Agung Bharata Diuji Jadi Calon Sulinggih
Mantan Bupati Gianyar dua periode (2003-2008, 2013-2018), AA Gde Agung Bharata, 67, telah melaksanakan upacara Diksa Pariksa di kediamannya, Puri Agung Gianyar pada Sukra Pon Julungwangi, Jumat (12/7).
GIANYAR, NusaBali
Upacara Diksa Pariksa ini sebagai ajang ujian terbuka untuk menjadi calon sulinggih. Agung Bharata sendiri akan melaksanakan upacara Dwijati untuk menjadi sulinggih tepat Purnamaning Kasa pada Anggara Pahing Sungsang, Selasa (16/7) depan.
Bertindak selaku Panureksa Utama (penguji utama) dalam upacara Diksa Pariksa Agung Bharata, Jumat kemarin, adalah Dharma Upapati PHDI Gianyar, Ida Pedanda Gde Putra Kekeran, sulinggih dari Griya Kekeran. Upacara Diksa Pariksa kemarin dipandu oleh penekun sastra Bali, Gusti Agus Susana.
Prosesi Diksa Pariksa Agung Bharata tersebut dihadiri Guru Nabe dan Panureksa Ida Pedanda Jelantik Wayahan Dauh (sulinggih asal Griya Prapitamaha, Desa Siangan, Kecamatan Gianyar) dan Guru Saksi Ida Pedanda Jelantik Putra Sedawa (sulinggih dari Griya Sedawa, Desa Tegaltugu, Kecamatan Gianyar). Ida Pedanda Jelantik Putra Sedawa adalah mantan Ketua DPD PDIP Bali dan Ketua DPRD Bali 2004-2009, yang semasa walaka bernama Ida Bagus Putu Wesnawa alias Pak Wes.
Selain Guru Naba dan Guru Saksi, Upacara Diksa Pariksa kemarin juga dihadiri Manggala Paruman Walaka PHDI Gianyar Ida Agra Dalem Pemayun atau Cokorda Parta Sunia (Panureksa), Pengurus Harian PHDI Gianyar Jro Mangku Kompyang Rupa, Majelis Desa Adat Kabupaten Gianyar, Asisten II Setda Gianyar Made Suradnya, perwakilan Kantor Wilayah Agama Kabupaten Gianyar, para pamangku, dan sameton Puri Agung Gianyar.
Panureksa Utama upacara Diksa Pariksa, Ida Pedanda Gde Putra Kekeran, mengingatkan Agung Bharata bahwa madiksa itu hanya sekali. Harapannya, sasana hidup Agung Bharata setelah madwijati nanti adalah sesuai sasana kasulinggihan dan tidak lagi minta madwijati kedua. “Pedanda ngapti, jaga wibawa angga, pu-ri, griya, lan guru nabe, malarapan antuk sasana (Pedanda mengharapkan, jagalah wibawa diri, puri, griya, dan guru nabe, sesuai etika kehidupan sulinggih, Red),” pinta Ida Pedanda Kekeran.
Ida Pedanda Kekeran mengingatkan hal tersebut, mengingat Agung Bharata sempat dua kali periode menjabat Bupati Gianyar, yang nanti kewajibannya tidak sama dengan menjadi bhagawan. “Berpeganglah pada sastra. Sastra itu utama. Pejalan tanpa sastra, nirgawe, pocol (bertindak tanpa landasan susatra, maka hasilnya akan tanpa tak bermanfaat, Red),” tegasnya.
Ida Pedanda Kekeran pun bertanya, kenapa Agung Bharata setelah jadi bhagawan tidak ngaloka palha sraya (muput upacara)? Padahal, kelanjutan dari kewajiban setelah madwijati adalah ngalinggihang weda, loka phala sraya, lan mapulang lingga (melafalkan puja Weda, memimpin karya, dan membuat panduan weda).
Pertanyaan itu dijawab singkat oleh Agung Bharata. “Ampura Ratu Pedanda, nyantos mangkin titiyang durung teleb ngawacen Weda (mohon maaf Ratu Pedanda, hingga saat ini saya belum membaca Weda secara mendalam, Red),” jawab Agung Bharata yang notabene kakak kandung Wakil Bupati Gianyar 2018-2023, AA Gde Mayun.
Ida Pedanda Kekeran tidak mempersoalkan jawaban Agung Bharata. Pasalnya, makna madwijati terbalik dengan wisuda untuk mahasiswa. Wisuda adalah penyucian diri mahasiwa karena telah menguasi ilmu pengetahuan tertentu. Sedangkan madwijati adalah penyucian, karena akan meraih dan mendalami ajaran Weda.
