Benteng Terakhir Bali
Sesungguhnya tak sejengkal pun tanah di Bali lepas dari wilayah desa adat.
Gubuk di lereng bukit, vila di tepi pantai, tanah tempat kates dan bayam tumbuh di pekarangan, atau kolam renang hotel bintang lima, seluruhnya masuk dalam lingkup desa adat. Maka petani, gembala, ilmuwan, seniman, pelancong, begitu menjejakkan kaki di Bali, sebenarnya berada dalam tatanan desa adat. Memang, mereka tak harus sepenuhnya tunduk, tapi mereka mesti menghormati bumi tempat mereka tidur, mandi, dan mereguk kenikmatan duniawi.
Sejak berpuluh abad silam, sistem pemegang kendali kehidupan orang-orang Bali adalah desa adat itu. Menandur benih di sawah, menyelenggarakan ritual, mengadakan pertunjukan hiburan, bertandang ke tempat kerabat, selalu diupayakan menghormati tatanan adat istiadat. Hampir tak ada kegiatan individu, apalagi yang melibatkan banyak orang, bebas dari rentetan adat.
Dan di Bali, adat pun menjadi tak cuma dibutuhkan, tetapi harus ada. Ia tak hanya berarti peraturan atau undang-undang, juga takaran nilai moral, patokan yang diharapkan menuntun setiap orang. Adat lantas menjadi pegangan hidup. Ia memberi ciri pada setiap orang Bali. Sikap santun, hormat, kehalusan budi seseorang, selalu dikait-kaitkan dengan bagaimana ia sehari-hari melakoni adat istiadat. Seseorang yang berangasan, suka mengusik, merusak ketenteraman, biasanya dicap orang tak tahu adat. Akhirnya adat menjadi junjungan. Ia harus dibela, dan nyaris punya kebenaran mutlak. Yang ke luar dari lingkarannya dipandang sebagai tak hanya bersalah, tapi berdosa. Orang semacam itu tak cukup dituding atau dikritik, tapi harus dikucilkan, sebab adat sesuatu yang suci.
Wilayah desa adat pun menjadi suci. Bertindak keliru, membuat kesalahan di wilayah itu, berarti pencemaran yang menjadikan jagat leteh, penyebab bencana datang bertubi-tubi. Orang Bali sangat yakin, merusak wilayah adat akan mendatangkan kemalangan beruntun. Panen gagal, hama tanaman merajalela, anak muda menjadi tak karuan, sungai kering, ternak kurus, pohon-pohon kehilangan daun. Penyucian kembali dapat melalui proses upacara besar dan panjang. Kalau sudah begini, adakah yang lebih hebat, lebih berarti, dibanding desa adat? Adakah yang lebih kuasa, lebih suci, lebih menjanjikan?
Tapi kesucian duniawi punya ambang batas. Kepatutan ternyata bisa ditawar. Dan kebenaran bukan harga mati. Banyak desa di Bali tak cuma menunggu kedatangan rezeki yang bisa mengubah keberuntungan, tapi juga gesit mencari dan mengundang apa saja yang sanggup membuat mereka makmur. Tengoklah desa-desa di Bali, warganya berujar, “Hanya dengan mengembangkan potensi pariwisata desa kami bisa sejahtera.” Mereka ingin desa-desa dibanguni vila. Pelancong kemudian akan dipandu keliling menikmati sawah membentang. Dengan begitu, warga desa yang miskin, akan hidup makmur berkat sulap dan sihir turisme.
Lalu bagaimana upaya orang-orang desa tetap menjadikan wilayah adat memiliki kekuatan gaib? Ketika kesalahan dilakukan seorang warga, hukuman pengucilan harus dijalankan dengan tertib dan patuh, karena telah membuat desa leteh. Tapi ganjaran hukuman apa diberikan buat mereka yang datang dari jauh, yang dengan begitu mudah membalik-balik desa adat?
Sanjungan paling hebat yang dilontarkan dunia buat Bali adalah, masyarakatnya sangat memegang teguh tradisi. Mereka melakoni tradisi itu di tengah dinamika desa adat. Maka desa adat identik dengan tradisi, sama dengan Bali. Jika tradisi sudah ditinggalkan, desa-desa adat itu lenyap, dan Bali pun tiada. Jika Bali ingin tetap dipuji dunia, tradisi itu jangan sampai habis, desa adat mesti tetap ada. Desa adat dan tradisi itu pun kemudian menjadi benteng menghadapi hantaman dan bujuk rayu luar yang hendak mengubah Bali.
Di antara rayuan itu, turisme paling sering dituduh sangat gesit dan genit menggoda desa adat, yang acap kali membuat orang Bali mabuk kepayang, sering mengambil tindakan tanpa pikir panjang. Bisnis wisata begitu mudah dan lihai bercokol di desa-desa adat yang memegang teguh tradisi. Turisme dengan gampang merobohkan benteng terakhir itu. Dulu desa adat merupakan sumber yang menjanjikan ketenteraman, kini industri wisata menjadi pilihan paling penting untuk menciptakan kemakmuran. Tak heran jika turisme sering menyuguhkan benturan hebat antarsesama warga desa adat, menghasilkan kejutan-kejutan rumit akibat perbedaan kepentingan dan pendapat.
Banyak orang mulai bimbang, tak lama lagi benteng terakhir itu akan ambruk. Tapi banyak juga bersikukuh, desa adat tak akan pernah pupus, karena di situ tempat jatidiri manusia Bali berinteraksi, dihormati, dan dipuji. Jika desa adat tumbang, luluh pula harga diri orang Bali. Karena harga diri merupakan nilai terakhir setiap manusia, orang Bali harus merawat, membela, desa adat dan tradisi mereka.
Kalau begitu, mengapa mesti bimbang? Tapi konflik internal dalam desa adat, desakan, godaan, dan cumbu rayu dari luar, adalah pengikisan, abrasi, bukan revolusi. Penggerogotan itu berlangsung perlahan, tanpa disadari, diam-diam, halus, dan sistematis. Jika benteng Bali itu bakalan lenyap, butuh waktu sekian abad. Syahdan, orang Bali dituntut terus berhati-hati kalau pada akhirnya tak ingin kehilangan harga diri.
Sebagai benteng, desa adat menjadi pelindung. Tapi, dalam desa adat juga berlindung tidak cuma orang-orang baik, namun juga keburukan dan kejahatan. Sudah sepatutnya orang Bali berhati-hati, agar desa adat tidak berkembang menjadi tirani. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar