Penjual Cobek Gugat UU ke MK
Berharap tidak ada warga yang bernasib seperti dirinya
JAKARTA, NusaBali
Tajudin bin Tatang Rusmana, pria asal Padalarang, Jawa Barat yang sehari-harinya menjual cobek ingin persoalan hukum yang menjerat dirinya segera selesai. Lebih dari itu, ia berharap tidak ada warga yang bernasib serupa.
“Ya inginnya cepat beres, kan punya keluarga. Harus (memenuhi ) tanggung jawab sama keluarga, punya bayi, anak yang masih sekolah, kalau begini kan sehari-hari bagaimana,” tutur Tajudin usai menjalani sidang uji materi di Mahkamah Kostitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (5/7).
Tajudin menjelaskan bahwa dirinya ditangkap polisi lantaran dinilai telah mempekerjakan anak-anak, yakni Cepi dan Dendi. Kedua anak-anak itu sebenarnya keponakan Tajudin. “Waktu penangkapan itu hari Rabu, Tanggal 20 bulan April 2016,” kata Tajudin seperti dilansir kompas.
Dipersidangan, Jaksa menjerat dirinya dengan Pasal 2 Ayat 1 UU 21/2017 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP dan Pasal 88 UU 35/2014 juncto Pasal 64 KUHP. Adapun tuntutan hukuman terhadap dirinya, yakni 3 tahun dari maksimal 15 tahun penjara.
Pada Januari lalu, PN Tangerang memvonis bebas Tajudin. Hakim menilai Tajudin tidak terbukti mengeksploitasi anak sebagaimana tuduhan Jaksa.
Hakim mempertimbangkan aspek sosiologis, bahwa anak-anak sudah terbiasa membantu orang tuanya. Namun selama proses hukum berjalan, Tajudin harus merasakan hidup di balik jeruji. Proses ini djialaninya sekitar selama sembilan bulan.
Saat ini persoalan hukum Tajudin belum selesai. Ketua LBH Keadilan selaku kuasa hukum Tajudin, Abdul Hamim Jauzie mengatakan, Jaksa mengajukan kasasi atas putusan hakim. Hal ini menjadi ancaman karena sewaktu-waktu bisa saja Tajudin kembali menjalani proses hukum atas kasus tersebut.
“Itu rupanya SOP, Jaksa wajib mengajukan kasasi. Potensi pidana tetap ada. Sayangnya dari Januari sampai sekarang berkas pengajuan kasasi belum dikirim ke Mahkamah Agung, masih ada di Pengadilan Negeri, karena biasanya sebelum dikirim ke MA kami akan dipanggil untuk memeriksa berkas,” kata Hamim.
Hamim menilai, kasus Tajudin sedianya menjadi contoh bahwa keberadaan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU 21/2017) berpotensi merugikan hak konstitusi warga negara. Hal inilah menjadi alasan pihaknya mengajukan uji materi.
Oleh karena itu, menurut Hamim, MK lebih mempertegas apa yang dimaksud dengan tindakan eksploitasi terhadap orang lain.
“Sebagai pintu masuk awal perkara, ini (yang dilakukan Tajudin) dianggap tercela atau tidak. Karena yang Pak Tajudin lakukan, di kampungnya ini sangat mulia karena ikut membantu warga,” kata Hamim. *
“Ya inginnya cepat beres, kan punya keluarga. Harus (memenuhi ) tanggung jawab sama keluarga, punya bayi, anak yang masih sekolah, kalau begini kan sehari-hari bagaimana,” tutur Tajudin usai menjalani sidang uji materi di Mahkamah Kostitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (5/7).
Tajudin menjelaskan bahwa dirinya ditangkap polisi lantaran dinilai telah mempekerjakan anak-anak, yakni Cepi dan Dendi. Kedua anak-anak itu sebenarnya keponakan Tajudin. “Waktu penangkapan itu hari Rabu, Tanggal 20 bulan April 2016,” kata Tajudin seperti dilansir kompas.
Dipersidangan, Jaksa menjerat dirinya dengan Pasal 2 Ayat 1 UU 21/2017 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP dan Pasal 88 UU 35/2014 juncto Pasal 64 KUHP. Adapun tuntutan hukuman terhadap dirinya, yakni 3 tahun dari maksimal 15 tahun penjara.
Pada Januari lalu, PN Tangerang memvonis bebas Tajudin. Hakim menilai Tajudin tidak terbukti mengeksploitasi anak sebagaimana tuduhan Jaksa.
Hakim mempertimbangkan aspek sosiologis, bahwa anak-anak sudah terbiasa membantu orang tuanya. Namun selama proses hukum berjalan, Tajudin harus merasakan hidup di balik jeruji. Proses ini djialaninya sekitar selama sembilan bulan.
Saat ini persoalan hukum Tajudin belum selesai. Ketua LBH Keadilan selaku kuasa hukum Tajudin, Abdul Hamim Jauzie mengatakan, Jaksa mengajukan kasasi atas putusan hakim. Hal ini menjadi ancaman karena sewaktu-waktu bisa saja Tajudin kembali menjalani proses hukum atas kasus tersebut.
“Itu rupanya SOP, Jaksa wajib mengajukan kasasi. Potensi pidana tetap ada. Sayangnya dari Januari sampai sekarang berkas pengajuan kasasi belum dikirim ke Mahkamah Agung, masih ada di Pengadilan Negeri, karena biasanya sebelum dikirim ke MA kami akan dipanggil untuk memeriksa berkas,” kata Hamim.
Hamim menilai, kasus Tajudin sedianya menjadi contoh bahwa keberadaan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU 21/2017) berpotensi merugikan hak konstitusi warga negara. Hal inilah menjadi alasan pihaknya mengajukan uji materi.
Oleh karena itu, menurut Hamim, MK lebih mempertegas apa yang dimaksud dengan tindakan eksploitasi terhadap orang lain.
“Sebagai pintu masuk awal perkara, ini (yang dilakukan Tajudin) dianggap tercela atau tidak. Karena yang Pak Tajudin lakukan, di kampungnya ini sangat mulia karena ikut membantu warga,” kata Hamim. *
Komentar