Pantauan NusaBali, selama proses Diksa Pariksa yang berlangsung selama 1 jam lebih sejak pagi pukul 10.45 Wita hingga siang pukul 12.00 Wita kemarin, ada sekitar enam poin pertanyaan dari panureksa (penguji) terkait alasan madiksa hingga wawasan atau penguasan Weda bagi Agung Bharata. Semua pertanyaan itu dijawab dengan singkat. Hal ini sesuai pengakuan Agung Bharata sebelumnya, yang terus terang belum fasih tentang isi Weda.
Sementara itu, Prawartaka Karya Diksa Pariksa, AA Gde Mayun, menjelaskan Agung Bharata merupakan anak dari Ida Raja Dewata Anak Agung Gde Oka (almarhum). Agung Bharata adalah keturunan ke-11 dari Raja Gianyar Sri Aji Manggis Kuning, yang sebelumnya beristana di Beng (kini Kelurahan Beng, Kecamatan Gianyar).
Agung Bharata pernah berkerja di Keprotokolan Istana Kepreseiden RI di Jakarta pada era Presiden Soeharto. Kemudian, Agung Bharata menjabat Kepala Istana Kepresidenan Tampaksiring di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar. Setelah menjabat Bupati Gianyar periode pertama 2003-2008, Agung Bharata sempat menjadi anggota Fraksi PDIP DPRD Bali Dapil Gianyar 2009-2013). Selanjutnya, dia tinggalkan kursi DPRD Bali, karena maju tarung ke Pilkada Gianyar 2013 hingga terpilih lagi menjadi Bupati Gianyar 2013-2018. Selain jadi Bupati, Agung Bharata juga sempat duduki kursi Ketua DPC PDIP Gianyar.
Sementara, Guru Nabe Ida Pedanda Jelantik Wayahan Dauh mengakui, sebelum upacara Diksa Pariksa kemarin, dirinya telah memberikan tuntunan agar Agung Bharata menyiapkan diri sesuai kemampuan yang ada. Menurut dia, Agung Bharata layak lulus jadi bhagawan, karena ada bukti sekala yakni lulus sebagai Bupati Gianyar dua periode.
‘’Yening wenten masalah duk ngamel jabatan bupati, pastika keambil olih KPK (Jika ada masalah saat menjabat bupati, pasyi diambil oleh KPK, Red),” katanya. jelasnya. Ida Pedanda Jelantik Wayahan juga menilai Agung Bhartat telah lolos ujian niskala, karena pernah tenggelam selama 4 jam di laut dan mampu berta-han hidup.
Peristiwa ajiab tersebut terjadi ketika Agung Bharata terseret ombak bersama istrinya, Nani Mirna, di Pantai Klotok, Desa Tojan, Kecamatan Klungkung, 5 September 2010. Agung Bharata ditemukan selamat, namun sang istri Nani Mirna, ditemukan meninggal di Pantai Lebih, Desa Lebih, Kecamatan Gianyar yang berjarak beberaka kilometer arah barat dari Pantai Klotok. Sebaliknya, Agung Bharata ditemukan kampih (terdampar) di Pantai Masceti, Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, sebelah barat pantai Lebih.
Di sisi lain, Guru Saksi Ida Pedanda Jelantik Putra Sedawa menuturkan pengalamannya saat Madwijati. Menurut Ida Pedanda Putra Sedawa, hal paling sulit dilakukan adalah mengendalikan diri dari materi dan nafsu, atau rajah dan tamah. Karena kehidupan masih perlu materi, sehingga emosi diri perlu dikendalikan oleh sasana.
“Terpenting, bagaimana caranya menghilangkan hal-hal yang tak boleh dilakukan, lanjut memasukan ke dalam diri hal-hal yang bernilai kemuliaan,’’ jelas mantan Ketua DPRD Bali ini kepada NusaBali seusai upacara Diksa Pariksa Agung Bharata, Jumat kemarin.
Prosesi upacara Padiksan AA Gde Agung Bharata telah dimulai pada Anggara Pon Warigadeabn, Selasa (2/7) lalu, berupa ritual Matur Piuning. Sehari berikutnya, lanjut ritual Nangiang Sanggar Agung, Sanggar Guru Karma, dan Tataring pada Buda Wage Warigaden, Rabu (3/7). Sedangkan prosesi Diksa Pariksa dan Nunas Tirta Pakuluh dilaksanakan pada Sukra Pon Julungwangi, Jumat kemarin.
