'Remaja Rentan Bunuh Diri, Dukungan Keluarga Jadi Sandaran'
DENPASAR, NusaBali
Aksi bunuh diri terutama dengan cara bunuh diri yang kerap terjadi di Bali, termasuk baru-baru ini dilakukan remaja putri usia 14 tahun di wilayah Denpasar Barat, memantik keprihatinan banyak pihak.
Akademisi kedokteran jiwa Universitas Udayana (Unud) Dr dr Cok Bagus Jaya Lesmana Sp KJ (K) menyampaikan, hubungan orangtua dan remaja memang tidak sederhana, mencakup beberapa dimensi, seperti dukungan emosional, pemantauan, pengawasan, konflik, dan privasi.
Peran orangtua di masing-masing dimensi ini dapat berkontribusi secara signifikan terhadap perkembangan sosial, emosional, dan mental remaja, termasuk penerapan strategi koping (pemulihan) yang efektif terhadap stres dan peristiwa kehidupan yang merugikan. "Remaja yang terkena konflik keluarga atau melaporkan rendahnya tingkat dukungan orangtua yang dirasakan lebih mungkin untuk melakukan perilaku bunuh diri," ujar dr Cok Lesmana kepada NusaBali, Senin (6/2).
Di sisi lain, lanjut dr Cok, ada bukti yang menunjukkan bahwa hubungan yang positif antara orangtua dan remaja juga dapat mengurangi risiko depresi dan kecemasan yang sering menjadi prekursor (pemicu) perilaku bunuh diri pada remaja. Dokter Cok Lesmana menjelaskan, masa remaja adalah tahap perkembangan yang penting untuk membangun hubungan orangtua-remaja yang sehat. Ini juga merupakan masa transisi yang penting dalam perkembangan seorang anak. Meskipun berjuang untuk dan mencari kemandirian yang lebih besar, remaja tetap membutuhkan hubungan yang hangat dan dekat dengan orangtuanya.
"Namun tentunya banyak faktor yang mempengaruhi hubungan tersebut," kata dokter Cok. Dokter Cok mengungkapkan, melihat penyebab seseorang melakukan tindakan bunuh diri, kebanyakan karena mereka tidak sanggup mengatasi masalah yang dihadapinya. Kurangnya komunikasi di antara anggota keluarga memperparah kemungkinan mereka mengambil tindakan mengakhiri hidupnya.
Kebanyakan keluarga tidak mengetahui keadaan mereka yang meninggal sebelumnya. Kalaupun ada yang mengetahui ada keputusasaan atau keinginan untuk mati, namun kebanyakan keluarga tidak menanggapi hal ini sebagai keadaan serius. Lebih jauh dr Cok Lesmana menuturkan masa remaja adalah periode sebagian besar perubahan biologis dan psikososial, yang juga mungkin berdampak signifikan pada hubungan orang tua-remaja. "Remaja memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk mengalami bunuh diri. Hal ini disebabkan karena mereka dalam proses perkembangan, di mana kemampuan untuk mengontrol pengambilan keputusannya belum sepenuhnya terbentuk. Sehingga mereka cenderung impulsif, mereka tidak akan bertimbang untuk risiko dan konsekuensinya atau nilai-nilai kehidupan layaknya orang dewasa," jelas psikiater Suryani Institute for Mental Health (SIMH).
Kata dr Cok, secara sosial remaja belum memiliki hubungan seperti orang dewasa yang sudah menikah, berkeluarga, atau memiliki anak. Mereka cenderung sendiri. Sehingga begitu orangtua atau guru atau teman kelompoknya memutus ikatan sosialnya maka tidak ada tempat bersandar dan hal ini yang membuat mereka melakukan tindakan bunuh diri. Meski demikian, dr Cok Lesmana juga menyatakan, bunuh diri bukanlah hal yang sederhana, sehingga banyak faktor yang menyebabkan seseorang sampai melakukan tindakan bunuh diri. "Salah satunya kondisi kesehatan mentalnya," sebutnya.
Terpisah, Ketua Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Bali Ni Luh Gede Yastini, juga prihatin dengan kasus bunuh diri yang merambah pada usia anak-anak. Ia juga menyebut remaja sebagai kelompok yang rentan melakukan tindakan bunuh diri. Dikatakan Yastini, KPPAD Bali membangun Duta Sekolah Perlindungan Anak di tingkat SMA/SMK/sederajat. Dari duta sekolah ini terungkap jika beberapa remaja kerapn berpikir untuk melakukan tindakan bunuh diri.
"Anak-anak SMA menyatakan bahwa beberapa temannya sering berpikir untuk mengakhiri hidup karena merasa stres bukan saja beban sekolah tetapi juga dengan keluarga dan lain-lain," ujarnya.
Yastini mengatakan, sementara baru 100 siswa di seluruh Bali yang direkrut menjadi Duta Sekolah Perlindungan Anak. Mereka diharapkan menjadi pelapor jika ada teman-temannya mengalami persoalan seperti bullying dan lainnya ataupun menjadi pelopor untuk menghentikan tindakan kekerasan di sekolah. “Sekarang kan anak-anak lebih percaya sama teman-temannya, mereka lebih nyaman kalau ngomong sama orang sebaya. Kalau sama orangtua dianggap terlalu mendikte atau terlalu jauh pemikirannya," ujar Yastini. *cr78
Komentar