Merasa Nyaman Tetap Mengungsi di Areal Setra
128 jiwa dari 32 KK asal Desa Muncan selama ini mengungsi di areal Setra Desa Pakraman Nongan sejak Gunung Agung naik status Awas, 22 September 2017. Kesehariannya, kaum istri mencari nafkah dengan menganyam tikar dari bambu di pengungsian
Desanya Tak Masuk Radius Bahaya 6 Km, 32 KK Pengungsi Enggan Pulang
AMLAPURA, NusaBali
Ada 32 kepala keluarga (KK) beranggotakan 128 jiwa asal Desa Muncan, Kecamatan Selat, Karangasem yang selama ini mengungsi di areal Setra Desa Pakraman Nongan, Kecamatan Rendang, Karangasem sejak status Gunung Agung naik status Awas, 22 September 2017 lalu. Meski desanya kini tidak lagi masuk zona bahasa radius 6 kilometer dari kawah Gunung Agung, mereka enggan pulang kampung. Pasalnya, mereka justru merasa nyaman tinggal di areal setra (kuburan).
Pengungsi berjumlah 128 jiwa dari 32 KK asal Desa Muncan yang mengungsi di aresl setra kawasan Banjar Ambengan, Desa Nongan ini terdiri dari 61 laki-laki dan 67 wanita, termasuk 7 balita dan 12 usia lanjut (lansia). Mereka tiap malam tidur di bangunan wantilan yang berada di areal Setra Desa Pakraman Nongan, sehingga aman dari cuaca panas dan hujan. Kebutuhan air sehari-hari mencukupi, apalagi di sana telah dibuat sumur bor. Begitu juga kebutuhan logistik dan pelayanan kesehatan, semua terpenuhi.
Areal Setra Desa Pakraman Nongan sendiri terbagi dua, dibelah oleh jalan raya yang melintang arah timur barat. Wantilan di mana pengungsi tidur, berada di areal setra sebelah selatan jalan. Lokasi ini kerap digunakan untuk upacara ritual membakar jenazah. Sedangkan areal setra sebelah utara jalan yang berisi pohon Beringin besar, juga sering digunakan untuk lokasi upacara ritual membakar jenazah. Karena itu, 128 pengungsi asal Desa Muncan ini biasa disuguhi pemandangan aktivitas membakar jenazah.
"Lokasi pengungsian ini memang berada di areal kuburan. Tapi, selama ini kami tidak pernah merasa khawatir dan mengalami gangguan niskala. Kami bisa tidur nyenyak dan nyaman. Tidurnya seperti di rumah sendiri," tutur Ni Wayan Sudana, salah satu pengungsi asal Banjar Gunung Biau, Desa Muncan saat ditemui NusaBali di lokasi pengungsian areal Seta Desa Pakraman Nongan, Selasa (9/1).
"Baru-baru ini, sempat ada peristiwa dalam sehari dilakukan tiga kali upacara pembakaran jenazah di setra ini. Tapi, kami tidak merasa terganggu. Malamnya, ya biasa saja, tetap bisa tidur nyenyak," sambung Ni Made Merta, pengungsi lainnya asal Banjar Gede, Desa Muncan.
Yang terpenting, kata Made Merta, setiap hari mereka mesti rutin mabanten (haturkan sesaji), agar penunggu niskala Setra Desa Pakraman Nongan merasa nyaman dan tidak menggangu pengungsi.
Pengungsi asal berbagai bender dari Desa Muncan itu sendiri sudah mengungsi di areal Setra Desa Pakraman Nongan, sejak 22 September 2017 lalu. Mereka sempat pulang selama beberapa pekan. Namun, mereka kembali harus mengungsi, menyusul erupsi Gunung Agung, November 2017. Sampai saat ini, mereka tetap bertahan di pengungsian. Mereka enggan pulang, meskipun Desa Muncan sudah berada di luar zona berbahaya Gunung Agung.
Selama hampir 4 bulan mengungsi, kaum laki-laki biasanya pulang ke Desa Muncan siang harinya, untuk menyabit rumput buat pakan ternak sapi. Sorenya, mereka kembali balik ke tempat pengungsian. Kebetulan, jarak antara Desa Muncan dengan lokasi pengungsian di Setra Desa Pakraman Nongan tidak terlalu jauh, hanya 6 kilometer.
Sebaliknya, kaum perempuan siang harinya tetap bertahan di lokasi pengunsian areal setra. Mereka mengais rezeki dengan mengayam bamu untuk dijadikan tikar. Hanya dengan bermodalkan sebatang bambu yang dibeli dengan harga Rp 10.000, bisa dibuat 10 lembar tikar ukuran 1 meter x 1 meter, yang dijual Rp 4.000 per lembar.
Menurut Ni Wayan Sudana, salah satu pengungsi yang biasa menyanyam tikar di lokasi pengungsian, 10 lembar tikar yang terjual total Rp 40.000 biasanya dikerjakan selama 4 hari seorang diri. "Jadi, kami dapat hasil Rp 30.000 untuk sebatang bambu yang dikerjakan menjadi anyaman tikar selama 4 hari. Hasil yang kami dapat rata-rata hanya Rp 7.500 sehari. Itu habis untuk beli kopi dan kebutuhan lainnya," cerita Wayan Sudana.
