Merevitalisasi Samudera Wisya Menuju Segara Amertha
BAGI orang Bali, samudera (laut) atau pantai (segara) dan segala ikutannya, adalah entitas vital bagi kehidupan. Vital karena laut dapat dikelola untuk kesejahteraan baik sekala-niskala.
Namun, fungsi profan eksploratif menjadikan segara di Bali kian sarat problematik. Antara lain, lekuk pantai pengunci laut dibabat untuk dijadikan ceruk industri, terutama akomodasi pariwisata. Pantai pun kian menjadi ruang-ruang pertaruhan para lobha (pemburu untung dengan cara serakah). Pada bagian lain, abrasi pantai kian parah. Air laut tercemar zat kimia beracun hingga sumber daya hayati kelautan banyak yang punah dan mati. Pada kondisi seperti itu, kasanah laut yang awalnya untuk kesejahteraan umat manusia (amertha), berubah jadi wisya atau meracuni kehidupan itu sendiri.
Bali, pulau kecil dengan panjang garis pantai sekitar 633,35 km. Garis pantai ini berada di delapan kabupaten/kota, yakni Karangasem, Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, dan satu Kota Denpasar. Bangli tanpa garis pantai. Namun kabupaten berhawa sejuk ini memiliki Danau Batur, di Wingkang Danu (desa-desa mewilayahi Danau Batur), Kecamatan Kintamani. Saat sektor pariwisata belum sekencang sekarang, kawasan pantai di Bali hanya jadi wahana penghidupan oleh warga tertentu. Misalnya, bendega (nelayan), penangkap ikan lain, petani garam, saudagar ikan dan garam, dan tukang perahu. Tiap profesi ini berikut buruh sesuai bidang. Selebihnya, para pemungut ranting kayu yang dihanyutkan air sungai, untuk saang (kayu bakar).
Keadaan amat berubah tatkala sektor pariwisata Bali menggeliat, terutama sejak era 1990-an. Muncul sejumlah profesi baru berbasis kelautan yang amat menjanjikan. Antara lain, operator parahu/kapal pengangkut turis, operator snorkeling, surfing (selancar), parasailing, flyboarding (papan luncur), scuba-diving (menyelam), dan lain-lain. Aktivitas ini membuahkan profesi lain di pantai, antara lain, pedagang acung kerajinan, minuman dan makanan, jasa pijat, kipang rambut, penyewaan payung, tikar, pemusik pantai, dan lain-lain. Paling moncer adalah profesi elit yakni investor, pengusaha hotel/restoran, dan akomodasi wisata lainnya, manager, hingga staf serabutan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 ada 3.528 unit usaha akomodasi di Bali. Dari jumlah ini, 434 unit usaha atau 12,3 persen merupakan hotel bintang dengan 47.751 unit kamar. Menurut data ini, pertumbuhan hotel masih berlanjut hingga 6 persen. Mayoritas hotel berkembang dengan ‘menjual’ keindahan pantai. Mulai dari kawasan wisata Kuta, Nusa Dua, dan sekitarnya di Kabupaten Badung, lanjut di kawasan Sanur, Kota Denpasar, Tabanan, kawasan wisata Candidasa, Amed, dan sekitarnya di Karangasem, dan di Bali lainnya. Fakta ini menandakan bahwa tepian laut di Bali dengan bentangan indah pantainya masih menjadi sumber daya untung yang mengiurkan. Maka, tak salah tepian laut ini menjadi bagian dari samudera amertha (laut untuk kehidupan sejati).
Namun di saat bersamaan, eksplorasi industri pendulang dolar makin membuahkan persoalan yang rumit. Kualitas kelestarian laut makin terdegradasi akibat banyaknya aktivitas pantai yang tak ramah lingkungan. Paparan zat kimia meracuni laut makin tak terkendali, karena penggunaan mesin-mesin boat berbahan bakar fosil. Akibatnya, biota laut makin tersiksa. Ekosisten laut makin pincang karena sumber daya hayati laut tak sanggup berbiak sempurna.
