Ganjar Pranowo Setuju Hak Angket
Selidiki Dugaan Kecurangan Pelaksanaan Pemilu 2024
JAKARTA, NusaBali - Calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo setuju dan mendorong adanya hak angket DPR RI untuk menyelidiki dugaan kecurangan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Dia juga mendorong DPR untuk segera melakukan pemanggilan terhadap penyelenggara Pemilu. Politikus berambut putih itu mengatakan, sehari setelah pencoblosan, pihaknya bersama partai pengusung langsung melakukan evaluasi.
“Apakah benar terjadi situasi anomali-anomali, jawabannya iya. Apakah benar sistemnya ini ada kejanggalan, jawabannya iya. Apakah benar ada cerita-cerita di masyarakat yang tidak sesuai dengan ketentuan, jawabannya iya,” ujar Ganjar melalui keterangan tertulisnya, Rabu (21/2).
Menyikapi hal itu, lanjut Ganjar, maka perlu dilakukan pengawasan. Pertama, dengan cara meminta klarifikasi kepada penyelenggara Pemilu, atau kedua lewat jalur partai politik. “Maka kalau ingin melihat, membuktikan dan mengetahui hak angket paling bagus karena menyelidiki. Di bawahnya, interpelasi,” terang Ganjar.
Untuk itu, Capres yang berpasangan dengan Mahfud MD ini mendorong DPR untuk mengambil sikap dengan memanggil penyelenggara Pemilu.
“Minimum sebenarnya Komisi II memanggil penyelenggara Pemilu, apa yang terjadi. IT-nya, kejadian tiap TPS kok melebihi 300 ini kan anomali, masak diam saja," papar Ganjar.
Mestinya, kata Ganjar, DPR segera ambil sikap undang penyelenggara Pemilu dan undang masyarakat. "Sehingga mereka bisa menyampaikan. Dan problem ini bisa dibawa ke zona netral dan masyarakat bisa tahu,” ucap mantan Gubernur Jawa Tengah itu.
Diketahui, pelaksanaan Pemilu 2024 terjadi beberapa kejanggalan, terutama proses rekapitulasi KPU melalui Sirekap. Selain itu, munculnya dugaan kecurangan-kecurangan dalam penghitungan kertas hasil suara di banyak TPS. Sementara Calon Anggota Legislatif (Caleg) dari PDI Perjuangan (PDIP) Adian Napitupulu mengatakan, hak angket di DPR RI menjadi solusi untuk mengungkapkan berbagai kecurangan pada Pemilu 2024. Saat ini, kata Adian, rakyat tidak lagi mempercayai lembaga negara, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pilihannya adalah hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pada pelaksanaan Pemilu 2024,” kata Adian saat menjadi pembicara pada dialog spesial “Rakyat Bersuara: Suara Rakyat vs Sirekap” yang ditayangkan stasiun televisi iNews, Selasa (20/2).
Caleg dari daerah pemilihan (Dapil) Jawa Barat V (Kabupaten Bogor) itu menegaskan, bahwa sangat terbuka kemungkinan terjadi kecurangan pada pelaksaan pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu presiden (Pilpres). Berbagai dugaan kecurangan itu telah ditemukan rakyat dan partai politik (parpol), hanya saja bingung akan dilaporkan ke lembaga mana.
“Kecurangan itu tidak bisa hanya dilihat di angka-angka. Rakyat bingung. Parpol bingung. Ketemu kecurangan pemilu. Ngadu ke mana? MK ada pamannya. Lalu ke mana? Mau tidak mau pilihannya hak angket. Jika KPU, Sistem Rekapitulasi Suara Pemilu 2024 atau Sirekap dan MK sudah tak bisa dipercaya, mau tidak mau rakyat hanya percaya dengan kekuatannya sendiri. Hati-hati loh itu. Hati-hati,” tegas Adian.
Pria yang dikenal sebagai aktivis 1998 itu menegaskan, bahwa parlemen (DPR) harus bertanggung jawab mengontrol produk undang-undangnya, apakah salah atau tidak. Parlemen, harus pula bertanggung jawab untuk setiap pengeluaran rupiah yang diteken dalam APBN. Adian menegaskan, rangkaian kecurangan pada Pemilu 2024 tidak hanya berhenti dalam angka-angka.
Dia menyebutkan, perhitungan perolehan suara pada Sirekap bisa berubah dalam sehari. Dirinya pun, kehilangan 470 suara. Adian menekankan, peluang kecurangan pada pilpres akan lebih besar dibanding pileg karena jumlah kertas suara dan tempat pemungutan suara (TPS) lebih banyak.
“Kalau untuk 15 ribu TPS di Bogor bisa terjadi kecurangan. Peluang kecurangan lebih mungkin terjadi pada pilpres dengan 800 ribuan TPS,” jelas Adian.
Adian pun, menyinggung tanggung jawab negara dalam dugaan kecurangan Pemilu 2024. Menurutnya, angka perolehan suara yang dipublikasi KPU melalui Sirekap berubah-ubah dan ada penggelembungan.
Dia mempertanyakan apakah data yang dipublikasi Sirekap, termasuk kabar bohong (hoaks) atau bukan. Jika termasuk hoaks, maka ada sanksi karena menyebarkan kebohongan publik. “Menurut saya harus ada langkah hukum ketika negara dianggap menyebarkan hoaks, karena data Sirekap itu tersebar kok. Artinya, harus ada langkah politik di parlemen,” ucap Adian. k22
Komentar