Potensi Besar, Bisnis Peternakan Sapi Tertatih-tatih
Potensi bisnis peternakan sapi di Bali, terbilang tinggi. Dengan perkiraan jumlah populasi 500 ribu ekor, nilainya tidak kurang dari Rp 2,5 triliun. Angka yang cukup besar.
DENPASAR, NusaBali
Namun di lapangan, potensi besar tersebut tidak selalu beriringan dengan keuntungan para peternak. Harga sapi yang kerap anjiok dan kesulitan pakan, menjadikan peternak kerap dalam posisi merugi. Makanya bisnis ternak sapi jadi tertatih-tatih. Padahal di satu sisi kebutuhan sapi Bali terbilang tinggi.
I Wayan Mupu, seorang peternak sapi asal Bangli, mengiyakan kondisi yang dialami peternak. “Memang demikian, peternak kerap sulit,” ujar Mupu, Jumat (6/7). Salah satu persoalan klasik yang dialami peternak adalah ketersediaan pakan. Ketika musim kemarau, yang berimbas paceklik rumput dan bahan pakan lainnya, itulah yang menyebabkan petani terpaksa menjual ternaknya. “Karena kebelet seperti itulah, menyebabkan harga sapi jeblok,” ujar Made Kontra, peternak dari Gianyar.
Makanya peternak sapi, sesungguhnya secara bisnis lebih sering ruginya. Demikian juga pada momen permintaan sapi tinggi, seperti jelang hari raya Idul Adha, tidak menjamin harga sapi menguntungkan. Karena justru pada saat itu, kadang pasokan sapi berlebih, sehingga berimbas pada harga. “Itulah kerap yang dihadapi peternak ,” kata Kontra.
Kabid Produksi dan Pembibitan Dinas Peternakan Provinsi Bali I Ketut Nata Kesuma, tidak menampik kondisi yang dialami peternak , dalam hal ini peternak sapi. “Untuk mendapat keuntungan yang cukup tergantung manajemen dan skala usaha,” ujarnya. Semakin banyak jumlah ternak yang dipelihara dan semakin efektif manejemen, tentu keuntunganya semakin besar. Persoalannya, kata Nata Kesuma ternak sapi yang dilakukan masyarakat adalah peternakan rakyat berskala kecil dan sambilan.
Jumlah ternak antara 1-2 ekor saja. Otomatis akses permodalan juga kurang. Harga penjualan juga fluktuatif. “Karenanya kami mendorong peternakan berorientasi profit,” tambahnya. Salah satunya mungkin dengan kemitraan dengan rumah potong (RPH), sehingga harga tidak fluktuatif.
Sebelumnya Pemerintah juga sudah sempat berupaya membantu peternak lewat program sertifikasi induk bibit sapi, lewat program uji performance sekitar tahun 2011 di Sobangan, Badung. Sertifikasi bibit ini, bertujuan memastikan bibit sapi yang akan dibudidayakan merupakan sapi berasal dari induk yang unggul. Tujuannya, memang untuk tetap menjaga mempertahankan stabilitas harga sapi. “Peternak sapi diberi insentif agar, tidak buru-buru jual induk sapi unggul,” ungkapnya. *k17
Namun di lapangan, potensi besar tersebut tidak selalu beriringan dengan keuntungan para peternak. Harga sapi yang kerap anjiok dan kesulitan pakan, menjadikan peternak kerap dalam posisi merugi. Makanya bisnis ternak sapi jadi tertatih-tatih. Padahal di satu sisi kebutuhan sapi Bali terbilang tinggi.
I Wayan Mupu, seorang peternak sapi asal Bangli, mengiyakan kondisi yang dialami peternak. “Memang demikian, peternak kerap sulit,” ujar Mupu, Jumat (6/7). Salah satu persoalan klasik yang dialami peternak adalah ketersediaan pakan. Ketika musim kemarau, yang berimbas paceklik rumput dan bahan pakan lainnya, itulah yang menyebabkan petani terpaksa menjual ternaknya. “Karena kebelet seperti itulah, menyebabkan harga sapi jeblok,” ujar Made Kontra, peternak dari Gianyar.
Makanya peternak sapi, sesungguhnya secara bisnis lebih sering ruginya. Demikian juga pada momen permintaan sapi tinggi, seperti jelang hari raya Idul Adha, tidak menjamin harga sapi menguntungkan. Karena justru pada saat itu, kadang pasokan sapi berlebih, sehingga berimbas pada harga. “Itulah kerap yang dihadapi peternak ,” kata Kontra.
Kabid Produksi dan Pembibitan Dinas Peternakan Provinsi Bali I Ketut Nata Kesuma, tidak menampik kondisi yang dialami peternak , dalam hal ini peternak sapi. “Untuk mendapat keuntungan yang cukup tergantung manajemen dan skala usaha,” ujarnya. Semakin banyak jumlah ternak yang dipelihara dan semakin efektif manejemen, tentu keuntunganya semakin besar. Persoalannya, kata Nata Kesuma ternak sapi yang dilakukan masyarakat adalah peternakan rakyat berskala kecil dan sambilan.
Jumlah ternak antara 1-2 ekor saja. Otomatis akses permodalan juga kurang. Harga penjualan juga fluktuatif. “Karenanya kami mendorong peternakan berorientasi profit,” tambahnya. Salah satunya mungkin dengan kemitraan dengan rumah potong (RPH), sehingga harga tidak fluktuatif.
Sebelumnya Pemerintah juga sudah sempat berupaya membantu peternak lewat program sertifikasi induk bibit sapi, lewat program uji performance sekitar tahun 2011 di Sobangan, Badung. Sertifikasi bibit ini, bertujuan memastikan bibit sapi yang akan dibudidayakan merupakan sapi berasal dari induk yang unggul. Tujuannya, memang untuk tetap menjaga mempertahankan stabilitas harga sapi. “Peternak sapi diberi insentif agar, tidak buru-buru jual induk sapi unggul,” ungkapnya. *k17
Komentar