Degradasi kualitas pantai tak hanya ‘sumbangan’ dari aktivitas wisata di titik pantai. Pelbagai industri di daratan, termasuk pertanian anorganik, makin banyak yang tak ramah lingkungan. Sampah dan limbah tak jarang dibuang oleh pelaku industri mulai skala akomodasi wisata, hingga domestik/rumah tangga, ke sungai dan bermuara mencemari pantai.
Sikap apatis terhadap pemuliaan pantai, tak cukup di situ. Pembangunan akomodasi wisata masih sering melewati batas sempadan pantai. Pengerukan pasir, reklamasi ilegal dan sejenisnya, tak kalah galak. Para pelaku perusak kualitas pantai ini miskin perasaan. Mereka beranggapan, pantai hanya ruang tanpa idep (pikiran) dan rasa hingga tak apa-apa jika ‘disakiti’.
Pantai dengan segala kasanahnya tak sekadar untuk menanak garam hingga memanen dolar pariwisata. Dalam konteks ritual Hindu Bali, pantai berfungsi niskala (nirtampak/supranatural). Pantai untuk tempat malukat, peleburan segala mala (kekotoran secara batin). Pantai adalah wahana penyucian roh manusia agar mereka bisa kembali ke asal mula, sang sangkan paran numadi. Ritual ini saat usai Ngaben dengan upacara Nganyut (melarung abu jenazah) ke laut. Ada juga upacara Melasti untuk penyucian pratima (simbolik Ida Bhatara-bhatari) dan sarananya. Pada saat bersamaan, ritual ini juga untuk memuliakan dan menyucikan laut.
Sedangkan pada beberapa desa di Bali, masyarakat pesisi (pantai) menggelar tradisi Nyepi Segara, antara lain, di Pantai Kusamba, Nusa Penida, Klungkung, dan desa lain. Tujuannya, mensyukuri anugerah Dewa Baruna, sang penguasa laut karena telah memberkahi untuk kehidupan. Pesan penting dari tradisi ritual ini yakni agar masyarakat konsisten merawat dan menyucikan segara, dengan jeda, hening, agar khusyuk bersujud bhakti.
Tradisi puja terhadap laut tersebut adalah praktik nyata atas keyakinan pada pesan-pesan teks sastra Hindu. Lontar Purana Bali, misalnya, menegaskan konsep segara–giri (laut dan gunung), sebagai wujud ciptaan Tuhan yang utama untuk kehidupan makhluk. Giri adalah simbol Lingga, segara atau samudera adalah Yoni, maka dikenal istilah Lingga-Yoni (Purusa-Pradhana). Teks ini menyuguhkan pesan moral-religius, bahwa kelestarian laut mesti dijaga baik secara sekala (nyata, lahiriah) maupun niskala (supranatural) atau batin.
Namun, persoalan yang menimpa bentang segara di Bali semakin kompleks dan rumit. Pemerintah Provinsi Bali telah melid (mewanti-wanti) agar masyarakat dan pihak terkait untuk menegakkan dan menjaga kelestarian dan kesucian segara. Sikap itu dipertegas dengan visi pembangunan Nangun Sat Kerthi Loka Bali, yakni langkah bijaksana memuliakan alam Bali beserta isinya, dengan sub Segara Kerthi.
Sub visi tersebut merujuk pada sejumlah regulasi terkait pelestarian laut. Antara lain, Undang-undang No. 11/2004 junto Undang-undang No. 45/2009 tentang Perikanan, Undang-undang No. 27/2007 junto Undang-undang No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-undang No. 32/2014 tentang Kelautan. Ada Permen KP No. 26/2021 tentang Pencegahan Pencemaran, Pencegahan Kerusakan, Rehabilitasi, dan Peningkatan Sumber Daya Ikan dan Lingkungannya. Pemprov Bali juga menerbitkan beberapa peraturan, salah satunya Pergub Bali No. 24/2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut. Ada juga Pergub Bali No. 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Pemerintah Provinsi Bali juga telah menetapkan zonasi perairan melalui peraturan tata ruang, dan tata aturan sejenis lainnya.
