nusabali

Melihat GKPB Jemaat Uwit Galang Ulun Uma, Gereja Sederhana Jejak Kekristenan di Gulingan

  • www.nusabali.com-melihat-gkpb-jemaat-uwit-galang-ulun-uma-gereja-sederhana-jejak-kekristenan-di-gulingan
  • www.nusabali.com-melihat-gkpb-jemaat-uwit-galang-ulun-uma-gereja-sederhana-jejak-kekristenan-di-gulingan
  • www.nusabali.com-melihat-gkpb-jemaat-uwit-galang-ulun-uma-gereja-sederhana-jejak-kekristenan-di-gulingan

MANGUPURA, NusaBali.com - Kemeriahan perayaan Natal terasa di salah satu sudut Desa Gulingan, Kecamatan Mengwi, Badung. Di tengah lingkungan yang mayoritas Hindu, tampak sebuah gereja berdiri kokoh tidak jauh dari Balai Banjar Ulun Uma Badung, wilayah ujung timur Desa Gulingan.

Di tepi jalan menuju kawasan wisata Pura Taman Ayun, berdiri Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Jemaat Uwit Galang Ulun Uma. Gereja yang tampak sederhana, jemaatnya terdiri dari 21 kepala keluarga, namun memiliki sejarah panjang dirunut dari tahun 1938.

Pendeta Ahmen M Lumira menuturkan, Kekristenan masuk ke Desa Gulingan bermula dari warga Ulun Uma yang dibaptis pertama kali pada 23 Januari 1938. Pembaptisan dilakukan di GKPB Jemaat Galang Ning Hyang Abianbase.

“Sebelum itu, ada penyampaian Injil (dari jemaat Abianbase ke keluarganya di Ulun Uma) tapi momentum pembaptisan itulah yang menyatakan bahwa di sini ada awal Injil atau yang percaya pada Tuhan Yesus,” tutur Pdt Ahmen, ditemui NusaBali.com usai peribadatan Natal 2024, Rabu (25/12/2024).

Sejarah GKPB Jemaat Uwit Galang tidak terlepas dari sejarah gereja Bali yang lahir di Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Badung pada 11 November 1931. Kala itu, 12 orang Bali yang berasal dari Untal-Untal, Dalung serta Abianbase dan Buduk, Mengwi dibaptis Pdt RA Jaffry di Tukad Yeh Poh, Dalung.

Di antara orang-orang yang dibaptis yang berasal dari Abianbase mempunyai saudara di Ulun Uma sehingga melakukan penyampaian Injil sampai ke daerah pertanian Desa Gulingan ini. Menurut catatan gereja, salah satu orang pertama yang mendapat penyampaian Injil dari Abianbase adalah Biang Siluh.

Biang Siluh mendapat pemberitaan Injil dari saudaranya I Nyoman Regig. Setelah dilakukan penyampaian Injil secara berkala, akhirnya Biang Siluh dan beberapa warga lain dibaptis pada 23 Januari 1938. Ini jadi penanda awal keberadaan Injil di Ulun Uma dan sekitarnya.

Menurut video dokumentasi testimoni tokoh GKPB Jemaat Uwit Galang I Wayan Raneng (Alm) yang diterima NusaBali.com, gereja pertama di Ulun Uma berada di pekarangan keluarga Raneng saat ini. Tapi, gereja itu lantas dibakar tentara Pemerintah Sipil Hindia-Belanda (NICA) kala Perang Kemerdekaan RI.

“Jemaat di Pelambingan (Tibubeneng, Kuta Utara) kemudian memberikan gereja karena mereka pindah ke Blimbingsari (Melaya, Jembrana). Dibongkar lantas kayu-kayu gereja di Pelambingan untuk dipakai bikin gereja di lokasi sekarang,” ungkap Raneng dalam video testimoni.

Karena berbahan kayu, kata Raneng, gereja pernah rusak beberapa kali sampai ke kondisi sekarang yang sudah kokoh dan permanen. Raneng juga menuturkan bahwa ahli waris tanah gereja kala itu memberi pesan lewat perjanjian kepada pengurus gereja termasuk Raneng yang kala itu menjabat bendahara.

Diketahui, tanah empat are di mana gereja sekarang berdiri, dahulu dimiliki Biang Siluh. Tanah itu dicicil dengan total 35 ringgit perak. Kemudian, kata Raneng, ada surat perjanjian antara Biang Siluh, pengurus gereja, dan jemaat soal tanah yang didirikan GKPB Jemaat Uwit Galang Ulun Uma.

“Ada perjanjian bahwa gereja ini dipakai jadi merajan gede. Semasih ada orang Kristen berapapun, tanah ini tidak boleh digugat keturunan Nini (Biang Siluh). Kalau sudah habis, tidak ada orang Kristen di Ulun Uma, baru boleh tanah itu diambil, dijadikan tanah biasa,” ungkap Raneng.

Merajan gede ini dalam arti menjadi tempat suci peribadatan bersama untuk keluarga besar umat Kristen Protestan di Ulun Uma, Gulingan. Ibaratnya merajan gede umat Hindu yang disucikan dan dikelola bersama oleh seluruh anggota keluarga besar.

Sementara itu, Made Tony Hermana, generasi keempat warga Ulun Uma pemeluk Kristen menjelaskan bahwa awalnya ada 12 kepala keluarga (KK) dari warga setempat yang menjadi jemaat gereja. Namun, kini tersisa enam KK saja karena ada yang telah merantau keluar daerah.

“Saya masih punya saudara dari orangtua yang beragama Hindu. Setiap hari raya baik Galungan maupun Natal seperti ini, kami saling ngejot satu sama lain,” beber Tony, ditemui NusaBali.com usai peribadatan Natal, Rabu pagi.

Kata Tony, warga lokal jemaat gereja juga masuk banjar adat. Namun, keterlibatannya sebatas sosial kemanusiaan atau manyama braya di lingkup pawongan dan palemahan saja. Keberagaman inipun diakui berjalan sangat baik oleh Pdt Ahmen M Lumira.

Dijelaskan Pdt Ahmen, GKPB Jemaat Uwit Galang kini memiliki jemaat berjumlah 21 KK, 17 KK di antaranya adalah suku Bali baik dari Ulun Uma maupun desa tetangga seperti Desa Penarungan. Meski begitu, diakui jemaat tidak tercatat atau simpatisan sangat banyak beribadat, seperti perantau dari Indonesia timur.

Peribadatan Natal, Rabu pagi, pun berlangsung khidmat di tengah keberagaman suku dan lingkungan luar gereja. Bahkan, Pdt Ahmen sendiri berasal dari Morowali Utara, Sulawesi Tengah dan menikah dengan perempuan Bali yang juga seorang pendeta.

“Selasa malam, kami merayakan Malam Kudus, hari ini perayaan Natal, sampai nanti malam tahun baru kami beribadat tutup tahun dan dilanjutkan ibadat tahun baru 1 Januari 2025. Kami selalu berupaya mengungkapkan kasih dan damai di tengah keberagaman ini,” tandas Pdt Ahmen yang lima tahun lalu bertugas di GKPB Jemaat Tirta Empul Kerobokan. *rat

Komentar