Sementara prosesi Megat Sembah kepada ibu kandung, AA Istri Sri, dilaksanakan pada Radite Kliwon Sungsang, Minggu (14/7), dilanjut Amati Raga/Mapinton pada Soma Umanis Sungsang (Senin, 15/7), hingga Puncak Karya Padiksan pada Anggara Pahing Sungsang (Selasa, 16/7). Sedangkan prosesi Nyegara Gunung di Pura Goa Lawah (Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung) dan Majauman ke Guru Nabe akan dilaksanakan pada Buda Pon Sungsang, Rabu (17/7). *lsa
Bertindak selaku Panureksa Utama (penguji utama) dalam upacara Diksa Pariksa Agung Bharata, Jumat kemarin, adalah Dharma Upapati PHDI Gianyar, Ida Pedanda Gde Putra Kekeran, sulinggih dari Griya Kekeran. Upacara Diksa Pariksa kemarin dipandu oleh penekun sastra Bali, Gusti Agus Susana.
Prosesi Diksa Pariksa Agung Bharata tersebut dihadiri Guru Nabe dan Panureksa Ida Pedanda Jelantik Wayahan Dauh (sulinggih asal Griya Prapitamaha, Desa Siangan, Kecamatan Gianyar) dan Guru Saksi Ida Pedanda Jelantik Putra Sedawa (sulinggih dari Griya Sedawa, Desa Tegaltugu, Kecamatan Gianyar). Ida Pedanda Jelantik Putra Sedawa adalah mantan Ketua DPD PDIP Bali dan Ketua DPRD Bali 2004-2009, yang semasa walaka bernama Ida Bagus Putu Wesnawa alias Pak Wes.
Selain Guru Naba dan Guru Saksi, Upacara Diksa Pariksa kemarin juga dihadiri Manggala Paruman Walaka PHDI Gianyar Ida Agra Dalem Pemayun atau Cokorda Parta Sunia (Panureksa), Pengurus Harian PHDI Gianyar Jro Mangku Kompyang Rupa, Majelis Desa Adat Kabupaten Gianyar, Asisten II Setda Gianyar Made Suradnya, perwakilan Kantor Wilayah Agama Kabupaten Gianyar, para pamangku, dan sameton Puri Agung Gianyar.
Panureksa Utama upacara Diksa Pariksa, Ida Pedanda Gde Putra Kekeran, mengingatkan Agung Bharata bahwa madiksa itu hanya sekali. Harapannya, sasana hidup Agung Bharata setelah madwijati nanti adalah sesuai sasana kasulinggihan dan tidak lagi minta madwijati kedua. “Pedanda ngapti, jaga wibawa angga, pu-ri, griya, lan guru nabe, malarapan antuk sasana (Pedanda mengharapkan, jagalah wibawa diri, puri, griya, dan guru nabe, sesuai etika kehidupan sulinggih, Red),” pinta Ida Pedanda Kekeran.
Ida Pedanda Kekeran mengingatkan hal tersebut, mengingat Agung Bharata sempat dua kali periode menjabat Bupati Gianyar, yang nanti kewajibannya tidak sama dengan menjadi bhagawan. “Berpeganglah pada sastra. Sastra itu utama. Pejalan tanpa sastra, nirgawe, pocol (bertindak tanpa landasan susatra, maka hasilnya akan tanpa tak bermanfaat, Red),” tegasnya.
Ida Pedanda Kekeran pun bertanya, kenapa Agung Bharata setelah jadi bhagawan tidak ngaloka palha sraya (muput upacara)? Padahal, kelanjutan dari kewajiban setelah madwijati adalah ngalinggihang weda, loka phala sraya, lan mapulang lingga (melafalkan puja Weda, memimpin karya, dan membuat panduan weda).
Pertanyaan itu dijawab singkat oleh Agung Bharata. “Ampura Ratu Pedanda, nyantos mangkin titiyang durung teleb ngawacen Weda (mohon maaf Ratu Pedanda, hingga saat ini saya belum membaca Weda secara mendalam, Red),” jawab Agung Bharata yang notabene kakak kandung Wakil Bupati Gianyar 2018-2023, AA Gde Mayun.
Ida Pedanda Kekeran tidak mempersoalkan jawaban Agung Bharata. Pasalnya, makna madwijati terbalik dengan wisuda untuk mahasiswa. Wisuda adalah penyucian diri mahasiwa karena telah menguasi ilmu pengetahuan tertentu. Sedangkan madwijati adalah penyucian, karena akan meraih dan mendalami ajaran Weda.
Pantauan NusaBali, selama proses Diksa Pariksa yang berlangsung selama 1 jam lebih sejak pagi pukul 10.45 Wita hingga siang pukul 12.00 Wita kemarin, ada sekitar enam poin pertanyaan dari panureksa (penguji) terkait alasan madiksa hingga wawasan atau penguasan Weda bagi Agung Bharata. Semua pertanyaan itu dijawab dengan singkat. Hal ini sesuai pengakuan Agung Bharata sebelumnya, yang terus terang belum fasih tentang isi Weda.
