungai saat sudah tiba jam pulang sekolah. Itu pun hanya bisa dilakukan ketika Suarsana sedang libur kerja sebagai buruh serabutan.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dusun (Kadus) Banjar Ceblong, Desa Sudajhi, I Gede Sudama, menerangkan bahwa secara geografis kawasan Abangan merupakan wilayah banjarnya. Namun, kawasan Abangan ini dipisahkan tebing dan sungai dari Desa Sudaji. Jembatan penghubung kawasan Abangan sebelum diterjang bencana berada di atas Bendungan Ganda Meru.
Menurut Gede Sudama, warga yang bermukim di kawasan Abangan berjumlah sekitar 25 kepala keluarga (KK). Terputusnya akses jalan dan jembatan sejak sebulan lalu, mengakibatkan 23 KK warga Abangan terisolasi. “Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga Abangan terpaksa jalan kaki melintasi medan yang terjal. Apalagi, ja;an beton yang terputus panjangnya hampir 1 kilometer. Ada yang tertimbun longsor, juga hanyut disapu banjir bandang," papar Sudama.
Sedangkan Kepala Desa (Perbekel) Sudaji, I Komang Sudiarta, mengakui pihaknya sudah berusaha membantu persoalan kini sedang dihadapi warga di kawasan Abangan. Salah satunya, dengan mengirimkan laporan dampak bencana banjir dan longsor yang membuat kaasan Abangan terisolasi ke pemerintah daerah.
“Kami sudah bersurat dua kali ke Dinas PU Buleleng. Namun, sejauh ini belum ada tanggapan. Buat sementara, kami sudah melakukan gotong royong memperbaiki jalan terputus secara bertahap,” tanjhdas Perbekel Komang Sudiarta.
Sementara itu, Guru Wali Kelas VI SDN 6 Sudiaji, Luh Martini, mengatakan pihaknya memberikan toleransi jika kedua siswa yang terisolasi, Gede Rudi dan Puji Antari, terlambat masuk sekolah. Menurut martini, anak-anak yang berasal dari kawasan Abangan akhir-akhir ini daya tangkap belajarnya berada di bawah anak-anak lain.
“Terutama hari Senin, mereka sering terlambat mengikuti upacara bendera. Namun kami memberikan keringanan jam masuk belajar. Mereka tidak diharuskan ikut berbaris di pagi hari. Kasihan mereka,” papar Martini saat dihubungi NusaBali, Rabu kemarin. * k23
SINGARAJA, NusaBali
Ritual jalan kaki bolak-balik sejauh 6 kilometer diselingi panjat tebing sungai tersebut telah dilakoni dua bocah bersaudara ini, I Gede Rudi Arnata, 12, dam ni Kadek Puji Antari, 12, sejak sebulan terakhir pasca ambruknya jembatan akibat bencana banjir bandang.
Bocah Gede Rudi Arnata dan Kadek Puji Antari, keduanya siswa Kelas VI SDN 6 Sudaji, tinggal di kawasan Abangan, Banjar Ceblong, Desa Sudaji. Abangan merupakan kawasan terpencil yang terletak di lereng perbukitan Desa Sudaji. Sedangkan SDN 6 Sudaji di mana mereka sekolah, berjarak 3 kilometer dari rumahnya.
Sebelum bencana yang merobohkan jembatan, Februari 2017 lalu, mereka biasa diantar jemput ke sekolah oleh orangtua dengan jarak tempuh 7 kilometer. Namun, pasca bencana banjir bandang yang menghanyutkan jembatan di atas Dam Ganda Meru tersebut, akses jalan tidak dapat lagi dilalui kendaran bermotor. Dalam kondisi seperti itu, dua bocah bersaudara sepupu ini harus mencari jalur alternatih melewati Dam Penarukan I, yang berjarak tempuh 3 kilometer dari dari rumah ke sekolah. Hanya saja, karena jembatan dan akses jalan rusak parah, Gede Rudi dan Puji Antari harus ke sekolah berjalan kaki. Celakanya lagi, mereka harus memanjat tebing sungai yang medannya cukup berbahaya.
