Ayah dan Anaknya Derita Gangguan Jiwa
Beban cukup berat harus ditanggung Ni Nengah Sedani, 65, warga miskin yang tinggal di Banjar Badung, Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng.
Sering Ngamuk Jika Ditinggal Kerja
SINGARAJA, NusaBali
Bayangkan, perempuan berusia 65 tahun ini harus menjadi tulang punggung nafkah keluarga, karena suami dan anak bunsunya menderita gangguan jiwa, yakni I Wayan Sutarsa, 69, dan I Komang Ariasa, 29.
Wayan Sutarsa selaku kepala keluarga sudah selama 30 tahun menderita gangguan kejiwaan, sejak 1987 silam. Sedangkan putra bungsunya, Komang Ariasa, menyusul derita gangguan kejiwaan sejak 1990, ketika usianya masih 9 tahun, setelah sempat nekat tenggak racun serangga Baygon.
Ditemui NusaBali di kediamannya di Banjar Badung, Desa Bungkulan, Minggu (4/6), Nengah Sedani mengisahkan bahwa sang suami, Wayan Sutarsa, menjadi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sejak tahun 1987. Bermula ketika Sutarsa yang saat itu bekerja sebagai kontraktor, tiba-tiba jatuh sakit. “Suami saya (Sutarsa) jatuh sakit, terus menderita gangguan jiwa. Ketika jatuh sakit, suami saya baru pulang dari Nusa Penida usai menggarap proyek,” kenang Nengah Sedani.
Menurut Sedani, setiba di rumahnya di Desa Bungkulan kala itu, Sutarsa tiba-tiba saja seperti orang yang sedang ketakutan. Bahkan, Sutarsa selalu bersembunyi di bawah kolong tempat tidur dan sempat berlari keluar rumah sambil ketakutan. “Aalnya begitu seperti orang ketakutan. Waktu itu baru pulang dari Nusa Penida, sebelum penyerahan proyek. Padahal sebelumnya tidak ada masalah apa, rugi pun jarang,” cerita Sedani.
Setelah beberapa lama mengalami ketakutan, kata Sedani, Sutarsa akhirnya diajak berobat ke dokter. Sejak itulah Sutarsa disebut mengalami gangguan kejiwaan. Berbagai pengobatan medis dan non medis, bahkan upaya niskala, telah ditempuh, namun Sutarsa tak kunjung sembuh sampai saat ini. “Saat ini suami saya masih bisa diajak berkomunikasi, namun tuturnya selalu tidak pernah berhenti soal pem-bangunan,” keluh Sedani.
Derita keluarga Sedani semakin bertambah, setelah anak bungsunya, Komang Ariasa, ikut-ikutan jadi ODGJ sejak 1997, saat usianya maish 9 tahun. Sejak itu, Komang Ariasa dan ayahnya, Sutarsa, sudah belasan kali keluar masuk RSJ Bangli untuk menjalani pengobatan. Tapi, kondisinya tak kunjung bisa pulih seperti sediakala.
“Awalnya, anak saya itu (Komang Ariasa) malu karena sering diejek teman-temannya di sekolah, lantaran punya bapak gila. Terus, anak saya ini nekat minum Baygon pas ketika saya tidak di rumah,” kata Sedani.
Setelah nekat minum Baygon, Ariasa malah jadi Orgil sampai sekarang. Kesehariannya, Ariasa hanya berbaring di tempat tidur. Sesekali, dia keluar kamar namun tidak sampai keluar rumah.
Menurut Sedani, cukup berat baginya harus mengusur suami dan anak yang derita gangguan jiwa. Lagipula, dia juga harus cari nafkah untuk menghidupi keluarga. Terkadang, waktunya tersita habis untuk mengurusi suami dan anaknya yang Orgil, karena ayah dan anaknya itu memerlukan pengawasan ekstra. Manakala ditinggal kerja, ayah dan anaknya yang menderita gangguan jiwa ini kerap ngamuk, hingga merusak barang-barang rumah tangga.
Sedani sendiri mencari nafkah dengan kerja serabutan, termasuk sebagai buruh angkut sayur. Karena waktunya terbatas lantaran harus mengurus suami dan anak yang sakit jiwa, Sedani tidak bisa menghasilkan uang banyak. “Penghasilan saya bahkan tak cukup untuk makan sehari-hari. Jika tak punya beras, saya memberanikan diri pinjam ke tetangga,” keluh Sedani.
Dari pernikahannya dengan Sutarsa, Sedani dikaruniai tiga anak. Si sulung I Gede Sutarsana dana anak nomor dua Ni Kadek Sutarsini sudah menikah dan memiliki kehidupan sendiri. Gede Sutarsana sendiri tidak dapat berbuat banyak membantu ekonomi ayah dan adiknya yang sakit jiwa, karena hanya bekerja sebai sopir toko bangunan dengan gaji pas-pasan.
Sementara itu, Kasi Rehabilitasi Sosial dan Penyandang Disabilitas Dinas Sosial Buleleng, Maman Wahyudi, sempat terjun menjenguk ayah dan anaknya yang derita gangguan jiwa, Minggu kemarin. Menurut Maman Wahyudi, penanganan bagi penyandang disabilitas mental memang merupakan tanggungan Dinas Sosial.
Selama ini, kata Maman, pihaknya masih menggunakan sistem jemput bola. Dari data yang dikantongonya, saat ini ada 20 penderita ODJG yang masih dipasung keluarganya. “Kalau keluarga sudah tidak bisa mengatasi, lebih baik diserahkan ke pemerintah saja untuk dirujuk ke RSJ Bangli,” ujar Maman. *k23
Komentar