Endek Bali Hanya Jadi Sejarah Kalau Perajinnya Dimarginalkan
DENPASAR, NusaBali.com – Dalam 50 tahun ke depan kain endek Bali hanya akan menjadi sejarah yang dipajang di museum apabila tidak ada penguatan di hulunya yakni para perajin tenun.
Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Bali, Ni Putu Putri Suastini Koster, memprediksi bahwa kain endek Bali akan tergerus dalam setengah abad. Pernyataan pesimistis ini dikatakan istri Gubernur Bali Wayan Koster lantaran situasi dunia endek Bali yang memprihatinkan.
Putri Koster menyatakan bahwa saat ini 70 persen kain endek yang beredar di pasaran bukanlah kain endek yang ditenun oleh perajin Bali. Inilah mengapa kain endek yang asli Bali dikatakan bisa punah dalam beberapa dekade ke depan.
“Kita bangga punya endek Bali. Tetapi tahukan kita, 70 persen yang kita namakan endek Bali dan kita pakai sekarang itu, tidak diproduksi di Bali,” cetus Putri Koster dalam penutupan Pameran IKM Bali Bangkit Tahap 10 tahun 2022 di Arts Center pada Senin (26/12/2022) pagi.
Padahal pada tahun 1980-an, kata Putri Koster, Bali menjadi tuan rumah di tanah sendiri. Pada era itu, Bali menjadi sentra produksi kain dan konveksi. Namun, pada tahun 2000-an hingga 2022 ini, kejayaan di masa lalu itu hanya menjadi sejarah.
Penyebabnya karena pemangku kepentingan pada saat itu belum menaruh perhatian besar terhadap insan perajin di tanah Bali. Oleh karena itu, sentra produksi berpindah ke daerah lain dan menjadikan Bali sebagai pasar dari karya warisan leluhurnya sendiri.
Ini yang membuat mantan seniman dan aktris teater ini miris. Sebagai nakhoda dewan yang bergelut di bidang pemajuan kerajinan, Putri Koster menyebut Dekranasda Bali menaruh perhatian besar terhadap karya-karya kerajinan tradisional.
Putri mengingatkan bahwa untuk menjaga agar endek Bali layak dilabeli ‘endek Bali’ perlu kolaborasi dari berbagai pihak. Apalagi setelah ada kebijakan penggunaan wastra Bali setiap hari Selasa bagi kantor pemerintahan maupun swasta. Pengadaan akan kain endek Bali bakal meningkat.
Akan tetapi yang menjadi ganjalan adalah birokrasi pengadaan. Di mana setiap pengadaan yang dilakukan lembaga pemerintahan harus melalui prosedur tender dan lain-lain. Pihak pemenang tender ini terkadang kurang jeli melihat fakta mengenai endek Bali saat ini.
Sebabnya, kain dengan harga murah yang diproduksi bukan perajin Bali yang menjadi pilihan. Padahal, ada alasan tersendiri mengapa harga endek karya perajin Bali lebih mahal, yakni karena kualitas dan keautentikannya.
Selain itu, Putri Koster menekankan bahwa kain endek Bali yang dibuat tangan terampil perajin Bali bukanlah produk massal. Setiap helainya merupakan karya terbatas. Sebabnya, Putri berpesan agar lembaga pemerintahan di daerah tidak memaksakan keseragaman dalam pemakaian endek. Yang terpenting adalah esensi dari penggunaan endek itu sendiri.
“Apa pun warna yang bapak ibu suka, apa pun motif yang bapak ibu suka, dipakai,” tegas Putri Koster.
Kondisi yang tengah membelit endek Bali ini mulai dari 70 persen dominasi endek produksi non Bali hingga masalah pengadaan lembaga pemerintahan, merupakan variabel akseleratif kepunahan endek asli Bali. Mimpi buruk ini dapat terjadi lantaran perajinnya sendiri dimarginalkan oleh ‘saudara’ sendiri. *rat
Komentar