Sementara itu, Prawartaka Karya Diksa Pariksa, AA Gde Mayun, menjelaskan Agung Bharata merupakan anak dari Ida Raja Dewata Anak Agung Gde Oka (almarhum). Agung Bharata adalah keturunan ke-11 dari Raja Gianyar Sri Aji Manggis Kuning, yang sebelumnya beristana di Beng (kini Kelurahan Beng, Kecamatan Gianyar).
Agung Bharata pernah berkerja di Keprotokolan Istana Kepreseiden RI di Jakarta pada era Presiden Soeharto. Kemudian, Agung Bharata menjabat Kepala Istana Kepresidenan Tampaksiring di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar. Setelah menjabat Bupati Gianyar periode pertama 2003-2008, Agung Bharata sempat menjadi anggota Fraksi PDIP DPRD Bali Dapil Gianyar 2009-2013). Selanjutnya, dia tinggalkan kursi DPRD Bali, karena maju tarung ke Pilkada Gianyar 2013 hingga terpilih lagi menjadi Bupati Gianyar 2013-2018. Selain jadi Bupati, Agung Bharata juga sempat duduki kursi Ketua DPC PDIP Gianyar.
Sementara, Guru Nabe Ida Pedanda Jelantik Wayahan Dauh mengakui, sebelum upacara Diksa Pariksa kemarin, dirinya telah memberikan tuntunan agar Agung Bharata menyiapkan diri sesuai kemampuan yang ada. Menurut dia, Agung Bharata layak lulus jadi bhagawan, karena ada bukti sekala yakni lulus sebagai Bupati Gianyar dua periode.
‘’Yening wenten masalah duk ngamel jabatan bupati, pastika keambil olih KPK (Jika ada masalah saat menjabat bupati, pasyi diambil oleh KPK, Red),” katanya. jelasnya. Ida Pedanda Jelantik Wayahan juga menilai Agung Bhartat telah lolos ujian niskala, karena pernah tenggelam selama 4 jam di laut dan mampu berta-han hidup.
Peristiwa ajiab tersebut terjadi ketika Agung Bharata terseret ombak bersama istrinya, Nani Mirna, di Pantai Klotok, Desa Tojan, Kecamatan Klungkung, 5 September 2010. Agung Bharata ditemukan selamat, namun sang istri Nani Mirna, ditemukan meninggal di Pantai Lebih, Desa Lebih, Kecamatan Gianyar yang berjarak beberaka kilometer arah barat dari Pantai Klotok. Sebaliknya, Agung Bharata ditemukan kampih (terdampar) di Pantai Masceti, Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, sebelah barat pantai Lebih.
Di sisi lain, Guru Saksi Ida Pedanda Jelantik Putra Sedawa menuturkan pengalamannya saat Madwijati. Menurut Ida Pedanda Putra Sedawa, hal paling sulit dilakukan adalah mengendalikan diri dari materi dan nafsu, atau rajah dan tamah. Karena kehidupan masih perlu materi, sehingga emosi diri perlu dikendalikan oleh sasana.
“Terpenting, bagaimana caranya menghilangkan hal-hal yang tak boleh dilakukan, lanjut memasukan ke dalam diri hal-hal yang bernilai kemuliaan,’’ jelas mantan Ketua DPRD Bali ini kepada NusaBali seusai upacara Diksa Pariksa Agung Bharata, Jumat kemarin.
Prosesi upacara Padiksan AA Gde Agung Bharata telah dimulai pada Anggara Pon Warigadeabn, Selasa (2/7) lalu, berupa ritual Matur Piuning. Sehari berikutnya, lanjut ritual Nangiang Sanggar Agung, Sanggar Guru Karma, dan Tataring pada Buda Wage Warigaden, Rabu (3/7). Sedangkan prosesi Diksa Pariksa dan Nunas Tirta Pakuluh dilaksanakan pada Sukra Pon Julungwangi, Jumat kemarin.
Sementara prosesi Megat Sembah kepada ibu kandung, AA Istri Sri, dilaksanakan pada Radite Kliwon Sungsang, Minggu (14/7), dilanjut Amati Raga/Mapinton pada Soma Umanis Sungsang (Senin, 15/7), hingga Puncak Karya Padiksan pada Anggara Pahing Sungsang (Selasa, 16/7). Sedangkan prosesi Nyegara Gunung di Pura Goa Lawah (Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung) dan Majauman ke Guru Nabe akan dilaksanakan pada Buda Pon Sungsang, Rabu (17/7). *lsa
Komentar