Secara konsep, sesungguhnya regulasi tersebut sangat sesuai dengan niat luhur para tetua Bali dalam memuliakan segara dengan segala peradabannya. Namun, untuk sampai pada tujuan pemuliaan yang sejati, regulasi ini sangat membutuhkan ketegasan sikap triko, yakni komitmen, konsisten, konsekuensi dari masyarakat, pihak terkait, dan pemerintah. Dalam KBBI V diterbitkan Kemenristekdikti, komitmen berarti : 1.perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu; kontrak. 2. tanggungjawab. Dari arti ini dapat dipahami, bahwa pentingnya perjanjian disertai panggilan jiwa baik personal dan kolektif, untuk memuliakan segara. Kolektivitas dimaksud adalah antara krama hulu (warga di daratan) dan krama hilir (pesisi/pantai) dapat secara bersama-sama memanfaatkan pantai. Pantai bukan hanya dimanfaatkan oleh nelayan atau pedagang ikan. Krama hulu di pegunungan sekalipun, juga memanfaatkan segara baik untuk aktivitas sekala, sedikitnya berrekreasi, maupun niskala atau ritual keagamaan. Maka, untuk menjaga kelestarian dan kesucian segara, wajib dilakukan oleh krama di hulu dan di pesisi.
Komitmen tersebut mesti diwujudpraktikkan secara konsisten. Masih dalam KBBI V, konsisten berarti : 1. tetap (tidak berubah-ubah); taat asas, ajek. 2. selaras; sesuai. Dengan demikian, komitmen untuk memuliakan segara mesti ditradisikan hingga ajeg, tidak berubah-ubah, gebyah uyah (bersigat sekejap), tidak boleh sepotong-potong, tanpa mengabaikan kaidah. Konsistensi ini akan sangat bijak jika ditanamkan sejak usia dini, terutama tentang nilai-nilai, hakikat, dan fungsi atau manfaat segara sekala-niskala. Terlebih bagi anak-anak yang tinggal jauh dari kawasan pantai. Langkah ini dapat dimulai dari anak-anak TK – SD, hingga sekolah menengah. Sangat memungkinkan pula pemuliaan pantai dengan segala aspeknya dijadikan sub mata pelajaran muatan lokal sekolah, jenjang TK - SMA/SMK. Melalui pasraman dan sekolah, anak-anak dapat diajarkan untuk berkreasi seni yang berinspirasikan kencintaan pada kasanah laut. Selebihnya, pengelola pasraman tiap tahun di setiap desa adat, akan sangat baik jika dapat mengajak anak-anak studi kunjung ke pantai, sambil berekreasi menikmati suasana laut.
Terkait ‘muatan lokal’ dimaksud, tetua Bali zaman dulu, antara lain I Ketut Merdana asal Desa Kedis, Buleleng, menciptakan Tari Nelayan tahun 1960. Reka cipta karya seni ini dapat dimaknai bahwa kasanah kelautan dapat menginspirasi dan memperdalam kecintaan masyarakat Bali ‘daratan’ terhadap segara. Terpenting lagi, jika penanaman nilai-nilai tradisi segara sejak usia dini berjalan konsisten, maka kelak generasi lebih lanjut tidak sekadar mengerti tofografi dan manfaat pantai. Namun, secara alamiah mereka akan makin terpatri dalam sanubarinya untuk mencintai lingkungan, sesama, dan mensyukuri karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa. Sikap konsisten mesti diperkuat dengan pelaksana kebijakan dan tatat aturan. Demi keteraturan ruang segara, segenap norma mesti ditegakkan secara tegas, tanpa pandang orang.
Komitmen dan sikap konsisten tersebut tentu akan menimbulkan konsekuensi. Dalam KKBI V, konsekuensi berarti : 1. akibat (dari suatu perbuatan, pendirian, dan sebagainya), 2. persesuaian dengan yang dahulu. Komitmen yang digariskan dan dipraktikkan secara konsisten, pasti berbuah akibat yang tak enteng. Risiko ini mesti dipertanggungjawabkan baik oleh pejabat pemerintah, masyarakat, terutama pihak-pihak yang berkepentingan langsung terhadap keberadaan segara. Konsekuensi dimaksud, antara lain, pemerintah baik pusat dan daerah mesti memperioritaskan kebijakan disertai anggaran untuk tata laksana kemuliaan segara.
