BI Bantah Terlambat Naikkan Suku Bunga Acuan
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo membantah anggapan yang menyebutkan Bank Sentral terlambat menaikkan suku bunga acuan (behind the curve) sehingga nilai tukar rupiah pada Jumat (18/5) tetap bergerak melemah.
JAKARTA, NusaBali
Agus mengatakan rupiah yang masih depresiatif pada Jumat karena tekanan eskternal yang semakin besar karena ekspetasi kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve, Bank Sentral AS pada Juni 2018 yang akhirnya mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun.
Kemudian juga tekanan ekonomi internal karena membengkaknya defisit perdagangan hingga 1,6 miliar dolar AS periode April 2018. "Jadi kalau ada tekanan di rupiah, kami lihat ini sesuatu yang dalam hal karena faktor eksternal dan juga faktor internal," ujar Agus. Agus menegaskan langkah yang diambil BI selalu selangkah lebih maju ke depan atau ahead the curve untuk mengantisipasi tekanan terhadap inflasi dan stabilitas perekonomian domestik.
Kenaikan suku bunga acuan ‘7-Day Reverse Repo Rate’ pada Rapat Dewan Gubernur 16-17 Mei 2018 kemarin, kata Agus, karena tekanan eksternal yang semakin deras dan bisa mengganggu pencapaian sasaran inflasi jika tidak direspons dengan kenaikan suku bunga acuan. "Di Mei 2018, kita lihat eksternal ada kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS, US Treasury, tensi perdagangan antara AS dan China, keluarnya AS dari kesepakatan nuklir. Dan kalau kita lihat, sebenarnya inflasi sesuai arahan kita hingga Mei di 2,5-4,5 persen (yoy), tapi kita mau jaga inflasi kita stabiltas agar terus terjaga," ujar dia.
Agus menegaskan arah kebijakan moneter BI saat ini adalah netral. Namun, kata Agus, Bank Sentral siap menerapkan langkah kebijakan moneter yang lebih kuat termasuk penyesuaian kembali suku bunga acuan untuk memastikan stabilitas perekonomian terjaga. "Kalau seandainya kita keluarkan bauran kebijakan seperti sekarang ini, kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian, maka kami tidak ragu," kata Agus.
Setelah BI menaikkan suku bunga acuan pada Kamis (17/5) sebesar 0,25 persen menjadi 4,5 persen, nilai tukar rupiah belum menunjukkan penguatan. Nilai rupiah pada Jumat pagi yang ditransaksikan antarbank melemah sebesar 61 poin menjadi Rp14.106 dibanding posisi sebelumnya Rp14.045 per dolar AS. Kurs Acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang diumumkan BI juga menunjukkan rupiah melemah menjadi Rp14.107 per dolar AS pada Jumat ini dibanding Kamis (17/5) yang sebesar Rp14.074 per dolar AS.
Di tempat terpisah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan peningkatan suku bunga acuan ‘7-Day Reverse Repo Rate’ sebesar 25 basis poin oleh Bank Indonesia tidak otomatis turut menaikkan tingkat bunga kredit perbankan. "Tidak otomatis juga naik tingkat bunga kredit, kalaupun naik tidak proposional. Naik 0,25 (persen), ya sana tidak harus naik 0,25," kata Darmin ditemui di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (18/5).
Mantan gubernur Bank Indonesia tersebut juga menyatakan bahwa negara-negara lain juga sedang dalam tahap menaikkan suku bunga. "Di awalnya bisa seperti biasa, tetapi kalau nanti perkembangannya di manapun bunganya naik pasti akan menyesuaikan diri," ucap Darmin.
Sementara untuk mengawal dampak suku bunga ke pertumbuhan ekonomi, pemerintah mendorong hal tersebut melalui penyederhanaan perizinan dan insentif fiskal. "Kami sudah siapkan, dan tinggal diluncurkan saja dalam beberapa hari lagi. Artinya pemerintah sudah menyiapkan diri," kata Darmin.
Sebelumnya, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan ‘7-Day Reverse Repo Rate’ sebesar 25 basis poin menjadi 4,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur, 16-17 Mei 2018, untuk meredam dampak ketidakpastian ekonomi global yang telah menggerus nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir. *ant
Agus mengatakan rupiah yang masih depresiatif pada Jumat karena tekanan eskternal yang semakin besar karena ekspetasi kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve, Bank Sentral AS pada Juni 2018 yang akhirnya mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun.
Kemudian juga tekanan ekonomi internal karena membengkaknya defisit perdagangan hingga 1,6 miliar dolar AS periode April 2018. "Jadi kalau ada tekanan di rupiah, kami lihat ini sesuatu yang dalam hal karena faktor eksternal dan juga faktor internal," ujar Agus. Agus menegaskan langkah yang diambil BI selalu selangkah lebih maju ke depan atau ahead the curve untuk mengantisipasi tekanan terhadap inflasi dan stabilitas perekonomian domestik.
Kenaikan suku bunga acuan ‘7-Day Reverse Repo Rate’ pada Rapat Dewan Gubernur 16-17 Mei 2018 kemarin, kata Agus, karena tekanan eksternal yang semakin deras dan bisa mengganggu pencapaian sasaran inflasi jika tidak direspons dengan kenaikan suku bunga acuan. "Di Mei 2018, kita lihat eksternal ada kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS, US Treasury, tensi perdagangan antara AS dan China, keluarnya AS dari kesepakatan nuklir. Dan kalau kita lihat, sebenarnya inflasi sesuai arahan kita hingga Mei di 2,5-4,5 persen (yoy), tapi kita mau jaga inflasi kita stabiltas agar terus terjaga," ujar dia.
Agus menegaskan arah kebijakan moneter BI saat ini adalah netral. Namun, kata Agus, Bank Sentral siap menerapkan langkah kebijakan moneter yang lebih kuat termasuk penyesuaian kembali suku bunga acuan untuk memastikan stabilitas perekonomian terjaga. "Kalau seandainya kita keluarkan bauran kebijakan seperti sekarang ini, kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian, maka kami tidak ragu," kata Agus.
Setelah BI menaikkan suku bunga acuan pada Kamis (17/5) sebesar 0,25 persen menjadi 4,5 persen, nilai tukar rupiah belum menunjukkan penguatan. Nilai rupiah pada Jumat pagi yang ditransaksikan antarbank melemah sebesar 61 poin menjadi Rp14.106 dibanding posisi sebelumnya Rp14.045 per dolar AS. Kurs Acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang diumumkan BI juga menunjukkan rupiah melemah menjadi Rp14.107 per dolar AS pada Jumat ini dibanding Kamis (17/5) yang sebesar Rp14.074 per dolar AS.
Di tempat terpisah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan peningkatan suku bunga acuan ‘7-Day Reverse Repo Rate’ sebesar 25 basis poin oleh Bank Indonesia tidak otomatis turut menaikkan tingkat bunga kredit perbankan. "Tidak otomatis juga naik tingkat bunga kredit, kalaupun naik tidak proposional. Naik 0,25 (persen), ya sana tidak harus naik 0,25," kata Darmin ditemui di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (18/5).
Mantan gubernur Bank Indonesia tersebut juga menyatakan bahwa negara-negara lain juga sedang dalam tahap menaikkan suku bunga. "Di awalnya bisa seperti biasa, tetapi kalau nanti perkembangannya di manapun bunganya naik pasti akan menyesuaikan diri," ucap Darmin.
Sementara untuk mengawal dampak suku bunga ke pertumbuhan ekonomi, pemerintah mendorong hal tersebut melalui penyederhanaan perizinan dan insentif fiskal. "Kami sudah siapkan, dan tinggal diluncurkan saja dalam beberapa hari lagi. Artinya pemerintah sudah menyiapkan diri," kata Darmin.
Sebelumnya, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan ‘7-Day Reverse Repo Rate’ sebesar 25 basis poin menjadi 4,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur, 16-17 Mei 2018, untuk meredam dampak ketidakpastian ekonomi global yang telah menggerus nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir. *ant
Komentar