nusabali

Melihat Kongco di Pura Taman Mesir Banjar Aseman, Abiansemal, Badung

Jejak Bersejarah Arsitek Pura Taman Ayun di Abiansemal

  • www.nusabali.com-melihat-kongco-di-pura-taman-mesir-banjar-aseman-abiansemal-badung

Tan Hu Cin Jin yang mengarsiteki pembangunan Pura Taman Ayun, dan kini berstana di Pura Taman Mesir sebagai Yang Mulia Kongco Chen Fu Zhen Ren, dikategorikan sebagai Dewata Pelindung di Asia Tenggara.

MANGUPURA, NusaBali
Pura Taman Mesir adalah satu dari beberapa pura di Bali yang memiliki kongco di dalam utama mandalanya. Kongco di pura yang berlokasi di Banjar Aseman, Desa/Kecamatan Abiansemal, Badung ini mungkin salah satu yang paling bersejarah bagi warga Tionghoa Bali, Jawa, dan Lombok dikarenakan sosok pendirinya.

Jero Mangku Istri Pura Taman Mesir Ni Wayan Widiani, 54, dan pengurus kongco Romo Putu Partha Kurniawan, 73, menuturkan bahwa kongco yang menjadi tempat suci umat Tri Dharma (Konghucu, Tao, Buddha) ini didirikan Tan Hu Cin Jin. Dia adalah leluhur etnis Tionghoa yang mendiami wilayah Kerajaan Blambangan yang mengarsiteki pembangunan Pura Taman Ayun.

Kerajaan Blambangan yang berada di Jawa Timur kala itu sekitar abad ke-17 Masehi merupakan wilayah Kerajaan Mengwi yang berpusat di Desa/Kecamatan Mengwi, Badung. Kala itu, Tan Hu Cin Jin adalah salah seorang kepercayaan raja Blambangan setelah dia berhasil membangun Istana Macanputih dengan ‘sempurna’.

“Kabar raja Blambangan punya arsitek hebat itu sampai ke raja Mengwi dan memerintahkan sang arsitek untuk datang ke Bali,” tutur Romo Partha yang memiliki nama Tionghoa, Ciu San Hoo, saat ditemui di sela kegiatan bersih-bersih kongco jelang perayaan Imlek di Pura Taman Mesir, Kamis (23/1/2025).

Singkat cerita, Tan Hu Cin Jin tiba di Bali. Kata Romo San Hoo, Tan Hu Cin Jin merancang Pura Taman Ayun tersebut di areal suci yang sekarang menjadi Pura Taman Mesir, Abiansemal, di mana lokasi pura ini juga merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Mengwi.

Romo Putu Partha Kurniawan (Ciu San Hoo) sedang melaksanakan persembahyangan. –NGURAH RATNADI 

Dulunya areal Pura Taman Mesir ini secara eksklusif dimiliki dan dikelola Puri Abiansemal. Hanya ada tiga palinggih yang ada di areal pura di masa silam yaitu Palinggih Mantuk ring Rana, Mantuk ring Sagara, dan Palinggih Tengah Sagara yang di bawahnya mengalir mata air.

Kemudian, di masa sekarang ada satu gedong di sisi kiri ketika masuk ke utama mandala. “Itu dahulu tempat Beliau merancang Taman Ayun. Karena Beliau ada di sini, maka ada kongco. Selain itu, kongco ini dibangun karena penguasa Abiansemal saat itu mengikuti nasihat Beliau supaya daerah ini subur,” imbuh Romo San Hoo.

Romo yang pernah bertugas di Vihara Dharma Cattra, Tabanan ini menuturkan, Tan Hu Cin Jin bukanlah sosok manusia biasa. Dikisahkan bahwa ketika terjadi permasalahan antara Kerajaan Mengwi dan Tan Hu Cin Jin sebelum Pura Taman Ayun rampung total, dia memutuskan kembali ke Blambangan.

Ketika menyeberangi Selat Bali, Tan Hu Cin Jin tidak menggunakan perahu. Dia bisa berjalan di atas air sampai menyentuh pesisir timur Pulau Jawa di Sembulungan, Banyuwangi dan akhirnya moksa. “Beliau sudah tidak berwujud manusia lagi, melainkan dewata. Beliau berstana di sini sebagai Yang Mulia Kongco Chen Fu Zhen Ren,” tegas Romo San Hoo.

YM Chen Fu Zhen Ren, kata romo kelahiran daerah pecinan Jalan Gajah Mada, Denpasar, ini berperan sebagai dewa pelindung umat. Dalam buku Dewa-Dewi Kelenteng (1990) karya Setiawan Kwa, Chen Fu Zhen Ren dikategorikan sebagai Dewata Pelindung di Asia Tenggara.

Arca YM Chen Fu Zhen Ren sedang dibersihkan di dalam Kongco Taman Mesir, Banjar Aseman, Desa/Kecamatan Abiansemal, Badung. –NGURAH RATNADI 

Diketahui, YM Chen Fu Zhen Ren kini dipuja oleh warga etnis Tionghoa yang memiliki akar dari Kerajaan Blambangan seperti di Banyuwangi, Jawa Timur. Begitu juga, etnis Tionghoa di Bali sampai Lombok yang menstanakan YM Chen Fu Zhen Ren pada kongco/kelenteng di daerah masing-masing seperti di Kongco Taman Mesir ini.

Di dalam Kongco Taman Mesir terdapat tiga arca yakni arca Chen Fu Zhen Ren atau Tan Hu Cin Jin dalam bahasa Hokkian. Kemudian, arca Fu De Zheng Shen (Dewa Bumi) dan arca Hu Shen (Dewa Macan). Arca Fu De Zheng Shen dan Chen Fu Zhen Ren berada di altar utama. Sedangkan, arca Hu Shen diletakkan sejajar dengan lantai.

Namun, arca-arca tersebut bukanlah peninggalan. Arca Chen Fu Zhen Ren, Fu De Zheng Shen dibawa dari Tiongkok, dan arca Hu Shen dibawa dari Denpasar oleh romo pengurus kongco terdahulu pada 1970-an. Dijelaskan Romo San Hoo, yang menjadi peninggalan kongco justru berupa tempat dupa. Tempat dupa ini bahkan sebelumnya ditemukan di atas altar utama.

“Dulu kongconya tidak seperti ini (modern), sangat sederhana beratapkan ilalang. Tahun 1951 renovasi pertama, setelah 1965 ada renovasi lagi, renovasi terakhir sekitar tahun 2000. Tapi, fondasinya masih sama dari awal mulanya,” beber Romo San Hoo yang juga keturunan romo pengurus kongco terdahulu.

Romo San Hoo mengungkapkan, Kongco Taman Mesir ini sejatinya sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda. Sekarang kongco ini dikelola oleh umat Tri Dharma dan etnis Tionghoa yang berdomisili di wilayah Badung seperti Desa Carangsari, umat dari Denpasar, sampai Tabanan.

Sementara itu, Jero Mangku Ni Wayan Widiani menuturkan, kongco di Pura Taman Mesir ini juga disucikan para pangempon pura yang merupakan warga adat Banjar Aseman. Meski tidak sembahyang menurut tradisi Tri Dharma, umat Hindu setempat biasanya menghaturkan canang, pejati, atau upakara khususnya saat pujawali di pura.

“Yang berkunjung ke sini mengaku mendapat pawisik (wangsit). Begitu juga yang menjadi penekun spiritual, katanya berkunjung ke sini karena dapat pawisik dari Ida Bhatara Kongco, Ida Bhatara-Bhatari di sini,” ungkap Mangku Widiani ketika ditemui di pura, Selasa (21/1/2025).

Soal umat yang datang berkunjung ke kongco, Jero Mangku Widiani memang lebih tahu lantaran dia juga berperan sebagai juru kuncinya. Setiap ada umat yang hendak sembahyang di kongco maupun Pura Taman Mesir secara umum, Mangku Widiani lah yang dicari lebih dulu.

Yang datang berkunjung, kata Mangku Widiani, bukan saja Tionghoa Bali. Ada juga yang berasal dari Jawa Timur sampai Jakarta. Umat Tri Dharma dan Hindu yang berkunjung ini datang dengan berbagai pengharapan mulai dari masalah kesehatan, rezeki, maupun hal-hal ini sesuai wangsit yang diterima.

Keberadaan kongco di dalam Pura Taman Mesir ini menjadi simbol akulturasi budaya dan toleransi umat beragama di Bali yang sudah berlangsung sejak berabad-abad silam. Simbol akulturasi budaya ini lantas diperkuat dengan keinginan niskala yang diturunkan sekitar tahun 1960-an silam.

“Ida Ratu Gede dan Ida Ratu Lingsir dulunya berstana di Pura Desa, Puseh, lan Dalem Desa Adat Abiansemal. Sekitar tahun 1960-an ketika ayah mertua saya masih menjadi pamangku, Ida Sasuhunan berkeinginan berstana di sini,” jelas Mangku Widiani yang kini bertugas sendiri setelah sang suami wafat tahun 2019.

Keinginan berstana di Pura Taman Mesir ini bermula dari penemuan sarang tawon di dalam sasuhunan yang berwujud barong landung. Pasca peristiwa itu, dilakukan konsultasi secara niskala. Didapatkan petunjuk bahwa Ida Ratu Gede dan Ratu Lingsir ingin pindah ke Pura Taman Mesir yang memiliki kongco berusia tiga abad ini.

Romo San Hoo melihat fenomena niskala ini sangat wajar lantaran bagaimanapun barong landung merupakan perwujudan Raja Jayapangus dan permaisurinya yang berasal dari Tiongkok yakni Kang Cing Wie. Adanya keterkaitan energi kongco dengan Ida Ratu Gede dan Ratu Lingsir ini akhirnya menyatukan keduanya di tempat yang sama.

Berstananya Ida Ratu Gede dan Ratu Lingsir di Pura Taman Mesir menjadikan pura ini dikelola oleh banjar, tidak lagi eksklusif dimiliki Puri Abiansemal seperti di masa lalu. Kemudian, ditambah lagi adanya aktivitas tersendiri yang biasa dilaksanakan umat Tri Dharma ketika Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. 7 ol1

Komentar