Pembinaan untuk peningkatan kualitas segara mesti ditingkatkan dengan SDM mumpuni dan biaya memadai. Pemegang kebijakan agar lebih berani mereward pihak-pihak pemulia laut. Sebaliknya, mempunishment (menghukum) para perusak segara. Jika tanpa tegas, maka laut atau samudera hanya akan membuahkan wisya (racun) bagi banyak pihak. Kondisi ini tentu amat jauh dari harapan menuju Segara Kerthi yang ngamerthanin (memberikan kehidupan sejati).7 I Nyoman Wilasa
Bali, pulau kecil dengan panjang garis pantai sekitar 633,35 km. Garis pantai ini berada di delapan kabupaten/kota, yakni Karangasem, Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, dan satu Kota Denpasar. Bangli tanpa garis pantai. Namun kabupaten berhawa sejuk ini memiliki Danau Batur, di Wingkang Danu (desa-desa mewilayahi Danau Batur), Kecamatan Kintamani. Saat sektor pariwisata belum sekencang sekarang, kawasan pantai di Bali hanya jadi wahana penghidupan oleh warga tertentu. Misalnya, bendega (nelayan), penangkap ikan lain, petani garam, saudagar ikan dan garam, dan tukang perahu. Tiap profesi ini berikut buruh sesuai bidang. Selebihnya, para pemungut ranting kayu yang dihanyutkan air sungai, untuk saang (kayu bakar).
Keadaan amat berubah tatkala sektor pariwisata Bali menggeliat, terutama sejak era 1990-an. Muncul sejumlah profesi baru berbasis kelautan yang amat menjanjikan. Antara lain, operator parahu/kapal pengangkut turis, operator snorkeling, surfing (selancar), parasailing, flyboarding (papan luncur), scuba-diving (menyelam), dan lain-lain. Aktivitas ini membuahkan profesi lain di pantai, antara lain, pedagang acung kerajinan, minuman dan makanan, jasa pijat, kipang rambut, penyewaan payung, tikar, pemusik pantai, dan lain-lain. Paling moncer adalah profesi elit yakni investor, pengusaha hotel/restoran, dan akomodasi wisata lainnya, manager, hingga staf serabutan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 ada 3.528 unit usaha akomodasi di Bali. Dari jumlah ini, 434 unit usaha atau 12,3 persen merupakan hotel bintang dengan 47.751 unit kamar. Menurut data ini, pertumbuhan hotel masih berlanjut hingga 6 persen. Mayoritas hotel berkembang dengan ‘menjual’ keindahan pantai. Mulai dari kawasan wisata Kuta, Nusa Dua, dan sekitarnya di Kabupaten Badung, lanjut di kawasan Sanur, Kota Denpasar, Tabanan, kawasan wisata Candidasa, Amed, dan sekitarnya di Karangasem, dan di Bali lainnya. Fakta ini menandakan bahwa tepian laut di Bali dengan bentangan indah pantainya masih menjadi sumber daya untung yang mengiurkan. Maka, tak salah tepian laut ini menjadi bagian dari samudera amertha (laut untuk kehidupan sejati).
Namun di saat bersamaan, eksplorasi industri pendulang dolar makin membuahkan persoalan yang rumit. Kualitas kelestarian laut makin terdegradasi akibat banyaknya aktivitas pantai yang tak ramah lingkungan. Paparan zat kimia meracuni laut makin tak terkendali, karena penggunaan mesin-mesin boat berbahan bakar fosil. Akibatnya, biota laut makin tersiksa. Ekosisten laut makin pincang karena sumber daya hayati laut tak sanggup berbiak sempurna.
Degradasi kualitas pantai tak hanya ‘sumbangan’ dari aktivitas wisata di titik pantai. Pelbagai industri di daratan, termasuk pertanian anorganik, makin banyak yang tak ramah lingkungan. Sampah dan limbah tak jarang dibuang oleh pelaku industri mulai skala akomodasi wisata, hingga domestik/rumah tangga, ke sungai dan bermuara mencemari pantai.
Sikap apatis terhadap pemuliaan pantai, tak cukup di situ. Pembangunan akomodasi wisata masih sering melewati batas sempadan pantai. Pengerukan pasir, reklamasi ilegal dan sejenisnya, tak kalah galak. Para pelaku perusak kualitas pantai ini miskin perasaan. Mereka beranggapan, pantai hanya ruang tanpa idep (pikiran) dan rasa hingga tak apa-apa jika ‘disakiti’.
