MUTIARA WEDA : Perhatikan Kata-katamu !
Ada empat yang tidak patut muncul dari perkataan, yakni perkataan yang jahat, kasar, memfitnah, dan berbohong.
Nyang tanpa prawrttyaning, wak, pat kwehnya, pratyekanya,
ujar ahala, ujar aprgas, ujar picuna, ujar mithya.
(Sarasamucchaya, 75)
Menurut Sarasamucchaya, berkata-kata jangan sampai menyakiti orang yang mendengarnya. Kata-kata yang terucap mesti memberi kesejukan hati. Jangan sampai ada sedikit pun kata yang terucap dapat melukai perasaan orang lain. Sedikit saja kata-kata yang terlontar salah, orang bisa terluka sepanjang hidupnya. Untuk itu, kontrol terhadap apa yang dikatakan sangat penting. Teks di atas menganjurkan paling tidak ada empat hal yang harus diperhatkan ketika berbicara agar jangan sampai orang lain sakit hati, yakni berkata jahat, kasar, mengandung fitnah, dan bohong. Setiap saat disarankan agar senantiasa menimbang perkataan yang keluar agar jangan sampai mengandung keempat komponen tersebut.
Yang masuk dalam kategoti perkataan jahat adalah kata-kata yang menyimpang dari jalur dharma. Kata-kata jahat sering diucapkan dengan sangat manis, tetapi di balik rasa manis tersebut tersimpan racun yang mematikan. Seperti halnya Sakuni berbicara kepada Duryodana, perkataannya manis, tetapi mengandung efek yang buruk. Orang yang hipokrit tergolong suka berbicara jahat. Orang jahat biasanya berbicara manis, tetapi kata-kata manis itu berupaya untuk mengelabuhi orang lain agar rencana jahatnya tidak diketahui.
Kedua, berkata kasar juga harus dihindari, sebab sebaik apapun maksud seseorang tetapi ketika disampaikan dengan kata-kata kasar bisa berubah menjadi bencana. Secara naluri orang tidak bisa dikasari walaupun umpamanya dia sedang salah. Menyalahkan orang dengan kata-kata kasar tidak akan membuat orang tersebut simpati dan menyadari kesalahannya, melainkan justru berbalik membenarkan apa yang dilakukannya. Awalnya dia hendak meminta maaf, tetapi oleh karena mendapat perlakuan kasar, di hatinya merasa tidak perlu untuk meminta maaf dan bahkan berniat untuk balas dendam dan melakukan kesalahan yang lebih besar.
Ketiga, fitnah, adalah hal yang paling keji dibandingkan yang lain. Fitnah bisa mencelakai orang yang tidak berdosa sama sekali. Bila dilihat di lapangan, walaupun fitnah lebih keji dibandingkan kata-kata kasar, tindakan ini lebih sering dilakukan oleh orang-orang baik sadar maupun tidak sadar. Tradisi gosip merupakan ladang basah dari fitnah itu sendiri, dan ini dilakukan oleh orang dari berbagai kalangan. Orang lebih senang menggosip berjam-jam ketimbang diskusi tentang permasalahan-permasalahan kehidupan. Sangat asyik sekali rasanya ketika seseorang dapat menjelaskan secara detail kejelekan dan kesalahan orang, apalagi kejelekan dan kesalahan tersebut dapat dibumbui sehingga tampak sedap didengar.
Terakhir, kata-kata hendaknya jangan sampai berbohong. Sebenarnya berbohong memiliki kenikmatannya sendiri. Banyak orang yang menikmati kebohongannya. Orang psikopat sangat menikmati ketika dia berkata bohong. Ia tidak merasa bersalah dan bahkan menikmati proses tersebut. Namun, ada juga orang dalam kadar tertentu dia harus berbohong untuk menutupi kelemahan atau keburukannya sendiri. Selebihnya ketika tidak menyangkut reputasinya sendiri, dia bisa berkata apa adanya. Sebagian besar dari kita sering melakukannya dan bahkan menikmatinya. Misalnya, ketika kita berjanji dengan orang, tetapi kita telat dari waktu yang telah disepakati, walaupun kita masih di rumah dan baru siap-siap berangkat, kita bilang kepada orang itu bahwa kita sudah ada di jalan dan akan segera sampai.
Demikianlah keempat hal yang harus dihindari dari konten perkataan kita sehari-hari. Tapi, siapakah yang bisa demikian? Apa nikmatnya jika kita bicara tanpa konten tersebut? Jika kita membicarakan apapun sesuai dengan fakta dan data, bukanlah itu lebih berbahaya? Bukankah lebih baik kita berbohong ketika itu diperlukan? Apakah kata-kata tidak baik tersebut yang menjadi kunci pokok atau hasilnya yang sebenarnya diinginkan? Kita tidak bisa menjawabnya, sebab selama ini antara ajaran dengan realita sering berjalan tidak seiring. Ajaran biasanya lurus, tetapi kehidupan tidak pernah lurus. Memaksakan agar jalan menjadi lurus sesuai ajaran itu tentu sangat merepotkan dan secara insting, orang tidak pernah mau repot. Jika diperlukan untuk berbohong atau berkata kasar, maka orang akan dengan senang hati melakukannya. Apalagi orang yang punya penyakit yang bisa menikmati kata-kata kasar yang dilontarkannya ketika marah, dia akan memberikan seribu satu dalih untuk membenarkan kata-kata kasar tersebut.
