Cairkan Dana Bencana, Pemprov Minta Fatwa ke BPK dan Kejaksaan
Pemprov Bali minta fatwa ke BPK dan kejaksaan, terkait pencairan dana bencana Rp 4,5 miliar yang terbentur Permendagri Nomor 21 Tahun 2011.
Jumlah Pengungsi Tembus 75.673 Jiwa
DENPASAR, NusaBali
Masalahnya, sesuai Prmedagri, dana bencana yang diplot dalam APBD Bali 2017 itu baru bisa dicairkan setelah Gunung Agung meletus alias ada penetapan tanggap darurat.
Kepala Inspektorat Provinsi Bali, I Ketut Teneng, mengatakan Pemprov Bali sudah bersurat kepada BPK dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali untuk mengawal sekaligus minta fatwa pencairan dana bencana. “Supaya tidak salah ambil langkah, karena menyangkut aturan,” ujar Ketut Teneng di Denpasar, Selasa (26/9).
Hanya saja, kata Teneng, sejauh ini pihaknya belum mendapat jawaban dari BPK dan kejaksaan terkait fatwa pencairan dana bencana untuk korban Gunung Agung tersebut. Jika nanti sudah ada jawaban dari BPK dan kejaksaan, barulah Pemprov Bali akan melakukan langkah-langkah. “Buat sementara maksimalkan dulu bantuan spontan yang sudah digalang,” katanya.
Sedangkan Kepala Biro Keuangan dan Pengelolaan Aset Daerah Setda Provinsi Bali, Ida Bagus Ngurah Arda, mengatakan pihaknya tetap menunggu status tanggap darurat yang ditetapkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Menurut Ngurah Arda, pihaknya mengacu Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah untuk biaya kebutuhan tanggap daurat. Sesuai Permendagri 21/2011, dana bencana yang sejatinya te-lah dialokasikan melalui APBD Bali 2017 tersebut baru bisa dicairkan kalau Gunung Agung sudah meletus.
“Menunggu status tanggap darurat oleh kepala daerah saja,” ujar Ngurah Arda saat dikonfirmasi NusaBali terpisah, Selasa kemarin. Ngurah Arda menyebutkan, Biro Keuangan bisa mencairkan dana bencana Rp 4,5 miliar hanya dalam sehari, sepanjang sudah ada pengajuan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) leading sector dengan dasar penetapan tanggap darurat.
“Kami tidak butuh lama kalau mencairkan dana bencana. Tapi, dasarnya ada pengajuan dari OPD leading sector. Sampai saat ini, dana bencana memang tidak bisa dicairkan karena adanya Permendagri 21 Tahun 2011 itu,” jelas mantan Penjabat Bupati Karangasem Juli 2015 hingga Februari 2016 ini.
Sejauh ini, status tanggap darurat belum ditetapkan Gubernur Bali, meskipun Gunung Agung sudah berstatus level IV (awas) sejak Jumat (22/9) malam. Masalahnya, tidak ada dasar untuk penetapan tanggap darurat, lantaran Gunung Agung belum meletus. “Saat ini masih berstatus siaga bencana,” katanya.
Di sisi lain, Presiden Jokowi serahkan bantuan logistik senilai Rp 7,2 miliar kepada pengungsi korban bencana Gunung Agung yang disalurkan ke kantong-kantong pe-ngungsian. Menurut Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat, bantuan logistik itu berupa matras sebanyak 18.230 lembar, masker 520.000 lembar, beras 12 ton, ember 2.000 buah, gayung 2.000 buah, dan perlengkapan bayi sebanyak 1.100 paket.
"Besarnya bantuan ini merupakan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap para pengungsi terkait erupsi Gunung Agung," papar Harry Hikmat di Klungkung, Selasa kemarin. Menurut Harry, Kemenses juga sudah menyalurkan berbagai bantuan logistik untuk pengungsi Gunung Agung senilai Rp 4,8 miliar. Bantuan tersebut berupa bahan makanan, tenda, dan perlengkapan pengungsian lainnya.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan warga korban bencana Gunung Agung dari Karangasem yang telah mengungsi hingga Selasa siang pukul 12.00 Wita mencapai 75.673 jiwa. Mereka mengungsur tersebar di 377 titik di 9 kabupaten/kota se-Bali.
"Kami perkirakan data jumlah pengungsi masih akan bertambah karena pendataan terus dilakukan," ungkap Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, saat dihubungi Antara dari Denpasar. Menurut Sutopo, sejauh ini jumlah pengungsi sudah tembus 75.673 jiwa. Terbanyak mengungsi di wilayah Kabupaten Karangasem yakni 37.812 jiwa, disusul di Klungkung (19.456 jiwa), dan Buleleng (8.518 jiwa).
Sutopo mengakui sulit menentukan jumlah penduduk secara pasti. Sebab, data penduduk menggunakan basis administrasi desa, sedangkan data radius menggunakan batas daerah berbahaya letusan Gunung Agung. "Batas radius berbahaya itu mudah terlihat di peta. Di lapangan tidak nampak. Di lapangan masyarakat tidak tahu mereka tinggal di dalam radius berapa. Inilah yang menyebabkan masyarakat yang tinggal di luar garis radius berbahaya pun ikut mengungsi." *nat
Komentar