Sisi Unik Pura Penataran Sari yang Berlokasi di Desa Adat Pangsan, Kecamatan Petang, Badung
Kramanya Terus Bertambah Diyakini karena Sesanginya Terkabul
Orang yang datang dengan tujuan masesangi tidak setiap hari, kebanyakan dari mereka datang bertepatan dengan pujawali pura, yakni pada Buda Kliwon Ugu
MANGUPURA, NusaBali
Pura Penataran Sari di Desa Adat Pangsan, Kecamatan Petang, Badung adalah pura pamaksan yang jumlah kramanya bertambah dari masa ke masa karena proses 'membayar budi' kepada niskala.
Kabid Sejarah Disbud Badung Ni Nyoman Indrawati (kiri) dan Ketua Panitia Penyusunan Purana Pura Penataran Sari I Gusti Ngurah Made Subratha (pegang mic) saat menggelar konservasi lontar di Pura Penataran Sari, Senin (15/7). –NGURAH RATNADI
Jenis pura di Bali ada bermacam-macam. Salah satunya dapat dilihat dari cakupan krama pangempon (warga pengelola) pura. Berbeda dengan pura teritorial seperti Kahyangan Desa yang dikelola warga sedesa adat, pura pamaksan hanya dikelola oleh sekelompok warga tertentu. Khususnya dalam kasus Pura Penataran Sari, pangempon-nya adalah warga Desa Adat Pangsan yang pernah 'berutang budi.' Pura di wilayah administratif Banjar Adat Pangsan Tengah ini jadi tujuan masesangi (bernazar) bagi warga desa setempat dan luar desa untuk menyampaikan permohonan tertentu.
Orang-orang tangkil (datang berkunjung) untuk sembahyang dengan permohonan tertentu disertai janji balas budi tertentu jika doa mereka dikabulkan. Magisnya, sebagian besar permohonan yang disampaikan dengan penuh keyakinan itu disebut benar-benar dikabulkan. Kelian Pura Penataran Sari, I Gusti Ketut Ngurah,64, menuturkan rentang sesangi yang disampaikan berkaitan dengan urusan kesenian, pekerjaan, karier di pemerintahan dan kedinasan, rumah tangga, hingga kesehatan. Sebagian besar dari yang datang untuk masesangi ini diklaim terkabulkan.
"Terkabulnya permohonan itu kemudian dibarengi dengan kesanggupan balas budi seperti bersedia menjadi krama pangempon. Banyak yang seperti itu dan jadi cikal bakal bertambahnya krama kami di sini," tutur Gusti Ketut Ngurah saat ditemui di Pura Penataran Sari, Senin (15/7).
Kebiasaan membalas jasa dengan ikut menjadi krama pura ini dipercayai sudah berlangsung sejak awal mula berdirinya pura. Dipercaya bahwa pura yang menyucikan Ida Bhatara Ratu Alit ini didirikan seorang Brahmana bernama Ida Bagus Giur sekitar tahun 1923, didukung tujuh orang lainnya. Pura ini berdiri lantaran sang pendiri masesangi bakal mendirikan palinggih di daerah keramat yang dahulu disebut Banjar Ambengan (ilalang) jika pekerjaan membuka lahan sawah dilancarkan. Permohonan itu dikabulkan, lantas didirikan palinggih sederhana dan tidak permanen dari batang pohon.
Dengan adanya palinggih itu, warga setempat yang mengalami kesulitan di pertanian ikut mencoba masesangi dan benar dikabulkan. Mereka lantas sanggup menjadi krama dari palinggih yang awalnya didirikan Ida Bagus Giur. Kisah ini menyebar dari mulut ke mulut dan mengundang warga lain untuk mencoba. "Jumlah krama kala itu yang bisa dihitung jari akhirnya bertambah setelah doanya terkabul dan memutuskan ikut menjadi krama. Palinggih yang awalnya begitu sederhana berkembang menjadi pura, disertai dengan bangunan pelengkapnya," beber Ngurah.
Kini, krama Pura Penataran Sari terdiri dari 53 kepala keluarga (KK). Jumlah ini terus bertambah dan di saat yang sama juga berkurang lantaran ada yang masuk dan ada yang pamit. Di samping itu, tidak semua orang yang datang masesangi berakhir menjadi krama. Ada yang usai doanya dikabulkan, melakukan balas budi dengan menghaturkan perlengkapan pura seperti wastra dan tedung. Ada pula yang menjadi krama sementara misalkan selama dua pujawali (satu tahun) atau lebih, tergantung yang dijanjikan ketika menyampaikan doa permohonan.
Menurut Jero Mangku Ratna,68, pamangku istri Pura Penataran Sari, orang yang datang dengan tujuan masesangi ini tidak setiap hari. Kebanyakan mereka datang bertepatan dengan pujawali pura, yakni pada Buda Kliwon Ugu. "Kebanyakan hadir waktu pujawali dan naur-nya (membayar/balas budi) juga saat pujawali berikutnya. Yang datang sebagian besar dari lingkungan Desa Pangsan," ujar Mangku Ratna, ditemui di pura, Senin lalu.
Saat ini, Pura Penataran Sari dikelola oleh generasi keempat dari keturunan para pendiri pura. Purana mengenai asal muasal pura tengah digali melalui berbagai sumber lisan dan tertulis untuk menata kembali kegiatan adat dan keagamaan pura dan pangemponnya. 7 ol1
Komentar