I Gede Suwantana,
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Sarasamucchaya, 75)
Menurut Sarasamucchaya, berkata-kata jangan sampai menyakiti orang yang mendengarnya. Kata-kata yang terucap mesti memberi kesejukan hati. Jangan sampai ada sedikit pun kata yang terucap dapat melukai perasaan orang lain. Sedikit saja kata-kata yang terlontar salah, orang bisa terluka sepanjang hidupnya. Untuk itu, kontrol terhadap apa yang dikatakan sangat penting. Teks di atas menganjurkan paling tidak ada empat hal yang harus diperhatkan ketika berbicara agar jangan sampai orang lain sakit hati, yakni berkata jahat, kasar, mengandung fitnah, dan bohong. Setiap saat disarankan agar senantiasa menimbang perkataan yang keluar agar jangan sampai mengandung keempat komponen tersebut.
Yang masuk dalam kategoti perkataan jahat adalah kata-kata yang menyimpang dari jalur dharma. Kata-kata jahat sering diucapkan dengan sangat manis, tetapi di balik rasa manis tersebut tersimpan racun yang mematikan. Seperti halnya Sakuni berbicara kepada Duryodana, perkataannya manis, tetapi mengandung efek yang buruk. Orang yang hipokrit tergolong suka berbicara jahat. Orang jahat biasanya berbicara manis, tetapi kata-kata manis itu berupaya untuk mengelabuhi orang lain agar rencana jahatnya tidak diketahui.
Kedua, berkata kasar juga harus dihindari, sebab sebaik apapun maksud seseorang tetapi ketika disampaikan dengan kata-kata kasar bisa berubah menjadi bencana. Secara naluri orang tidak bisa dikasari walaupun umpamanya dia sedang salah. Menyalahkan orang dengan kata-kata kasar tidak akan membuat orang tersebut simpati dan menyadari kesalahannya, melainkan justru berbalik membenarkan apa yang dilakukannya. Awalnya dia hendak meminta maaf, tetapi oleh karena mendapat perlakuan kasar, di hatinya merasa tidak perlu untuk meminta maaf dan bahkan berniat untuk balas dendam dan melakukan kesalahan yang lebih besar.
Ketiga, fitnah, adalah hal yang paling keji dibandingkan yang lain. Fitnah bisa mencelakai orang yang tidak berdosa sama sekali. Bila dilihat di lapangan, walaupun fitnah lebih keji dibandingkan kata-kata kasar, tindakan ini lebih sering dilakukan oleh orang-orang baik sadar maupun tidak sadar. Tradisi gosip merupakan ladang basah dari fitnah itu sendiri, dan ini dilakukan oleh orang dari berbagai kalangan. Orang lebih senang menggosip berjam-jam ketimbang diskusi tentang permasalahan-permasalahan kehidupan. Sangat asyik sekali rasanya ketika seseorang dapat menjelaskan secara detail kejelekan dan kesalahan orang, apalagi kejelekan dan kesalahan tersebut dapat dibumbui sehingga tampak sedap didengar.
Terakhir, kata-kata hendaknya jangan sampai berbohong. Sebenarnya berbohong memiliki kenikmatannya sendiri. Banyak orang yang menikmati kebohongannya. Orang psikopat sangat menikmati ketika dia berkata bohong. Ia tidak merasa bersalah dan bahkan menikmati proses tersebut. Namun, ada juga orang dalam kadar tertentu dia harus berbohong untuk menutupi kelemahan atau keburukannya sendiri. Selebihnya ketika tidak menyangkut reputasinya sendiri, dia bisa berkata apa adanya. Sebagian besar dari kita sering melakukannya dan bahkan menikmatinya. Misalnya, ketika kita berjanji dengan orang, tetapi kita telat dari waktu yang telah disepakati, walaupun kita masih di rumah dan baru siap-siap berangkat, kita bilang kepada orang itu bahwa kita sudah ada di jalan dan akan segera sampai.
Demikianlah keempat hal yang harus dihindari dari konten perkataan kita sehari-hari. Tapi, siapakah yang bisa demikian? Apa nikmatnya jika kita bicara tanpa konten tersebut? Jika kita membicarakan apapun sesuai dengan fakta dan data, bukanlah itu lebih berbahaya? Bukankah lebih baik kita berbohong ketika itu diperlukan? Apakah kata-kata tidak baik tersebut yang menjadi kunci pokok atau hasilnya yang sebenarnya diinginkan? Kita tidak bisa menjawabnya, sebab selama ini antara ajaran dengan realita sering berjalan tidak seiring. Ajaran biasanya lurus, tetapi kehidupan tidak pernah lurus. Memaksakan agar jalan menjadi lurus sesuai ajaran itu tentu sangat merepotkan dan secara insting, orang tidak pernah mau repot. Jika diperlukan untuk berbohong atau berkata kasar, maka orang akan dengan senang hati melakukannya. Apalagi orang yang punya penyakit yang bisa menikmati kata-kata kasar yang dilontarkannya ketika marah, dia akan memberikan seribu satu dalih untuk membenarkan kata-kata kasar tersebut.
I Gede Suwantana,
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar