Memaknai Api, Sekaa Tembang Girang Kota Denpasar Bawakan Filosofi Prapen
Generasi muda zaman sekarang mungkin sudah tidak tahu alat-alat kuno zaman dulu. Berkaitan dengan tema Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 tentang api, yakni Teja Dharmaning Kauripan, Widya Sabha Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, mengenalkan kembali alat-alat Prapen yang pembuatannya menggunakan api.
DENPASAR, NusaBali
Pesan mengarahkan fungsi api baik di dalam maupun di luar diri ditampilkan dalam lomba tembang girang berjudul ‘Pauman’ di Kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Kamis (5/7).Prapen berasal dari kata perapian. Ada tiga unsur utama dalam prapen yaitu air, api dan angin. Pemuputan adalah sumber udara yang menentukan hidup matinya api yang ada di prapen, paon adalah intinya yaitu tempatnya api dan bahan-bahan dipanaskan kemudian dilanjutkan dengan penempaan dan yang terakhir adalah penyepuhan yang isinya adalah air yang membuat ketajaman itu terjadi.
Ketiga unsur itu sebagai simbol Dewa Trimurti (Iswara, Brahma dan Wisnu). Iswara dalam bentuk penglampusan atau pemuputan sebagai roh atau jiwa di prapen dilihat dari kata dasar lampus atau puput yang berarti mati. Dalam pengoprasiannya membutuhkan konsentrasi dan pranayama untuk menjaga keseimbangan udara kanan dan kiri yang menjaga tingkat kepanasan bara api yang membutuhkan. Disesuaikan dengan tekstur besi agar bisa mentah ditempa sesuai karya yang diinginkan.
Ketiga unsur dalam prapen itu diperlihatkan kembali di hadapan penonton. Menurut pembina Sekaa Tembang Girang, I Gede Anom Ranuara, ketiganya berfungsi untuk memanfaatkan api dengan baik, sehingga produk yang dihasilkan seperti pisau dan peralatan sejenisnya pun pun juga baik.
“Dalam pengoprasiannya membutuhkan konsentrasi dan pranayama untuk menjaga keseimbangan udara kanan dan kiri, kemudian menjaga tingkat kepanasan bara api yang dibutuhkan, disesuaikan dengan tekstur besi,” ungkapnya.
Karakter ini kemudian diterjemahkan untuk memaknai kehidupan. Dalam mendidik anak, tidak bisa hanya dilakukan dengan satu tahap, melainkan bertahap. “Mendidik perlu proses yang bertahap (menempa), untuk mendapatkan ketajaman atau kecerdasan yang kekal (nyepuh), dengan mengarahkan emosional secara positif seimbang (penglampusan atau pemuputan),” ucapnya.
Namun dengan semakin mudahnya hidup, penglampusan/pemuputan sekarang telah diganti dengan kipas angin dan penempaan tidak dibutuhkan lagi karena sudah memakai alat grinda. Jelas ini semata-mata untuk mengejar target hasil produksi yang tanpa mengingat filosofi yang ada dibalik simbol-simbol tersebut. “Inilah mengapa ketika simbol-simbol prapen ini hilang, harus kita sikapi bersama. Begitu juga dalam menyikapi pendidikan masa kini,” ujarnya.
Sekaa Tembang Girang Kota Denpasar menampilkan 7 orang penyaji dan penabuh 15 orang. Untuk penyaji 3 orang bertindak sebagai penembang, 3 orang sebagai peneges dan satu orang sebagai moderator. Mereka beradu suara tembang, wewiletan guru dingdong, raras dan ekspresi untuk hasil yang maksimal. Dalam membina generasi muda, Anom Ranuara mengaku masih menemukan kesulitan bagaimana agar anak-anak menjiwai bahasa Bali. “Yang susah itu bagaimana memberikan jiwa pada bahasa. Sebab anak-anak sekarang jauh lebih meguasai bahasa Indonesia dan asing. Sedangkan bahasa Bali, kalau salah intonasi sedikit saja, maka jadinya akan berbeda. Memasukkan rasa inilah yang masih harus kita tekankan kepada anak-anak,” tandasnya. *ind
Ketiga unsur itu sebagai simbol Dewa Trimurti (Iswara, Brahma dan Wisnu). Iswara dalam bentuk penglampusan atau pemuputan sebagai roh atau jiwa di prapen dilihat dari kata dasar lampus atau puput yang berarti mati. Dalam pengoprasiannya membutuhkan konsentrasi dan pranayama untuk menjaga keseimbangan udara kanan dan kiri yang menjaga tingkat kepanasan bara api yang membutuhkan. Disesuaikan dengan tekstur besi agar bisa mentah ditempa sesuai karya yang diinginkan.
Ketiga unsur dalam prapen itu diperlihatkan kembali di hadapan penonton. Menurut pembina Sekaa Tembang Girang, I Gede Anom Ranuara, ketiganya berfungsi untuk memanfaatkan api dengan baik, sehingga produk yang dihasilkan seperti pisau dan peralatan sejenisnya pun pun juga baik.
“Dalam pengoprasiannya membutuhkan konsentrasi dan pranayama untuk menjaga keseimbangan udara kanan dan kiri, kemudian menjaga tingkat kepanasan bara api yang dibutuhkan, disesuaikan dengan tekstur besi,” ungkapnya.
Karakter ini kemudian diterjemahkan untuk memaknai kehidupan. Dalam mendidik anak, tidak bisa hanya dilakukan dengan satu tahap, melainkan bertahap. “Mendidik perlu proses yang bertahap (menempa), untuk mendapatkan ketajaman atau kecerdasan yang kekal (nyepuh), dengan mengarahkan emosional secara positif seimbang (penglampusan atau pemuputan),” ucapnya.
Namun dengan semakin mudahnya hidup, penglampusan/pemuputan sekarang telah diganti dengan kipas angin dan penempaan tidak dibutuhkan lagi karena sudah memakai alat grinda. Jelas ini semata-mata untuk mengejar target hasil produksi yang tanpa mengingat filosofi yang ada dibalik simbol-simbol tersebut. “Inilah mengapa ketika simbol-simbol prapen ini hilang, harus kita sikapi bersama. Begitu juga dalam menyikapi pendidikan masa kini,” ujarnya.
Sekaa Tembang Girang Kota Denpasar menampilkan 7 orang penyaji dan penabuh 15 orang. Untuk penyaji 3 orang bertindak sebagai penembang, 3 orang sebagai peneges dan satu orang sebagai moderator. Mereka beradu suara tembang, wewiletan guru dingdong, raras dan ekspresi untuk hasil yang maksimal. Dalam membina generasi muda, Anom Ranuara mengaku masih menemukan kesulitan bagaimana agar anak-anak menjiwai bahasa Bali. “Yang susah itu bagaimana memberikan jiwa pada bahasa. Sebab anak-anak sekarang jauh lebih meguasai bahasa Indonesia dan asing. Sedangkan bahasa Bali, kalau salah intonasi sedikit saja, maka jadinya akan berbeda. Memasukkan rasa inilah yang masih harus kita tekankan kepada anak-anak,” tandasnya. *ind
Komentar