Pantai dengan segala kasanahnya tak sekadar untuk menanak garam hingga memanen dolar pariwisata. Dalam konteks ritual Hindu Bali, pantai berfungsi niskala (nirtampak/supranatural). Pantai untuk tempat malukat, peleburan segala mala (kekotoran secara batin). Pantai adalah wahana penyucian roh manusia agar mereka bisa kembali ke asal mula, sang sangkan paran numadi. Ritual ini saat usai Ngaben dengan upacara Nganyut (melarung abu jenazah) ke laut. Ada juga upacara Melasti untuk penyucian pratima (simbolik Ida Bhatara-bhatari) dan sarananya. Pada saat bersamaan, ritual ini juga untuk memuliakan dan menyucikan laut.
Sedangkan pada beberapa desa di Bali, masyarakat pesisi (pantai) menggelar tradisi Nyepi Segara, antara lain, di Pantai Kusamba, Nusa Penida, Klungkung, dan desa lain. Tujuannya, mensyukuri anugerah Dewa Baruna, sang penguasa laut karena telah memberkahi untuk kehidupan. Pesan penting dari tradisi ritual ini yakni agar masyarakat konsisten merawat dan menyucikan segara, dengan jeda, hening, agar khusyuk bersujud bhakti.
Tradisi puja terhadap laut tersebut adalah praktik nyata atas keyakinan pada pesan-pesan teks sastra Hindu. Lontar Purana Bali, misalnya, menegaskan konsep segara–giri (laut dan gunung), sebagai wujud ciptaan Tuhan yang utama untuk kehidupan makhluk. Giri adalah simbol Lingga, segara atau samudera adalah Yoni, maka dikenal istilah Lingga-Yoni (Purusa-Pradhana). Teks ini menyuguhkan pesan moral-religius, bahwa kelestarian laut mesti dijaga baik secara sekala (nyata, lahiriah) maupun niskala (supranatural) atau batin.
Namun, persoalan yang menimpa bentang segara di Bali semakin kompleks dan rumit. Pemerintah Provinsi Bali telah melid (mewanti-wanti) agar masyarakat dan pihak terkait untuk menegakkan dan menjaga kelestarian dan kesucian segara. Sikap itu dipertegas dengan visi pembangunan Nangun Sat Kerthi Loka Bali, yakni langkah bijaksana memuliakan alam Bali beserta isinya, dengan sub Segara Kerthi.
Sub visi tersebut merujuk pada sejumlah regulasi terkait pelestarian laut. Antara lain, Undang-undang No. 11/2004 junto Undang-undang No. 45/2009 tentang Perikanan, Undang-undang No. 27/2007 junto Undang-undang No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-undang No. 32/2014 tentang Kelautan. Ada Permen KP No. 26/2021 tentang Pencegahan Pencemaran, Pencegahan Kerusakan, Rehabilitasi, dan Peningkatan Sumber Daya Ikan dan Lingkungannya. Pemprov Bali juga menerbitkan beberapa peraturan, salah satunya Pergub Bali No. 24/2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut. Ada juga Pergub Bali No. 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Pemerintah Provinsi Bali juga telah menetapkan zonasi perairan melalui peraturan tata ruang, dan tata aturan sejenis lainnya.
Secara konsep, sesungguhnya regulasi tersebut sangat sesuai dengan niat luhur para tetua Bali dalam memuliakan segara dengan segala peradabannya. Namun, untuk sampai pada tujuan pemuliaan yang sejati, regulasi ini sangat membutuhkan ketegasan sikap triko, yakni komitmen, konsisten, konsekuensi dari masyarakat, pihak terkait, dan pemerintah. Dalam KBBI V diterbitkan Kemenristekdikti, komitmen berarti : 1.perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu; kontrak. 2. tanggungjawab. Dari arti ini dapat dipahami, bahwa pentingnya perjanjian disertai panggilan jiwa baik personal dan kolektif, untuk memuliakan segara. Kolektivitas dimaksud adalah antara krama hulu (warga di daratan) dan krama hilir (pesisi/pantai) dapat secara bersama-sama memanfaatkan pantai. Pantai bukan hanya dimanfaatkan oleh nelayan atau pedagang ikan. Krama hulu di pegunungan sekalipun, juga memanfaatkan segara baik untuk aktivitas sekala, sedikitnya berrekreasi, maupun niskala atau ritual keagamaan. Maka, untuk menjaga kelestarian dan kesucian segara, wajib dilakukan oleh krama di hulu dan di pesisi.
