Rumahnya Dieksekusi, Pemilik Minta Ditembak Mati
Eksekusi bangunan seluas 400 meter persegi di Jalan Imam Bonjol Denpasar, tepatnya di Banjar Mergaya, Desa Pemecutan Kelod, Kecamatan Denpasar Barat, Senin (3/9), berlangsung ricuh.
DENPASAR, NusaBali
Pemilik bangunan, I Nengah Getar, 40, bersama keluarganya minta ditembak mati saja, karena tidak terima ruko dan rumahnya dieksekusi dengan cara dibongkar paksa. Proses eksekusi yang dikawal puluhan polisi berpakaian preman, Senin kemarin, diawali dengan pertemuan antara pemohon Rita Kumar dan kuasa hukumnya, Jacob Antolis, di Kantor Lurah Pemecutan Kelod, sekitar pukul 10.30 Wita. Setengah jam kemudian, pukul 11.00 Wita, Rita Kumar dan Jacob Antolis yang membawa puluhan orang dengan dua truk langsung mendatangi lokasi eksekusi di Jalan Imam Bonjol Denpasar, sebelah dealer Vespa.
Sementara, termohon I Nengah Getar dan keluarganya berjumlah 7 orang yang meng-gunakan pakaian adat madya, sudah menunggu kedatangan pemohon eksekusi. Bangunan yang akan dieksekusi tersebut terdiri dari satu ruko yang disewakan untuk usaha jual baju adat dan dua ruko lainnya untuk usaha bengkel knalpot. Di belakang ruko tersebut ada bangunan rumah yang dijadikan tempat tinggal oleh Nengah Getar dan keluarganya.
Ketika Rita Kumar dan kuasa hukum mendatanginya untuk minta mengosongkan ruko dan rumah yang ditempatinya, Nengah Getar dan keluarganya menolak. Mereka bersikukuh sebagai pemilik bangunan. Pemohon Rita Kumar lalu mengeluarkan sertifikat yang sudah dibalik nama atas nama sendiri, IMB, dan surat-surat lainnya yang menyetakan kepemilikan bangunan ini. “Saya beri waktu 3x15 menit untuk mengosongkan rumah ini. Kalau tidak, kami akan bongkar paksa,” ancam Rita Kumar yang kemarin didampingi suaminya.
Setelah ultimatum itu tidak direspons, puluhan orang yang dibawa pemohon eksekusi mulai masuk ke sekitar bangunan. Nengah Getar dan keluarganya pun melakukan perlawanan, hingga sempat terjadi beberapa kali gesekan. Pada akhirnya, siang sekitar pukul 12.30 Wita, kaca ruko yang disewakan untuk usaha baju adat dipecahkan oleh pihak pemohon eksekusi. Dikomandoi langsung Rita Kumar dan suaminya, puluhan orang tersebut lalu melakukan pembongkaran dua ruko. Seluruh kaca-kaca di ruko tersebut dipecahkan. Rolling door ruko juga dirusak, sementara barang-barang seperti knalpot dikeluarkan dari tiga ruko tersebut.
Nengah Getar dan keluarganya yang kalah jumlah, lalu memilih pasrah ruko dan rumahnya dieksekusi. Bahkan, Nengah Getar dan seorang adiknya sempat duduk di pinggir Jalan Imam Bonjol Denpasar sambil teriak minta ditembak mati, karena tidak terima ruko dan rumahnya dieksekusi. “Tembak saja saya biar mati. Saya tidak terima tanah leluhur saya dibeginikan. Tembak mati saja saya,” teriak Nengah Getar kepada polisi yang hanya melakukan pemantauan saja.
Sementara itu, kuasa hukum pemohon, Jacob Antolis, mengatakan eksekusi ini sudah sesuai dengan penetapan PN Denpasar dan putusan peradilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan beberapa proses hukum, lahan yang ditempati Nengah Getar dan istrinya, Ni Wayan Rame, sudah dieksekusi berdasarkan putusan PN Denpasar tertanggal 8 Juni 2016 dengan No 751/Pdt.G/2015/PN Dps Jo putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tertanggal 23 Januari 2017 No 191/PDT/2016/PT Dps.
Eksekusi telah dilaksanakan 17 Oktober 2017 dan Nengah Getar menyatakan telah setuju serta menerima eksekusi dari PN Denpasar. Nengah Getar juga menyatakan secara hukum telah menyerahkan objek lahan tanah dan bangunan tersebut kepada pemohon eksekusi tanggal 17 oktober 2017. ”Namun, ada permohonan dari termohon eksekusi (Nengah Getar, Red) supaya diberikan waktu 45 hari mengosongkan rumahnya tersebut atau sampai tanggal 2 Desember 2018,” ungkap Jacob, seraya mengatakan surat tersebut ditandatangani di hadapan Lurah Pemecutan Kelod, Kabag Ops Polresta Denpasar, Juru Sita PN Denpasar, dan pejabat lainnya. “Tapi, nyatanya mereka tetap melakukan perlawanan.”