Menurut ayah dari Puji Antari, I Gede Suarsana, 43, pihaknya terpaksa melepas putri ciliknya berjalan kaki ke sekolah dengan ancaman keselamatan yang cukup besar, karena kondisi alam. Jika saat cuaca tidak bersahabat, dia tidak akan mengizinkan putrinya pergi ke sekolah.
“Sudah sebulan kondisinya seperti ini, karena akses jalan sepeda motor tidak ada. Anak-anak kami memilih jalur terdekat sampai ke sekolah, yang ditempuh waktu 1 jam perjalanan,” ujar Gede Suarsana kepada NusaBali, Rabu (1/3).
Suarsana mengatakan, akses jalan setapak di kawasan Abangan merupakan akses vital bagi warga yang bermukim di sana. Menurut Suarsana, sejak dulu kawasan Abangan memang dikenal memiliki medan yang sangat ekstrem. Jalan yang terjal dikelilingi hutan, sangat berbahaya sehingga tidak sembarang kendaraan bisa melewati jalan tersebut. "Jika tidak mahir dan menguasai medan, akibatnya bisa fatal," papar Suarsana.
Suarsana sendiri seringkali menunggu dan menjemput anaknya di tepi sungai saat sudah tiba jam pulang sekolah. Itu pun hanya bisa dilakukan ketika Suarsana sedang libur kerja sebagai buruh serabutan.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dusun (Kadus) Banjar Ceblong, Desa Sudajhi, I Gede Sudama, menerangkan bahwa secara geografis kawasan Abangan merupakan wilayah banjarnya. Namun, kawasan Abangan ini dipisahkan tebing dan sungai dari Desa Sudaji. Jembatan penghubung kawasan Abangan sebelum diterjang bencana berada di atas Bendungan Ganda Meru.
Menurut Gede Sudama, warga yang bermukim di kawasan Abangan berjumlah sekitar 25 kepala keluarga (KK). Terputusnya akses jalan dan jembatan sejak sebulan lalu, mengakibatkan 23 KK warga Abangan terisolasi. “Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga Abangan terpaksa jalan kaki melintasi medan yang terjal. Apalagi, ja;an beton yang terputus panjangnya hampir 1 kilometer. Ada yang tertimbun longsor, juga hanyut disapu banjir bandang," papar Sudama.
Sedangkan Kepala Desa (Perbekel) Sudaji, I Komang Sudiarta, mengakui pihaknya sudah berusaha membantu persoalan kini sedang dihadapi warga di kawasan Abangan. Salah satunya, dengan mengirimkan laporan dampak bencana banjir dan longsor yang membuat kaasan Abangan terisolasi ke pemerintah daerah.
“Kami sudah bersurat dua kali ke Dinas PU Buleleng. Namun, sejauh ini belum ada tanggapan. Buat sementara, kami sudah melakukan gotong royong memperbaiki jalan terputus secara bertahap,” tanjhdas Perbekel Komang Sudiarta.
Sementara itu, Guru Wali Kelas VI SDN 6 Sudiaji, Luh Martini, mengatakan pihaknya memberikan toleransi jika kedua siswa yang terisolasi, Gede Rudi dan Puji Antari, terlambat masuk sekolah. Menurut martini, anak-anak yang berasal dari kawasan Abangan akhir-akhir ini daya tangkap belajarnya berada di bawah anak-anak lain.
“Terutama hari Senin, mereka sering terlambat mengikuti upacara bendera. Namun kami memberikan keringanan jam masuk belajar. Mereka tidak diharuskan ikut berbaris di pagi hari. Kasihan mereka,” papar Martini saat dihubungi NusaBali, Rabu kemarin. * k23
1
Komentar