Orang Bali Berdebat
BERDEBAT itu bersilat kata berbekal ilmu, bukan sembarang ngomong. Kalau debat tak bermutu, sekadar guyonan, itu debat kusir namanya. Kadang yang diomongkan itu mengambang, berputar-putar, itu ke itu saja.
Acap kali perdebatan itu, karena cuma ngomong, isinya serba normatif, sehingga yang diperdebatkan hambar, melelahkan, dan yang mendengar jadi terkantuk-kantuk. Isi perdebatan omongan menyimpang. Orang Bali menyebutnya sebagai omongan nyaplir, meleset, tidak tepat sasaran.
Karena berdebat itu bersilat, ia sama artinya dengan perkelahian atau pertikaian. Ada yang diserang, ada lawan bertahan. Ada yang menghantam, ada yang berkelit. Adu fisik buat silat; adu akal, pikiran, dan hati jika berdebat. Kata-kata, pengetahuan, irama melontarkan gagasan yang bersumber dari pikiran, menjadi sangat penting memenangkan debat. Jika si pendebat pikirannya kosong, dia tak bakalan menguasai medan, dia bahkan enggan bicara, kehilangan kata-kata.
Pemilihan Gubernur Bali yang disertai debat pasangan kandidat, memunculkan pertanyaan segar: seperti apakah, sejauh mana, orang Bali menguasai perdebatan? Bukankah orang Bali terbiasa menyampaikan gagasan dalam sangkep banjar, sehingga mereka semestinya genial dalam berdebat?
Benarkah orang Bali memiliki cukup kemampuan berolah wacana jika mereka hanya berdemokrasi di banjar? Apakah adat dan agama yang dianut orang Bali menyediakan kesempatan mereka unggul dalam silat kata? Bukankah orang Bali yang jago debat lahir dari pergaulan modern? Yang membuat mereka jago debat karena duduk di universitas, terlibat dalam berbagai organisasi, rajin datang dan aktif dalam banyak seminar.
Debat calon gubernur adalah gelegak demokrasi, aktivitas modern, dan ditunggu-tunggu publik. Karena itu, betapa penting kemampuan mengolah kata menjadi frasa untuk merumuskan pikiran. Mereka yang menguasai pengolahan kata, lazimnya memiliki kemampuan lintas akal dan ilmu. Seseorang yang kaya pengetahuan, akan mudah mengembangkan kata.
Para praktisi yang punya kehebatan lintas akal semakin hebat jika bersilat kata. Tapi, kalau silat katanya terlalu melambung, dia bisa dituding membual. Maka, kekuatan untuk meraih kemenangan dalam berdebat tergantung pada kemampuan merangkai kata dari pengetahuan yang masuk akal, agar yang dilontarkan tidak menggelembung menjadi dongeng atau cuma mimpi-mimpi.
Namun, ada juga pendapat yang mengungkapkan, jika ingin unggul dalam debat, seseorang harus punya mimpi-mimpi. Dalam pidatonya Soekarno berulang-ulang mengungkapkan mimpi-mimpi, “Kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kemakmuran,” sehingga kemerdekaan menjadi tujuan dan impian. Sering kita temui, mereka yang suka berdebat adalah kaum pemimpi.
Orang Bali sering menganggap diri sebagai manusia pendiam yang baik. Mereka yakin, orang santun adalah manusia yang tak suka mengoceh. Manusia pendiam tidak pernah misuh-misuh, menjauhkan diri dari kebiasaan melontarkan sumpah serapah. Yang ogah berdebat adalah manusia pekerja, lebih mementingkan hasil tinimbang segunung rencana.
Tapi, di zaman penuh persaingan kini, ogah bersilat kata tidak hanya dianggap jerih, gentar, menghadapi lawan, namun juga dinilai sebagai akal-akalan berkelit dari persoalan. Bahkan dinilai sebagai ketakutan menghadapi kekalahan sebelum memulai.
Ada yang berpendapat, orang Bali memang tidak cukup hebat kalau berdebat. Mereka adalah seniman kreatif yang tak kuasa mengolah kata menjadi letupan-letupan orasi. Orang Bali justru punya kelebihan menjadi hebat dalam diam. Tapi, orang Bali yang kaya pengetahuan lintas ilmu, pasti tak akan pantang mundur kalau berdebat. Karena itu, rajinlah membaca, terus menerus menyimak ilmu, agar punya banyak isu dan berani berdebat dengan siapa saja. Sehebat-hebat lawan silat kata, dia manusia biasa juga.
Berani, orang Bali harus terus menerus berani dan lihai berpendapat dan berdebat. Harus pintar-pintar melayang-layangkan mimpi ke masa depan, agar publik tergugah dan bergerak. 7
Komentar