Sebaliknya, termohon Nengah Getar tetap bersikukuh ruko dan rumah tersebut miliknya. Dia mengaku tidak pernah menjual rumah tersebut kepada Rita Kumar. Nengah Getar justru menuding salah satu keluarganya menipu ayahnya, sehigga sertifikat tersebut bisa pindah tangan. “Sekarang masih kami gugat di pengadilan. Tapi, tetap dilakukan eksekusi,” keluh Nengah Getar. *rez
Pemilik bangunan, I Nengah Getar, 40, bersama keluarganya minta ditembak mati saja, karena tidak terima ruko dan rumahnya dieksekusi dengan cara dibongkar paksa. Proses eksekusi yang dikawal puluhan polisi berpakaian preman, Senin kemarin, diawali dengan pertemuan antara pemohon Rita Kumar dan kuasa hukumnya, Jacob Antolis, di Kantor Lurah Pemecutan Kelod, sekitar pukul 10.30 Wita. Setengah jam kemudian, pukul 11.00 Wita, Rita Kumar dan Jacob Antolis yang membawa puluhan orang dengan dua truk langsung mendatangi lokasi eksekusi di Jalan Imam Bonjol Denpasar, sebelah dealer Vespa.
Sementara, termohon I Nengah Getar dan keluarganya berjumlah 7 orang yang meng-gunakan pakaian adat madya, sudah menunggu kedatangan pemohon eksekusi. Bangunan yang akan dieksekusi tersebut terdiri dari satu ruko yang disewakan untuk usaha jual baju adat dan dua ruko lainnya untuk usaha bengkel knalpot. Di belakang ruko tersebut ada bangunan rumah yang dijadikan tempat tinggal oleh Nengah Getar dan keluarganya.
Ketika Rita Kumar dan kuasa hukum mendatanginya untuk minta mengosongkan ruko dan rumah yang ditempatinya, Nengah Getar dan keluarganya menolak. Mereka bersikukuh sebagai pemilik bangunan. Pemohon Rita Kumar lalu mengeluarkan sertifikat yang sudah dibalik nama atas nama sendiri, IMB, dan surat-surat lainnya yang menyetakan kepemilikan bangunan ini. “Saya beri waktu 3x15 menit untuk mengosongkan rumah ini. Kalau tidak, kami akan bongkar paksa,” ancam Rita Kumar yang kemarin didampingi suaminya.
Setelah ultimatum itu tidak direspons, puluhan orang yang dibawa pemohon eksekusi mulai masuk ke sekitar bangunan. Nengah Getar dan keluarganya pun melakukan perlawanan, hingga sempat terjadi beberapa kali gesekan. Pada akhirnya, siang sekitar pukul 12.30 Wita, kaca ruko yang disewakan untuk usaha baju adat dipecahkan oleh pihak pemohon eksekusi. Dikomandoi langsung Rita Kumar dan suaminya, puluhan orang tersebut lalu melakukan pembongkaran dua ruko. Seluruh kaca-kaca di ruko tersebut dipecahkan. Rolling door ruko juga dirusak, sementara barang-barang seperti knalpot dikeluarkan dari tiga ruko tersebut.
Nengah Getar dan keluarganya yang kalah jumlah, lalu memilih pasrah ruko dan rumahnya dieksekusi. Bahkan, Nengah Getar dan seorang adiknya sempat duduk di pinggir Jalan Imam Bonjol Denpasar sambil teriak minta ditembak mati, karena tidak terima ruko dan rumahnya dieksekusi. “Tembak saja saya biar mati. Saya tidak terima tanah leluhur saya dibeginikan. Tembak mati saja saya,” teriak Nengah Getar kepada polisi yang hanya melakukan pemantauan saja.
Sementara itu, kuasa hukum pemohon, Jacob Antolis, mengatakan eksekusi ini sudah sesuai dengan penetapan PN Denpasar dan putusan peradilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan beberapa proses hukum, lahan yang ditempati Nengah Getar dan istrinya, Ni Wayan Rame, sudah dieksekusi berdasarkan putusan PN Denpasar tertanggal 8 Juni 2016 dengan No 751/Pdt.G/2015/PN Dps Jo putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tertanggal 23 Januari 2017 No 191/PDT/2016/PT Dps.
Eksekusi telah dilaksanakan 17 Oktober 2017 dan Nengah Getar menyatakan telah setuju serta menerima eksekusi dari PN Denpasar. Nengah Getar juga menyatakan secara hukum telah menyerahkan objek lahan tanah dan bangunan tersebut kepada pemohon eksekusi tanggal 17 oktober 2017. ”Namun, ada permohonan dari termohon eksekusi (Nengah Getar, Red) supaya diberikan waktu 45 hari mengosongkan rumahnya tersebut atau sampai tanggal 2 Desember 2018,” ungkap Jacob, seraya mengatakan surat tersebut ditandatangani di hadapan Lurah Pemecutan Kelod, Kabag Ops Polresta Denpasar, Juru Sita PN Denpasar, dan pejabat lainnya. “Tapi, nyatanya mereka tetap melakukan perlawanan.”
Sebaliknya, termohon Nengah Getar tetap bersikukuh ruko dan rumah tersebut miliknya. Dia mengaku tidak pernah menjual rumah tersebut kepada Rita Kumar. Nengah Getar justru menuding salah satu keluarganya menipu ayahnya, sehigga sertifikat tersebut bisa pindah tangan. “Sekarang masih kami gugat di pengadilan. Tapi, tetap dilakukan eksekusi,” keluh Nengah Getar. *rez
Komentar