Membagi-bagi Tanah Bali
LIMA bersaudara itu, semua lelaki, sudah uzur. Yang sulung 71, si bungsu 59. Mereka sudah beranak pinak, punya menantu dan cucu. Saudara kedua bahkan sedang menunggu kehadiran kumpi (cicit).
Dari seorang ayah dan seorang ibu, mereka tumbuh menjadi keluarga besar sederhana, mencoba mandiri, dan berusaha terus untuk bersatu. Leluhur mereka mewariskan tiga hektare lebih sawah dan kebun. Ada puluhan pohon kelapa, cengkih, pisang, durian, mangga, di lahan sepanjang aliran sungai. Hasil sawah dan kebun itu mereka manfaatkan untuk kegiatan adat di sanggah keluarga. Jika ada yang menyelenggarakan otonan, pernikahan, hasil kebun itu menjadi penting untuk kelengkapan membuat sesajen.
Tak seorang pun di antara lima bersaudara itu memanfaatkan hasil kebun dan sawah itu buat kepentingan pribadi. Seluruh hasil buat keperluan bersama. Sehari-hari mereka mengandalkan hidup dari hasil menjadi tukang bangunan. Mereka menyebut hasil produksi pertanian itu sebagai hasil due tengah, milik bareng. Tanah-tanah pertanian itu pun mereka sebut sebagai tanah garapan due tengah juga. Kalau lahan itu disertifikatkan tentu tetap menjadi milik bersama. Mereka berniat mewariskan sawah ladang itu turun temurun, utuh, bulat penuh, jangan sampai pecah dibagi-bagi.
Tapi, semua berubah ketika tanah warisan itu dibelah dan dibebaskan untuk jalan raya baru antar-provinsi. Mereka mendapatkan ganti rugi yang kemudian uangnya mereka bagi bersama secara adil merata. Pemanfaatan uang itu berbeda. Ada yang menggunakan buat memperbaiki kamar tidur, dapur, dan membenahi tembok yang roboh.
Saudara kedua memanfaatkan keadaan ini. Dia mengusulkan, agar sekalian tanah warisan itu dibagi, disertifikatkan untuk dijadikan kepemilikan masing-masing. Si sulung kaget mendengar usul ini. Saudara ketiga berpura-pura tidak mengerti, saudara keempat menyatakan sikap setuju, sementara si bungsu abstain. “Terserah yang lain, saya ikut saja. Kalau dibagi nggih, jika tetap dijadikan due tengah, saya nurut,” ujar si bungsu kalem.
Saudara kedua menjelaskan, pada akhirnya tanah warisan ini akan terbagi. “Jika tidak kita yang membagi, ya anak cucu,” begitu dia memberi alasan. Namun si sulung bersikukuh jangan dibagi, tetap jadikan due tengah, milik bersama.
“Mengapa Bli keberatan?” tanya saudara keempat.
“Kalau dibagi, disertifikatkan, tanah-tanah ini akan habis. Masing-masing punya alasan untuk menjualnya, tak perlu lagi meminta pertimbangan saudara lain.”
“Jangan berprasangka buruk pada adik-adikmu, Bli. Kami sanggup menjaga tanah warisan ini dari jamahan orang lain,” begitu saudara keempat berkomentar.
“Kita tak berhak menjual tanah yang bukan kita beli,” sahut si bungsu. “Tapi, saya ikut saja, terserah bli-bli yang lain.”
Kendati si sulung ngotot tidak membagi tanah waris, akhirnya tanah leluhur itu terbagi juga, dipecah menjadi lima sertifikat. Yang paling girang saudara kedua. Dia menjual sebagian tanah bagiannya, mahal, karena di tepi jalan utama. Uangnya digunakan buat memperbaiki rumah, beli mobil, biaya sekolah anak-anak dan piknik ke Singapura.
Saudara ketiga menjual sebagian bagian mereka untuk beli motor, dan sewa ruko buat jualan sembako. Saudara keempat menjual semua bagiannya, dibelikan tanah lagi, sisanya buat metajen terutama sabungan ayam. Hanya si sulung dan si bungsu yang mempertahankan bagian mereka utuh. Saudara-saudara lain bagiannya sudah menciut, gampang ditebak bakal habis.
Orang Bali sering mengeluh tanah-tanah mereka yang dikuasai orang luar kini terus meluas. Mereka menuduh kaum pendatang sangat agresif menguasai tanah Bali. Si pembeli ini membaginya dengan kerabat mereka, membangun resor wisata, atau buat tempat tinggal. Bukan hal aneh lagi, jika sawah, tegalan, kebun, kini beralih fungsi menjadi penginapan atau perumahan. Pemiliknya banyak orang luar. Kepemilikan ini menelusup jauh ke desa-desa.
Mesti diakui, yang membagi-bagi tanah-tanah Bali itu bukan semata pendatang, juga orang Bali sendiri, yang senang dan bahagia membagi-bagi tanah leluhur mereka. Mungkin cerita seperti ini bakal kian sering kita jumpai, jika Jalan Tol Gilimanuk – Mengwi terwujud. *
Aryantha Soethama
1
Komentar