Drama Gong Diwarnai Penyalonarangan
Drama Yehkuning memang memiliki taksu sungsungan yang dikeramatkan (Rangda), dan dimanapun tampil, selalu beliau mesolah
DENPASAR, NusaBali
Setiap kabupaten/kota di Bali memiliki ciri khas dalam berkesenian, termasuk salah satunya kesenian drama gong. Memasuki sepekan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXIX, parade drama gong tingkat remaja dimeriahkan oleh penampilan Sekaa Dharma Sangraha, Desa Yeh Kuning, Duta Kabupaten Jembarana di Kalangan Ayodya Taman Budaya Bali, Minggu (18/6) malam.
Sekaa Drama Gong ini didukung 80 persen para pemain muda berbakat di bawah arahan I Gusti Made Astawa. Tokoh sentral atau peran yang disuguhkan diantaranya ada tokoh Raja Tua, Permaisuri Raja, Raja Muda, Patih Agung dan Patih Werdha, ditambah Pundakawan sebagai pendamping Raja muda. Mengangkat cerita ‘Tirta Sudhamala’, garapan cerita romantika ini diikuti suasana magis, lantaran pada akhir cerita diwarnai dengan aksi penyalonarangan.
Lakon ini mengisahkan sebuah kerajaan bernama Tasik Kencana telah dilululantahkan oleh seorang Prabu Goa Raja dengan kesaktian berupa ilmu pengeleakan (ilmu hitam). Namun, seorang Patih Werdha berhasil menyelamatkan Putri Raja ke tengah hutan dengan membangun pasraman. Di sisi lain keajegan Kerajaan Segara Madu yang masyur membuat Raja Goa Raja tidak pernah merasa puas.
Dibantu mahapatihnya bernama Patih Agung Lobantara, sang raja ingin menguasai dan mempersatukan kekuasaanya yaitu dengan mengawinkan putrinya (Ayu Sengrong) dengan Raden dharma Purusha dengan segala tipu daya. Disatu sisi Raden Dharma Purusha telah memiliki pasangan, lantas pergulatan cinta yang terjadi membuat dua belah pihak saling berselisih disertai dendam, hingga menimbulkan kekacuan perang dengan menghadirkan sosok Rangda.
Menurut Koordinator sekaligus sutradara I Gusti Made Astawa, Drama Yehkuning memang memiliki taksu sungsungan yang dikeramatkan (Rangda), dan dimanapun tampil, selalu beliau mesolah. “Bagi kami, inilah keunikan drama gong yang kami miliki dan warisi sejak 1976 sampai sekarang tetap bertahan,” tutur Astawa.
Suasana malam itu sempat mencekam dan menegangkan, kehadiran Rangda yang merupakan sesuunan yang dikeramatkan sekaa drama itupun mesolah. Aksi ngunying atau menusukkan senjata berupa keris silih berganti menyerang Rangda. Beberapa penonton pun histeris, bahkan ada yang kerauhan tak sadarkan diri. *in
Setiap kabupaten/kota di Bali memiliki ciri khas dalam berkesenian, termasuk salah satunya kesenian drama gong. Memasuki sepekan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXIX, parade drama gong tingkat remaja dimeriahkan oleh penampilan Sekaa Dharma Sangraha, Desa Yeh Kuning, Duta Kabupaten Jembarana di Kalangan Ayodya Taman Budaya Bali, Minggu (18/6) malam.
Sekaa Drama Gong ini didukung 80 persen para pemain muda berbakat di bawah arahan I Gusti Made Astawa. Tokoh sentral atau peran yang disuguhkan diantaranya ada tokoh Raja Tua, Permaisuri Raja, Raja Muda, Patih Agung dan Patih Werdha, ditambah Pundakawan sebagai pendamping Raja muda. Mengangkat cerita ‘Tirta Sudhamala’, garapan cerita romantika ini diikuti suasana magis, lantaran pada akhir cerita diwarnai dengan aksi penyalonarangan.
Lakon ini mengisahkan sebuah kerajaan bernama Tasik Kencana telah dilululantahkan oleh seorang Prabu Goa Raja dengan kesaktian berupa ilmu pengeleakan (ilmu hitam). Namun, seorang Patih Werdha berhasil menyelamatkan Putri Raja ke tengah hutan dengan membangun pasraman. Di sisi lain keajegan Kerajaan Segara Madu yang masyur membuat Raja Goa Raja tidak pernah merasa puas.
Dibantu mahapatihnya bernama Patih Agung Lobantara, sang raja ingin menguasai dan mempersatukan kekuasaanya yaitu dengan mengawinkan putrinya (Ayu Sengrong) dengan Raden dharma Purusha dengan segala tipu daya. Disatu sisi Raden Dharma Purusha telah memiliki pasangan, lantas pergulatan cinta yang terjadi membuat dua belah pihak saling berselisih disertai dendam, hingga menimbulkan kekacuan perang dengan menghadirkan sosok Rangda.
Menurut Koordinator sekaligus sutradara I Gusti Made Astawa, Drama Yehkuning memang memiliki taksu sungsungan yang dikeramatkan (Rangda), dan dimanapun tampil, selalu beliau mesolah. “Bagi kami, inilah keunikan drama gong yang kami miliki dan warisi sejak 1976 sampai sekarang tetap bertahan,” tutur Astawa.
Suasana malam itu sempat mencekam dan menegangkan, kehadiran Rangda yang merupakan sesuunan yang dikeramatkan sekaa drama itupun mesolah. Aksi ngunying atau menusukkan senjata berupa keris silih berganti menyerang Rangda. Beberapa penonton pun histeris, bahkan ada yang kerauhan tak sadarkan diri. *in
Komentar