Komitmen tersebut mesti diwujudpraktikkan secara konsisten. Masih dalam KBBI V, konsisten berarti : 1. tetap (tidak berubah-ubah); taat asas, ajek. 2. selaras; sesuai. Dengan demikian, komitmen untuk memuliakan segara mesti ditradisikan hingga ajeg, tidak berubah-ubah, gebyah uyah (bersigat sekejap), tidak boleh sepotong-potong, tanpa mengabaikan kaidah. Konsistensi ini akan sangat bijak jika ditanamkan sejak usia dini, terutama tentang nilai-nilai, hakikat, dan fungsi atau manfaat segara sekala-niskala. Terlebih bagi anak-anak yang tinggal jauh dari kawasan pantai. Langkah ini dapat dimulai dari anak-anak TK – SD, hingga sekolah menengah. Sangat memungkinkan pula pemuliaan pantai dengan segala aspeknya dijadikan sub mata pelajaran muatan lokal sekolah, jenjang TK - SMA/SMK. Melalui pasraman dan sekolah, anak-anak dapat diajarkan untuk berkreasi seni yang berinspirasikan kencintaan pada kasanah laut. Selebihnya, pengelola pasraman tiap tahun di setiap desa adat, akan sangat baik jika dapat mengajak anak-anak studi kunjung ke pantai, sambil berekreasi menikmati suasana laut.
Terkait ‘muatan lokal’ dimaksud, tetua Bali zaman dulu, antara lain I Ketut Merdana asal Desa Kedis, Buleleng, menciptakan Tari Nelayan tahun 1960. Reka cipta karya seni ini dapat dimaknai bahwa kasanah kelautan dapat menginspirasi dan memperdalam kecintaan masyarakat Bali ‘daratan’ terhadap segara. Terpenting lagi, jika penanaman nilai-nilai tradisi segara sejak usia dini berjalan konsisten, maka kelak generasi lebih lanjut tidak sekadar mengerti tofografi dan manfaat pantai. Namun, secara alamiah mereka akan makin terpatri dalam sanubarinya untuk mencintai lingkungan, sesama, dan mensyukuri karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa. Sikap konsisten mesti diperkuat dengan pelaksana kebijakan dan tatat aturan. Demi keteraturan ruang segara, segenap norma mesti ditegakkan secara tegas, tanpa pandang orang.
Komitmen dan sikap konsisten tersebut tentu akan menimbulkan konsekuensi. Dalam KKBI V, konsekuensi berarti : 1. akibat (dari suatu perbuatan, pendirian, dan sebagainya), 2. persesuaian dengan yang dahulu. Komitmen yang digariskan dan dipraktikkan secara konsisten, pasti berbuah akibat yang tak enteng. Risiko ini mesti dipertanggungjawabkan baik oleh pejabat pemerintah, masyarakat, terutama pihak-pihak yang berkepentingan langsung terhadap keberadaan segara. Konsekuensi dimaksud, antara lain, pemerintah baik pusat dan daerah mesti memperioritaskan kebijakan disertai anggaran untuk tata laksana kemuliaan segara.
Pembinaan untuk peningkatan kualitas segara mesti ditingkatkan dengan SDM mumpuni dan biaya memadai. Pemegang kebijakan agar lebih berani mereward pihak-pihak pemulia laut. Sebaliknya, mempunishment (menghukum) para perusak segara. Jika tanpa tegas, maka laut atau samudera hanya akan membuahkan wisya (racun) bagi banyak pihak. Kondisi ini tentu amat jauh dari harapan menuju Segara Kerthi yang ngamerthanin (memberikan kehidupan sejati).7 I Nyoman Wilasa
Komentar