Wayan Sudana mengatakan, pihaknya membeliu bambu di dekat lokasi pengungsian. Dia harus menebang sendiri bambu yang dibeli Rp 10.000 per batang tersebut. Selanjutnya, bambu dikupas dan ditata sedemikian rupa, sehingga bisa dijadikan anyaman tikar. "Kami tak perlu menjual tikar ke pasar, karena pembeli datang langsung ke sini (lokasi pengungsian),” cerita ibu 5 anak yang telah dikaruniai 2 cucu ini. *k16
AMLAPURA, NusaBali
Ada 32 kepala keluarga (KK) beranggotakan 128 jiwa asal Desa Muncan, Kecamatan Selat, Karangasem yang selama ini mengungsi di areal Setra Desa Pakraman Nongan, Kecamatan Rendang, Karangasem sejak status Gunung Agung naik status Awas, 22 September 2017 lalu. Meski desanya kini tidak lagi masuk zona bahasa radius 6 kilometer dari kawah Gunung Agung, mereka enggan pulang kampung. Pasalnya, mereka justru merasa nyaman tinggal di areal setra (kuburan).
Pengungsi berjumlah 128 jiwa dari 32 KK asal Desa Muncan yang mengungsi di aresl setra kawasan Banjar Ambengan, Desa Nongan ini terdiri dari 61 laki-laki dan 67 wanita, termasuk 7 balita dan 12 usia lanjut (lansia). Mereka tiap malam tidur di bangunan wantilan yang berada di areal Setra Desa Pakraman Nongan, sehingga aman dari cuaca panas dan hujan. Kebutuhan air sehari-hari mencukupi, apalagi di sana telah dibuat sumur bor. Begitu juga kebutuhan logistik dan pelayanan kesehatan, semua terpenuhi.
Areal Setra Desa Pakraman Nongan sendiri terbagi dua, dibelah oleh jalan raya yang melintang arah timur barat. Wantilan di mana pengungsi tidur, berada di areal setra sebelah selatan jalan. Lokasi ini kerap digunakan untuk upacara ritual membakar jenazah. Sedangkan areal setra sebelah utara jalan yang berisi pohon Beringin besar, juga sering digunakan untuk lokasi upacara ritual membakar jenazah. Karena itu, 128 pengungsi asal Desa Muncan ini biasa disuguhi pemandangan aktivitas membakar jenazah.
"Lokasi pengungsian ini memang berada di areal kuburan. Tapi, selama ini kami tidak pernah merasa khawatir dan mengalami gangguan niskala. Kami bisa tidur nyenyak dan nyaman. Tidurnya seperti di rumah sendiri," tutur Ni Wayan Sudana, salah satu pengungsi asal Banjar Gunung Biau, Desa Muncan saat ditemui NusaBali di lokasi pengungsian areal Seta Desa Pakraman Nongan, Selasa (9/1).
"Baru-baru ini, sempat ada peristiwa dalam sehari dilakukan tiga kali upacara pembakaran jenazah di setra ini. Tapi, kami tidak merasa terganggu. Malamnya, ya biasa saja, tetap bisa tidur nyenyak," sambung Ni Made Merta, pengungsi lainnya asal Banjar Gede, Desa Muncan.
Yang terpenting, kata Made Merta, setiap hari mereka mesti rutin mabanten (haturkan sesaji), agar penunggu niskala Setra Desa Pakraman Nongan merasa nyaman dan tidak menggangu pengungsi.
Pengungsi asal berbagai bender dari Desa Muncan itu sendiri sudah mengungsi di areal Setra Desa Pakraman Nongan, sejak 22 September 2017 lalu. Mereka sempat pulang selama beberapa pekan. Namun, mereka kembali harus mengungsi, menyusul erupsi Gunung Agung, November 2017. Sampai saat ini, mereka tetap bertahan di pengungsian. Mereka enggan pulang, meskipun Desa Muncan sudah berada di luar zona berbahaya Gunung Agung.
Selama hampir 4 bulan mengungsi, kaum laki-laki biasanya pulang ke Desa Muncan siang harinya, untuk menyabit rumput buat pakan ternak sapi. Sorenya, mereka kembali balik ke tempat pengungsian. Kebetulan, jarak antara Desa Muncan dengan lokasi pengungsian di Setra Desa Pakraman Nongan tidak terlalu jauh, hanya 6 kilometer.
Sebaliknya, kaum perempuan siang harinya tetap bertahan di lokasi pengunsian areal setra. Mereka mengais rezeki dengan mengayam bamu untuk dijadikan tikar. Hanya dengan bermodalkan sebatang bambu yang dibeli dengan harga Rp 10.000, bisa dibuat 10 lembar tikar ukuran 1 meter x 1 meter, yang dijual Rp 4.000 per lembar.
Menurut Ni Wayan Sudana, salah satu pengungsi yang biasa menyanyam tikar di lokasi pengungsian, 10 lembar tikar yang terjual total Rp 40.000 biasanya dikerjakan selama 4 hari seorang diri. "Jadi, kami dapat hasil Rp 30.000 untuk sebatang bambu yang dikerjakan menjadi anyaman tikar selama 4 hari. Hasil yang kami dapat rata-rata hanya Rp 7.500 sehari. Itu habis untuk beli kopi dan kebutuhan lainnya," cerita Wayan Sudana.
Wayan Sudana mengatakan, pihaknya membeliu bambu di dekat lokasi pengungsian. Dia harus menebang sendiri bambu yang dibeli Rp 10.000 per batang tersebut. Selanjutnya, bambu dikupas dan ditata sedemikian rupa, sehingga bisa dijadikan anyaman tikar. "Kami tak perlu menjual tikar ke pasar, karena pembeli datang langsung ke sini (lokasi pengungsian),” cerita ibu 5 anak yang telah dikaruniai 2 cucu ini. *k16
Komentar